zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Peredaran Bruto


Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 16 dijelaskan mengenai tata cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak (PhKP) bagi Wajib Pajak Dalam Negeri (Badan maupun Orang Pribadi) yang melakukan pembukuan, Wajib Pajak Dalam Negeri (Badan maupun Orang Pribadi) yang melakukan pencatatan, Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, maupun Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) yaitu kewajiban pajak subjektif Orang Pribadi yang yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia yang hanya meliputi sebagian tahun pajak.

Dalam memori penjelasan Pasal 16 dijelaskan bahwa Penghasilan Kena Pajak (PhKP) merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri. Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa dan penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan. Di samping itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan Khusus, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara:
  1. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
  2. Wajib Pajak luar negeri lainnya.

Dapat disimpulkan bahwa yang termasuk dalam peredaran bruto adalah seluruh penghasilan yang diterima Wajib Pajak, baik Badan maupun Orang Pribadi, baik Dalam Negeri maupun Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh yaitu sebagai berikut:
  1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang;
  2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
  3. laba usaha;
  4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta;
  5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
  6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
  7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
  8. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
  9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
  11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
  12. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
  13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
  14. premi asuransi;
  15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
  16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
  17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
  18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan;
  19. surplus Bank Indonesia.

Penghasilan yang bersifat final sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2), serta penghasilan yang bukan merupakan objek pajak sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (3) yang diperoleh baik Wajib Pajak Badan atau Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Dalam Negeri atau Luar Negeri, tidak dimasukkan ke dalam penghitungan peredaran bruto.

Untuk mencari Penghasilan Kena Pajak dari peredaran bruto kita dapat mengurangkannya dengan pengurang berupa biaya yang dapat dibebankan (Pasal 6 ayat (1)) serta kompensasi kerugian (Pasal 6 ayat (2)) dengan tetap memerhatikan ketentuan mengenai biaya yang tidak dapat dibebankan (Pasal 9 ayat (1) huruf c, d, e dan g). Kemudian apabila kita menghitung Penghasilan Kena Pajak (PhKP) dari Wajib Pajak Orang Pribadi, maka dapat kita mengurangkannya lagi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) (Pasal 7  ayat (1)).

Sedangkan untuk Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap, penghitungan penghasilan kena pajaknya adalah mengurangkan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan memerhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) kemudian dikurangkan dengan pengurangan dalam pasal 5 ayat (2) dan (3), serta Pasal 6 ayat (1) dan (2), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.

Dapat disimpulkan bahwa peredaran bruto yang digunakan dalam penghitungan pasal 16 UU PPh adalah jumlah dari seluruh penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha yang jenis serta macamnya tercantum dalam pasal 4 ayat (1) UU PPh. Penghasilan dari luar usaha,  tidak termasuk dalam penghitungan peredaran bruto.

Selanjutnya, Pasal 31E Undang-undang Pajak Penghasilan yang berbunyi “Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).”

Pasal tersebut pada dasarnya berisi mengenai fasilitas pengurangan tarif dari penghitungan pajak penghasilan terutang atas subjek pajak Badan. Atas Pasal 31E Undang-undang Pajak Penghasilan pemerintah telah mengesahkan dan menerbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak No. 66/PJ/2010 tentang Penegasan atas Pelaksanaan Pasal 31E Undang-undang Pajak Penghasilan.

Untuk mengatur lebih lanjut Undang-undang pajak Penghasilan Pasal 31E, maka dikeluarkan Surat Edaran Dirjen Pajak No. 66/PJ/2010 tentang Penegasan atas Pelaksanaan Pasal 31E ayat (1). Berdasarkan Undang-undang pajak Penghasilan Pasal 31E, Surat Edaran Dirjen Pajak tersebut menegaskan hal-hal sebagai berikut:
  • Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.
  • Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
  • Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi:
  1. Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final;
  2. Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final; dan
  3. Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
  • Fasilitas Pasal 31E ayat (1) tersebut bukan merupakan pilihan. Sepanjang akumulasi peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada huruf c di atas tidak melebihi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri wajib mengikuti ketentuan fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Dalam Pasal 16 dan Pasal 31E UU PPh tersebut sama-sama mengatur mengenai peredaran bruto. Pasal 16 mengatur tentang peredaran bruto untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak (PhKP). Sementara Pasal 31E mengatur tentang peredaran bruto digunakan untuk menentukan peredaran bruto Wajib Pajak yang telah melampaui batas maksimal peredaran bruto untuk memperoleh fasilitas Pasal 31E. Perbedaannya terletak pada jenis penghasilan yang dimasukkan ke dalam penghitungan peredaran bruto. Daalam Pasal 16, penghasilan yang termasuk peredaran bruto adalah penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha yang jenisnyanya diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Sedangkan dalam Pasal 31E, penghasilan yang termasuk peredaran bruto adalah semua penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha, termasuk penghasilan yang dikenai PPh tidak final, penghasilan yang dikenai PPh final, serta penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.

Meskipun terlihat adanya perbedaan antara Pasal 16 dan Pasal 31E UU PPh dalam menentukan peredaran bruto, akan tetapi dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak (PhKP) keduanya akan mendapat hasil yang sama. Karena peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E akan dilakukan koreksi fiskal atas penghasilan dari usaha yang bersifat final serta penghasilan dari usaha yang bukan merupakan objek pajak. Sehingga atas penghasilan dari usaha yang bersifat final serta penghasilan dari usaha yang bukan merupakan objek pajak tidak diperhitungkan dalam Penghasilan Kena Pajak. 

Penghitungan peredaran bruto dalam Pasal 31E yang jelaskan lebih lanjut dalam Surat Edaran Dirjen Pajak hanya digunakan untuk menentukan peredaran bruto dari suatu Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang telah melebihi batas maksimum untuk memperoleh fasilitas Pasal 31E. Dalam perhitungan selanjutnya untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak, penghasilan dari kegiatan usaha yang bersifat final serta yang bukan objek pajak akan mengalami koreksi fiskal negatif. Artinya penghasilan dari kegiatan usaha yang bersifat final serta yang bukan objek pajak akan dikurangkan dari Penghasilan Kena
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

1 komentar

  1. permisi Pak, mohon bantuannya..
    kalo untuk usaha dibidang SPBE (stasiun pengisian bulk elpiji) dikenakan pajak penghasilan yg mana ya pak.. sbg info pendapatan spbe ini murni dari fee yg diberikan pertamina atas penyaluran elpiji 3kg ke agen2 langganan pertamina. jd pihak spbe menerima titipan elpiji di tangkinya utk disalurkan kpd para agen yg sdh membayar pesanannya ke pertamina terlebih dahulu. pihak spbe tidak mengeluarkan dan menerima uang atas transaksi tsb (tidak membeli produk ke pertamina dan tidak menerima uang pembelian dari agen elpiji dibawahnya) terima kasih sblmnya ya pak..

    BalasHapus