zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Surat untuk Mahasiswa

Tidak bisa dipungkiri lagi apabila di tahun ke dua pemerintahan SBY Jilid II sudah banyak pihak yang merasa muak atas kepemimpinannya. Dari mulai rakyat kecil sampai tokoh lintas agama pun sudah menunjukan reaksinya. Memang sebagai seorang kepala negara, SBY terlihat begitu elegan. Dengan segala macam pencitraannya SBY terlihat begitu karismatik. Tak jarang remaja-remaja perempuan pun ikut mengidolakannya. Tapi sebagai seorang kepala pemerintahan SBY terlalu plin-plan. Isu resuffle yang kemarin baru berakhir setelah digulirkan beberapa bulan pada awalnya menjadi harapan banyak pihak akan perubahan dari pemerintahan SBY yang telah menginjak tahun ke tujuh. Tapi sangat disayangkan isu tersebut tidak lebih dari sekadar politik dagang sapi.

Di sisi lain ada suatu kekhawatiran ketika mahasiswa tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial. Tentunya kita masih ingat bagaimana para aktivis yang disebut dengan angkatan ’66 dan angkatan ’98 memiliki peran yang begitu penting dalam meruntuhkan pemerinyahan rezim yang disebut sebagai orde lama dan orde baru. Memang pada saat itu mahasiswa masih sangat peduli dengan mengawal jalannya pemerintahan dan mengambil tindakan ketika pemerintah dirasa tak lagi berpihak pada rakyat. Berbeda dengan mahasiswa sekarang yang lebih senang dengan dunia hiburan dan gaya hidup hedonisme. Memang tidak salah untuk mendapatkan suatu hiburan di tengah rutinitasnya sebagai seorang pelajar. Tapi sangat disayangkan ketika hal itu malah menghilangkan fungsinya sebagai kontrol sosial.

Majalah-majalah yang diterbitkan pers mahasiswa pun sudah jarang sekali membahas isu-isu nasional khususnya mengenai pemerintahan yang sedang berjalan. Setidaknya itulah yang saya rasakan di kampus saya selama menjadi mahasiswa. Kerap majalah-majalah di kampus malah penuh dengan banyolan-banyolan ala majalah remaja. Tidak salah memang memuat hiburan dalam sebuah majalah kampus. Tetapi apabila terlalu berlebihan apa bedanya dengan majalah remaja. Sebuah media terbitan mahasiswa tentunya harus pula manunjukkan fungsinya sebagai mahasiswa. Bahkan jangankan memikirkan negaranya, ada suatu kenyataan yang sangat memilukan. Sangat kontras memang, ketika dulu Bung Hatta memilih untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka. Sekarang seorang mahasiswa malah memilih untuk tidak melanjutkan kuliah ketika pacarnya menikah dengan orang lain.

Apabila hal seperti ini terus dibiarkan ada suatu kekhawatiran yang timbul. Tentunya masih segar dalam ingatan kita bagaimana runtuhnya rezim Qaddafi di Libya. Mengikuti runtuhnya beberapa rezim lainnya di Timur Tengah. Rezim-rezim tersebut runtuh di tangan rakyat yang sudah merasa muak dengan pemerintahnya. Bukan diruntuhkan oleh para mahasiswanya. Ketika mahasiswa tak lagi bergerak maka rakyat lah yang akan bergerak. Apabila rakyat yang terpaksa harus bergerak maka gayanya pun tak akan seelegan mahasiswa yang juga disebut sebagai kalangan intelektual. Rakyat akan cenderung bergerak dengan anarkis. Terjadinya pemberontakan di Libya merupakan salah satu contoh nyata.

Harus kita akui bahwa pergerakan mahasiswa tak lagi “segarang” dulu. Beberapa kali aksi mahasiswa yang diperkirakan akan besar ternyata melempem. Rasanya apabila hal ini di biarkan bukan tidak mungkin dalam satu atau dua tahun ke depan, sebelum masa kepemimpin SBY berakhir, rakyat akan bergerak dengan caranya sendiri. Bukan tidak mungkin apa yang baru saja terjadi di Timur Tengah akan juga merembet ke negara kita. Harusnya pemerintah belajar dari hal itu. Kalaupun pemerintah tidak mengambil tindakan harusnya mahasiswa menjalankan fungsinya.

Ini hanyalah sebuah ungkapan kegelisahan dari seorang mantan mahasiswa abal-abal yang memang pernah kuliah di kampus yang tidak begitu terdengar gaung pergerakannya. Sebuah kampus yang maahasiswanya hanya sibuk dengan masalah internal dan sibuk menghilangkan sebuah paham yang disebut sebagai apatisme yang tak kunjung usai. Dengan tidak bermaksud “sotoy”, mari kira renungkan lagi mana yang lebih baik. Ketika mahasiswa bergerak dengan gayanya sebagai intelektual muda atau membiarkan rakyat yang sudah muak bergerak dengan gayanya yang cenderung anarkis?

Wassalam,
Ciamis, 30 Oktober 2011
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

13 komentar

  1. Aspirasinya keren. Kenapa engga dikirim aja ke majalah. Bagus lho..

    BalasHapus
  2. hmmm...
    nampaknya harus ada tindakan yah, ehehee..
    tapi ngeri juga kalo kejadian masa lalu itu terulang T^T

    BalasHapus
  3. memang benar bahwa aksi mahasiswa tidak segarang dulu. saya masih aktivis yang beberapa kali ikutan aksi, paling pol cuma diliput media dan mediasi yang ga ada tindak lanjutnya dari pihak pemerintah.

    strategi aksi mahasiswa harus diperbarui, dengan strategi yang apik, bukan cuma aksi aksi kaya biasanya.

    semoga mahasiswa Indonesia bisa tetap objektif mengawal pemerintah menjalankan tugasnya. Karena aksi adalah salah satu wujud kesetiaan terhadap bangsa, ketika pemerintah mulai melenceng, diam dan apatis adalah pengkhianatan.

    BalasHapus
  4. @Saputra Fijai: makasih, semoga banyak yang mendengar..

    BalasHapus
  5. @Itik Bali: makasih ya.. :) soalnya ga tau mau dikirim ke majalah apa.

    BalasHapus
  6. mahasiswa harus bankit dan bersatu untuk indonesia.....

    BalasHapus