zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Pembukuan dan Pencatatan Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Terutang

Pembukuan dan Pencatatan Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Terutang

Sebagaimana Pasal 2 ayat (1) UU KUP  bahwasannya setiap orang atau badan yang telah memenuhi persyaratan sujektif dan objektif wajib untuk mendaftarkan dirinya sebagai Wajib Pajak berdasarkan sistem self assessment dan sekaligus akan mendapatkan NPWP. Ketika seseorang sudah memiliki NPWP maka dia telah masuk ke dalam sistem administrasi perpajakan Indonesia dan wajib untuk melaporkan dan membayar pajaknya. Sebagai dasar pelaporan kewajiban perpajakannya seorang Wajib Pajak harus melakukan pembukuan sebagai bukti untuk melaporkan harta kekayaannya yang sebenarnya.

Biasanya pembukuan itu dibuat oleh para usahawan. Pedagang emperan jalan pun sering kali membuat sebuah catatan tentang penjualan dan pembelian. Ciri khas pembukuan model ini adalah buku panjang yang lebarnya kurang dari sejengkal. Tentunya pembukuan tersebut sekedar catatan agar usaha mereka bisa dievaluasi atau sekedar supaya tahu berapa untung yang didapat dari usaha.1

Memori Penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP juga menjelaskan antara lain bahwa pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), kecuali peraturan perundang-undang perpajakan menentukan lain.

Penjelasan mengenai pengertian dari pembukuan dapat kita temukan di Pasal 1 angka 29 UU KUP. “Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.” Sedangkan kewajiban melakukan pembukuan diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU KUP yang berbunyi “Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.”

Wajib Pajak yang wajib untuk menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan yaitu Wajib Pajak (WP) Badan dan WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan/pekerjaan bebas. Khusus untuk WP Orang Pribadi yang peredaran brutonya di bawah Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) diperkenankan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto berdasarkan pencatatan.

Akan tetapi ada juga Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban untuk melakukan pembukuan yaitu WP OP yang tidak wajib untuk menyampaikan SPT. Selain itu juga terdapat Wajib Pajak dikecualikan dari kewajiban pembukuan tapi wajib melakukan pencatatan yaitu WP OP yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto yaitu yang peredarannya kurang dari Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) pertahun dan WP OP yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Bagi Wajib Pajak yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, wajib pajak orang pribadi yang yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah sesuai Pasal 14 ayat (2) UU PPh 1984 amandemen 2008.

Tujuan pembukuan adalah untuk mempermudah pengisian SPT, penghitungan penghasilan kena pajak, penghitungan PPN dan PPnBM, dan mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas.

Pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang. Pencatatan dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang penghasilan brutonya dibawah Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) setahun dan WP OP yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Pencatatan dilakukan untuk mempermudah pengisian SPT, penghitungan penghasilan kena pajak, dan penghitungan PPN dan PPnBM.

Dalam pelaksanaannya, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan pembukuan dan pencatatan dengan tujuan untuk standardisasi dan penyamaan konsep pembukuan dan pencatatan. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 
  • Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
  • Sekurang-kurangnya terdiri dari catatan yang dikerjakan secara teratur mengenai:
  1. Keadaan kas dan bank,
  2. Daftar utang dan piutang,
  3. Daftar persediaan barang,
  4. Pada akhir tahun pajak membuat neraca dan laporan laba/rugi.
  • Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan:
  1. Huruf latin,
  2. Angka arab,
  3. Mata uang rupiah,
  4. Dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
  • Pembukuan dengan bahasa asing dan mata uang selain rupiah harus ada izin Menteri Keuangan.
  • Pembukuan disusun dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
  • Perubahan metode pembukuan dan atau tahun buku harus ada persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
  • Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan/pencatatan dan dokumen lain harus disimpan di Indonesia selama 10 tahun.

Dalam hal buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan/pencatatan dan dokumen lain harus disimpan di Indonesia selama 10 tahun, tempat penyimpanan buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan di Indonesia yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan di tempat kedudukan untuk Wajib Pajak Badan.

Pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah diperbolehkan setelah mendapat izin dari Menteri Keuangan yang dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Pajak yaitu dengan cara WP harus mengajukan izin kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 3 bulan sebelum tahun buku dimulai atau 3 bulan sejak tanggal pendirian WP baru. Bahasa asing dan mata uang selain rupiah yang diperkenankan untuk pembukuan ini adalah Bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat. Pembukuan dengan bahasa asing dan mata uang selain rupiah ini diperbolehkan dalam rangka:
  1. Penanaman Modal Asing (PMA).
  2. Kontrak Karya (KK), untuk perusahaan pertambangan.
  3. Kontrak Bagi Hasil (KBH), untuk perusahaan pertambangan dan MIGAS.
  4. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
  5. WP yang berafiliasi dengan perusahaan induk di luar negeri.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah: 
  1. Bahasa asing dan mata uang selain rupiah yang boleh dipergunakan adalah bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat,
  2. Mendapat izin Menteri Keuangan,
  3. Permohonan izin kepada Menteri Keuangan harus dilampiri dengan:
  • Fotokopi SPT Tahunan PPh Badan tahun terakhir untuk Wajib Pajak yang telah berdiri lebih dari 1 tahun,
  • Fotokopi NPWP dan akte pendirian atau dokumen lain yang serupa (bagi WP BUT) untuk Wajib Pajak yang baru berdiri dalam tahun berjalan.2

Jika telah memenuhi syarat, Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan akan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Keuangan dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan diterima.

Bagi Wajib Pajak yang wajib melakukan pembukuan atau pencatatan tapi tidak melakukan pembukuan atau pencatatan sehingga tidak dapat dikethui jumlah pajak terutangnya  maka atas Wajib Pajak tersebut pengetapan jumlah pajak teutangnya ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dan khusus untuk PPh pasal 29 ditambah kenaikan sebesar 50%.

Mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara maka akan dikenakan sanksi yang berat terhadap pelanggaran peraturan perunda-undangan perrpajakan terlebih lagi pelanggaran yang dikategorikan sebagai tindak pidana di bidang perpajakan. Tindak pidana di bidang perpaajakan yang berkaitan dengan kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan diatur dalam Pasal 29 ayat (1) huruf f, g, dan h. yaitu setiap orang yang dengan sengaja:
  • memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya
  • tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain
  • tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11)
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan, bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan, dikenai sanksi pidana lebih berat, yaitu ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana yang diatur pada Pasal 29 ayat (1) UU KUP.

____________________
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar