zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Pisah Harta Suami-Isteri dalam Perpajakan

Pisah Harta Suami-Isteri dalam Perpajakan Indonesia

Dalam tulisan ini saya akan membahas tentang PPh (Pajak Penghasilan). Tetapi kenapa yang dipisah antara suami-isteri adalah harta bukan penghasilan padahal yang dihitung pajak atas penghasilan bukan pajak atas harta? Apa bedanya harta dengan penghasilan?

Tidak ada definisi yang jelas mengenai harta, menurut pendapat saya harta adalah aset yang berupa benda bergerak atau benda tidak bergerak. Berbeda dengan harta yang tidak terdapat definisi jelasnya, definisi penghasilan berbeda-beda menurut beberapa aspek. Menurut Standar Akuntansi Keuangan (1999:12), penghasilan didefinisikan sebagai peningkatan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi tertentu dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Berdasarkan definisi di atas, penghasilan meliputi pendapatan (revenues) maupun keuntungan (gains). Pendapatan (revenues) timbul dari pelaksanaan aktivitas perusahaan yang bisa dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga, dividen, royalti dan sewa. Sedangkan keuntungan (gains) mencerminkan pos lainnya yang memenuhi definisi penghasilan dan mungkin timbul atau mungkin tidak timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan yang biasa. Keuntungan mencerminkan kenaikan manfaat ekonomi dan dengan demikian pada hakikatnya tidak berbeda dengan pendapatan. Oleh karena itu, pos ini tidak di pandang sebagai unsur terpisah dari penghasilan. Sedangkan menurut UU PPh, penghasilan yaitu tambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Dalam PPh yang menjadi objek adalah penghasilan bukan harta meskipun dalam ketentuan perundang-undangannya yang disebutkan yaitu harta bukan objeknya yaitu penghasilan. Akan tetapi, seseorang harus tetap melaporkan hartanya dalam SPT karena harta dan penghasilan sangat erat hubungannya. Seseorang bisa mendapatkan penghasilan dari harta yang dimilikinya. Karena itu Wajib Pajak harus melaporkan hartanya dalam SPT untuk mengawasi penghasilannya.


NPWP

Dalam PPh OP sebenarnya yang wajib memiliki NPWP hanyalah suami, karena seperti disebutkan dalam penjelasan Pasal 8 UU PPh bahwa keluarga ditempatkan sebagai satu kesatuan ekonomis. Jadi yang wajib melaksanakan haka dan kewajiban perpajakan dalam sebuah keluarga yang penghasilannya digabung adalah seorang suami/ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga kecuali apabila suami/ayah memiliki status sebagai WPLN maka yang wajib memiliki NPWP adalah isteri/ibu yang dalam hal ini dianggap sebagai kepala keluarga oleh peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal tersebut sesuai dengan PER-51/PJ/2008 tentang Tata Cara Pendaftaran NPWP bagi anggota keluarga.

Pasal 2 ayat 1 UU KUP berikut penjelasannya mengatur mengenai kewajiban pendaftaran NPWP bagi wanita kawin yang berbunyi “Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak”. Penjelasannya “Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam UU PPh. Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan UU PPh.

Isteri bisa memiliki NPWP apabila berstatus pisah harta, hidup berpisah, ataupun tidak pisah harta maupun tidak hidup berpisah. Namun, pada umumnya kewajiban pajak isteri mengikuti kewajiban pajak suami sehingga isteri tidak perlu mempunyai NPWP sendiri.

NPWP anggota keluarga mirip dengan NPWP cabang perusahaan dalam PPh Badan dengan suami/ayah sebagai induk karena bertindak sebagai kepala keluarga. Selain itu hal ini juga berfungsi untuk melihat siapa yang bertindak sebagai kepala keluarga dan siapa anggota keluarga sehingga pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat dilaksanakan. NPWP anggota ini diperlukan apabila anggota keluarga menginginkan pembebasan fiskal atau apabila anggota keluarga tidak ingin dipotong tarif PPh yang lebih tinggi. Anggota keluarga terdiri dari isteri, orang tua, mertua, anak kandung, anak tiri dan anak angkat yang menjadi tanggungan penuh kepala keluarga. Penomoran NPWP anggota keluarga mengikuti nomor NPWP kepala keluarga. Yang berbeda hanya tiga digit terakhir di mana kepala keluarga tiga digit terakhirnya berakhiran 000, sedangkan anggota keluarga berakhiran 999, 998, 997, dan seterusnya.


Perhitungan dan Pelaporan PPh

Direktur Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan penegasan mengenai cara pengisian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) bagi wanita kawin yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau wanita kawin yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri terpisah dengan suaminya. Hal ini tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2010 tanggal 1 Maret 2010. ditegaskan ketentuan pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi bagi wanita kawin adalah sebagai berikut: 
  1. Bagi wanita kawin yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi atas namanya sendiri terpisah dengan SPT Tahunan PPh suaminya.
  2. Penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud di atas adalah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh wanita kawin tersebut dalam suatu tahun pajak, tidak termasuk penghasilan anak yang belum dewasa.
  3. Penghitungan PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud di ats didasarkan pada penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya PPh terutang bagi isteri tersebut dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto antara suami dan isteri.
  4. Penghitungan PPh terutang ini berlaku juga bagi wanita kawin sebagai pegawai yang mempunyai penghasilan semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong PPh Pasal 21.
  5. Harta dan kewajiban/utang yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin adalah harta dan kewajiban yang dimiliki dan/atau dikuasai wanita kawin tersebut pada akhir tahun pajak.
  6. Tata cara pengisian SPT Tahunan bagi wanita kawin ini sesuai dengan petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-34/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-66/PJ/2009.

Sesuai dengan apa yang tertulis dalam pasal 8 UU PPh berikut penjelasannya, penghasilan isteri yang semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja dan penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya tidak dapat digabungkan dengan penghasilan suami.

Dalam formulir SPT PPh WP OP (Orang Pribadi) form 1770 atau form 1770-S, penghasilan isteri dari satu pemberi kerja tersebut di atas merupakan penghasilan yang telah dikenakan pajak tersendiri dan bersifat final, sehingga pada saat pelaporan SPT Tahunan, penghasilan tersebut tidak digabungkan dengan penghasilan suami, namun tetap diinformasikan dalam SPT Tahunan suaminya.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar