zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Emansipasi Wanita di Dunia Pajak

Zaman dahulu kedudukan wanita di Indonesia sangatlah rendah jika dibandingkan dengan laki-laki, misalnya wanita tidak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan karena wanita hanya disiapkan untuk menjadi ibu rumah tangga. Selain itu, masih banyak lagi perbedaan hak yang dimiliki oleh seorang pria dan wanita. Sampai akhirnya muncullah seorang Kartini yang memelopori gerakan emansipasi wanita di Indonesia yang terkenal dengan bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Tidak hanya di Indonesia, di dunia internasional pun permasalahan ini dibahas dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina pada tahun 1993.

Seperti prolog di atas memang pria dan wanita itu memiliki beberapa perbedaan. Tapi apakah perlakuannya juga harus berbeda? Begitu juga dengan perlakuan terhadap pria dan wanita dalam memenuhi kewajibaan perpajakannya, yaitu pria dan wanita yang mempunyai penghasilan yang telah melebihi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak). Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Indonesia khususnya yang mengatur tentang Pajak Penghasilan (PPh) yaitu UU Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, sistem pengenaan pajak yang diterapkan di Indonesia menerapkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah.


Pelaksanaan kewajiban perpajakan di Indonesia dilihat dari subjek pajaknya, dari subjek pajak tersebut dapat ditentukan siapa yang mempunyai kewajiban untuk memenuhi kewajiban perpajakan khususnya PPh Orang Pribadi dalam keluarga tersebut. Meskipun misalnya seorang wanita kawin memilih untuk menjalankan kewajiban perpajakannya sendiri terpisah dari suami tetapi tidak berarti semuanya mutlak dipisahkan dari suami dalam hal perpajakannya. Masih ada hal-hal tertentu yang tidak dapat dipisahkan antara seorang suami dan istri dalam hal perpajakannya meskipun mereka telah memilih untuk melakukan pemisahan dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya, hal tersebut contohnya seperti dalam perhitungan jumlah pajak yang terutang.

Seperti yang telah diuraikan di atas berdasarkan penjelasan Pasal 8 UU PPh bahwa sistem pengenaan pajak di Indonesia  menerapkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis maka untuk menghitung pajak terutangnya dihitung berdasarkan penggabungan jumlah penghasilan dari seluruh anggota keluarga. Penggabungan jumlah penghasilan setiap anggota keluarga ini akan mempengaruhi hak dan kewajiban setiap anggota keluarga dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakannya meskipun pada dasarnya dalam UU PPh tersebut lebih menekankan bahwa kepala keluargalah yang harus melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya.

Terdapat tiga sistem yang dilakukan dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakan seorang subjek pajak dalam sistem perpajakan Indonesia khususnya menurut peraturan perundang-undangan PPh:

  • Individu
Sistem ini diterapkan kepada pria dan wanita tidak kawin yang mempunya penghasilan melebihi PTKP. Pada sistem ini pria dan wanita dikenai tarif pajak yang sama karena perhitungan PTKP-nya juga sama.

  • Gabung
Seperti yang diatur dalam UU PPh bahwa sistem perpajakan Indonesia menerapkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis. Oleh karena itu, dalam sebuah keluarga yang mempunyai kewajiban untuk memenuhi kewajiban perpajakan adalah suami. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) UU PPh “Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.” Jadi penghasilan atau kerugian seorang wanita kawin dalam satau tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan digabungkan dalam hal penghitungan jumlah pajak terutangnya. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
  1. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
  2. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Selain itu, syarat lain seorang wanita kawin untuk dapat melakukan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri yaitu suaminya harus berstatus Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN). Apabila seorang wanita kawin memiliki suami yang berstatus Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) maka wanita kawin tersebut tidak dapat melakukan pemisahan harta dengan suaminya dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya karena penghasilan seorang suami yang berstatus WPLN tidak dapat digabung dengan penghasilan istrinya. Oleh karena itu menurut peraturan perundang-undangan perpajakan Indonesia seorang suami yang berstatus WPLN tidak dapat diakui sebagai kepala keluarga dan apabila istrinya telah memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) maka dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya istri bertindak sebagai kepala keluarga. Apabila seorang istri bertindak sebagai kepala keluarga dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan keluarganya seperti kondisi di atas maka istri (wanita kawin) tersebut tidak dapat melakukan pemisahan dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban pepajakannya. Hal tersebut sesuai dengan PER-51/PJ/2008 tentang Tata Cara Pendaftaran NPWP bagi anggota keluarga.

  • Terpisah
Dalam sistem ini, setiap wajib pajak kawin melakukan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan sendiri. Meskipun wajib pajak tersebut telah kawin tapi dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya dilakukan secara terpisah tanpa terikat satu sama lain. Tapi dalam hal perhitungan pajak terutangnya masih terikan dengan penghasilan suami, jadi untuk wanita kawin apabila dia memilih untuk melakukan hak dan kewajiban perpajakannya, tidak bisa dia secara murni dia melakukan pemisahan dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya tersebut. Selain itu, seperti telah dijelaskan di atas bahwa ada syarat lain agar seorang wanita wanita kawin dapat melakukan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri yaitu suaminya harus berstatus Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) baik itu suaminya seorang WNI ataupun WNA yang sudah berstatus WPDN. Selain syarat status suaminya, menurut Pasal 8 ayat (2) penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:
  1. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim,
  2. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, atau
  3. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.

Perngenaan pajak mmenurut pasal 8 ayat (2) huruf b dan c dihitung berdasarkan penggabungan penghasilan/kerugian  neto suami ditambah dengan penghasilan/kerugian neto istri dengan jumlah pajak terutang masing-masing sesuai dengan perbandingan penghasilan/kerugian netonya. Dengan rumus sebagai berikut:
PPh Terutang suami = (Penghasilan Neto sehubungan dengan Pekerjaan (suami)) / (Total Penghasilan Neto sehubungan dengan Pekerjaan) × PPh Terutang) 
PPh Terutang istri = (Penghasilan Neto sehubungan dengan Pekerjaan (istri)) / (Total Penghasilan Neto sehubungan dengan Pekerjaan) × PPh Terutang)

Dapat disimpulkan bahwa sistem pepajakan Indonesia sudah mengikuti gaya emansipasi wanita, yaitu wanita diberikan hak yang sama dengan pria dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakannya. Hal ini dapat dilihat dari hak yang diberikan kepada wanita kawin untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya apakan digabungkan atau ditanggung oleh suami atau terpisah dari suami sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 UU PPh. Pemberian hak yang sama kepada pria dan wanita ini sesuai dengan UUD Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Apabila seorang wanita kawin memiliki suami yang berstatus WPDN maka pemenuhan kewajiban perpajakan suami-istri dilakukan oleh suami sebagai kepala keluarga  karena suami pada umumnya menjadi tulang punggung keluarga. Padahal sekarang sekarang ini tidak jarang justru istri yang bertindak sebagai tulang punggung keluarga dengan alasan yang beragam, baik karena pernghasilannya memang lebih besar ataupun karena alasan lainnya yang menyebabkan suami tidak mungkin untuk menjadi tulang punggung keluarga.

Terakhir, di Indonesia menerapkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis dan dalam usaha untuk memberikan kesamaan hak kepada wanita maka seorang wanita kawin dibolehkan untuk melakukan pemisahan dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya. Tapi hal ini belum efektif karena seorang wanita kawin yang memiliki suami dengan status WPLN maka ia bertindak sebagai keluarga dalam hal perpajakannya sehingga tidak dapat melakukan pemmisahan kewajiban perpajakannya sendiri. Akan lebih memberikan persamaan hak apabila wanita kawin juga diberikan hak yang sama dengan pria kawin sebagaimana persamaan hak antara wanita tidak kawin dengan pria tidak kawin. Akan tetapi apabila hal ini di terapkan maka akan mengurangi jumlah pajak yang terutang kareena apabila perhitungan pajak terutang antara suami-istri digabung maka jumlahnya akan lebih besar daripada pajak terutang suami-istri ketika dihitung secara terpisah dengan tarif progresif PPh pasal 17 yang berlaku di Indonesia.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar