zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Calon Fiskus Modern


Modernisasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), ada suatu kebanggaan setiap kali saya membicarakan hal ini dengan orang lain di luar DJP dan lebih luasnya di luar Kementrian Keuangan. Saya sangat yakin bahwa modernisasi DJP yang merupakan bagian kecil dari fase penting reformasi birokrasi Kementrian Keuangan ini akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Kenapa tidak? Sebuah perubahan besar selalu berawal dari hal-hal kecil. Termasuk berawal dari diri saya sendiri sebagai seorang mahasiswa calon fiskus, karena mahasiswa adalah agent of change di lingkungan di mana dia berada. 

Kenapa saya katakan fiskus modern, karena fiskus-fiskus yang sekarang sudah berbeda dengan fiskus-fiskus zaman jahiliyah. Memang tidak dapat dipungkiri apabila pegawai DJP belum bersih semua karena perubahan itu butuh proses karena reformasi itu sendiri dalam pengertian paling kongkret diwujudkan sebagai rangkaian perubahan, masih berlangsung, perubahan yang didukung dengan sistem yang modern yang akan membuat fiskus berpikir seribu kali untuk melakukan pelanggaran. Sebuah fakta yang cukup menarik ketika dulu seorang petugas pajak mungkin tidak berani atau malu memberitahu secara terbuka bahwa dia bekerja di di Kantor Pajak, maka setelah adanya modernisasi mereka menjadi merasa mempunyai harga diri untuk mengaku bekerja di Kantor Pajak.

Paradigma masyarakat bahwa DJP adalah instansi yang sangan rentan KKN tentu saja juga melekat kepada pegawainya. Lalu kenapa pegawai lama dari masa jahiliyah masih saja menjadi penghuni DJP? Misalkan ada sebuah rumah yang lantainya sangat kotor. Selama ini rumah tersebut dipel dengan sebuah pel yang sama, sehingga pel tersebut lama-lama menjadi kotor. Dapat dipastikan bahwa hasil mengepel tidak maksimal, sehingga lantainya tetap saja kotor. Suatu saat, pemilik rumah ingin membersihkan lantai tersebut sebersih-bersihnya, karena akan datang tamu istimewa.

Untuk itu dia dihadapkan pada kenyataan pembersihan harus segera dilakukan tetapi pel yang tersedia dan dapat digunakan untuk tujuan tersebut hanyalah pel yang masih baik dan berfungsi, tetapi dalam keadaan kotor. Tentunya dia juga memiliki pilihan lain, yaitu mencari pel lain yang masih bersih. Hanya saja itu berarti harus ada upaya lebih (extra effort) dari orang tersebut, yaitu membeli pel terlebih dahulu, baru menggunakannya untuk mengepel lantai tersebut. Tentunya bila pel baru sudah dapat digunakan, maka pel pertama disingkirkan saja. Pilihan mana yang akan diambil pemilik rumah tersebut? 

Ketika pilihan ke dua yang diambil karena dengan pel yang masih bersih maka hasilnya akan lebih bersih. Akan tetapi, untuk pilihan ke dua dibutuhkan upaya lebih, yaitu tenaga untuk mencari pel baru itu dan uang untuk membelinya. Memang pilihan kedua akan lebih baik tapi bukan berarti pilihan pertama tidak boleh untuk dipertimbangkan. Sang pemilik rumah masih dapat menggunakannya tentu saja dengan mencucinya sebersih mungkin. Mungkin hasilnya belum maksimal tapi pel itu masih dapat dicuci kembali dan digunakan lagi. 

Kondisi seperti perumpamaan tersebut juga berlaku di DJP. Pilihan untuk melaksanakan modernisasi ini adalah mengganti pegawai yang sudah ada dengan pegawai baru atau tetap memberdayakan yang ada yang berkompeten untuk bekerja di DJP. Mengganti pegawai yang sudah ada dengan pegawai baru bukanlah pilihan yang terbaik karena membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit, sementara hasilnya belum tentu memiliki kemampuan yang dibutuhkan oleh DJP. Sementara pencucian pel dalam perumpamaan tersebut bagaikan penerapan kode etik yang sekarang berlaku bagi para pegawai DJP.

Semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi benih yang akan tumbuh menjadi pohon-pohon rindang yang berbuah ranum dan berakar kuat dalam proses modernisasi Direktorat Jenderal Pajak.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar