zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Menyoal Relevansi SKCK

Ketika menyiapkan dokumen-dokumen untuk melamar kerja, saya dan mungkin juga banyak orang lainnya tentu harus juga melengkapimya dengan suatu dokumen yang kita dapatkan dari Kepolisian, SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). Bahkan untuk masuk ke beberapa perguruan tinggi kedinasan juga disyaratkan untuk melampirkan dokumen tersebut. Pada awalnya surat keterangan yang sejenis dengan SKCK muncul tahun 1950-an. Tetapi beberapa tahun setelah itu banyak pihak yang mendesak untuk dihapuskan karena ketidaksesuaiannya dengan prinsip lembaga pemasyarakatan. Kemudian sekarang kita mengenal SKCK yang sangat identik dengan surat yang sempat dihapuskan tersebut.


Sebelum membicarakan SKCK lebih jauh, terlebih dulu saya akan bercerita tentang suatu dokumen yang menurut saya hampir mirip dengan SKCK. Hanya saja dokumen ini lebih spesifik. Teringat beberpa tahun lalu, ketika saya masih memakai seragam putih-merah yang pada waktu itu rezim Orde Baru sedang berkuasa. Pada saat itu saya pernah mendengar ada suatu surat yang juga dipersyaratkan ketika seseorang hendak melamar kerja. Surat ini mirip dengan SKCK tapi diperuntukan sebagai keterangan tidak terlibat PKI yang disebut-sebut sebagai dalang pemberontakan G30S. Bahkan orang yang merupakan keturunan dari orang yang dianggap terlibat PKI juga dijerat dengan aturan ini.


Sejujurnya saya masih belum begitu percaya dengan beberapa tudingan yang diarahkan kepada partai berlambang palu dan arit itu. Menurut saya terlalu banyak konspirasi politik di balik peristiwa G30S. Selain itu, tuduhan sebagai anggota PKI juga tidak mengindahkan asas praduga tak bersalah yang sangat diagungkan dalam dunia hukum. Banyak orang yang dibunuh, banyak orang yang meninggal di penjara sementara meja hijau pun belum pernah menyentuhnya, hanya karena mereka dituduh sebagai anggota PKI. Jadi bagaimana seseorang bisa tanpa melewati proses pengadilan dan yang dijadikan acuan hanya sekadar kabar burung.


Saya bukan simpatisan PKI tapi saya juga tidak setuju ketika para petingginya langsung ditembak di tempat tanpa melalui proses pengadilan. Kemudian orang-orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisannya tidak mendapat tempat di masyarakat. Saya kira hal ini hanya berlangsung dari tahun 1965 sampai dengan runtuhnya rezim Orde Baru. Karena saat ini saya tidak pernah lagi mendengar perihal surat “sakti” tersebut. Apabila kita melihat sejarah tahun 1960-an, masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, tentunya kita akan mengetahui bahwa saat itu rakyat Indonesia menjadi sangat anti terhadap PKI yang mungkin sudah dinilai lebih rendah dari seekor binatang sekalipun. Pada saat itu PKI merupakan sebuah partai kuat yang mendukung Soekarno. Tentu saja beberapa pihak yang sudah tidak menyukai sistem demokrasi terpimpin hasil ciptaan Soekarno juga tidak menyukai partai ini.


Kadang untuk mendapatkan surat keterangan tidak terlibat PKI hanya dilakukan tes dengan menyebutkan sila-sila dalam Pancasila. Suatu ketentuan yang tidak efektif menurut saya. Karena anak SD pun tentunya sudah bisa menyebutkannya. Atau mungkin ini hanya suatu bentuk propaganda psikologis yang menunjukkan bahwa sejak akhir tahun 1965 Indonesia telah berubah dari negara yang menganut NASAKOM menjadi sangat Pancasilais. Atau bisa juga ini hanya dijadikan sebagai sumber penghasilan pribadi bagi para aparat pemerintah kala itu, semoga saja tidak. Lagipula pada masa itu tidak hanya ada pemberontakan PKI. Ada banyak pemberontakan lain, Darul Islam (DI) misalnya. Tapi saya tidak pernah mendengar bahwa ada surat keterangan tidak terlibat DI-TII. Bukankah ini menunjukkan ketidakkonsistenan dari pemerintah.


Lagipula seseorang yang dituduh terlibat PKI masih bisa mendapatkan surat keterangan tidak terlibat PKI tersebut dengan memberikan pelicin yang tentunya masuk ke kantong-kantong pribadi aparat terkait. Mari berandai-andai, andaikan puluhan juta orang yang diklaim PKI sebagai anggota ataupun hanya sekadar simpatisannya memang tidak mendapatkan surat keterangan tersebut maka akan banyak orang dari kalangan atas atau pun bawah yang “dikucilkan”. Mereka tidak akan mendapatkan pekerjaan yang layak. Tapi sepertinya kebanyakan dari mereka yang menjadi tertuduh berhasil mendapatkan surat itu, entah bagaimana caranya.


Menurut saya surat keterangan tidak terlibat PKI tidak jauh berbeda dengan SKCK. Hal ini tentunya juga beralasan. Misal, mereka dan setiap orang yang pernah berbuat salah mempunyai hak untuk mendapatkan kesempatan ke dua. Suatu hak untuk dapat kembali diterima di tengah-tengah masyarakat dan mendapatkan haknya sebagai warga negara. Tentunya semua itu diberikan selah mereka mendapatkan hukuman yang setimpal menurut aturan hukum di negara kita terhadap kesalahan yang telah diperbuatnya. Tapi buat apa kalau pada akhirnya stetelah keluar mereka diganjal dengan kedua surat sakti tersebut sehingga mereka tidak bisa kembali ke masyarakat dengan memperoleh pekerjaan yang layak. Bukankah hal ini bertolak belakang dengan tujuan adanya lembaga pemasyarakatan?


Menurut saya SKCK hanya menjadi simbol rasa kurang percaya diri pemerintah dalam hal penyelenggaraan lembaga pemasyarakatan. Apabila terus dibiarkan ini hanya akan menjadikan seorang mantan narapidana kembali ke dunianya yang kelam. Ketika mereka tidak diberi kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang layak itu hanya akan memaksa untuk kembali melakukan tindak kriminal. Mereka akan terpaksa untuk kembali menjadi pencuri, perampok, pengedarkan narkotika, bahkan pelacur sekalipun. Tentunya hal ini merampas hak mereka dan bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat (2), “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.


Lagipula dengan sistem yang ada sekarang seorang mantan narapidana bisa saja menipu dengan memalsukan identitas atau menyuap untuk mendapatkan selembar surat sakti supaya dia bisa kembali hidup “normal”. Bukankah itu hanya memperluas grey area yang bisa menimbulkan celah-celah KKN dalam sistem birokrasi di Indonesia. Selain itu, masa belaku SKCK yang berbulan-bulan juga saya kira kurang efektif. Karena dalam jangka waktu tersebut bisa saja seseorang melakukan tindak kriminal.


Kalaupun SKCK ini akan tetap diakui alangkah baiknya apabila sistem birokrasinya dipotong. Setau saya POLRI tidak mempunyai sistem informasi yang baik tentang semua data-data kriminalnya. Ini terlihat ketika seorang yang ingin membuat SKCK harus mulai dari tingkat POLSEK sampai POLRES. Sementara untuk membuat SKCK juga katanya, karena saya belum pernah membuatnya, kita diharuskan membayar sejumlah rupiah. Saya juga kurang tahu apakah ada aturan yang mengaturnya atau hanya “kebijakan” dari kepolisian setempat.


Bagaimana apabila dana yang diperlukan untuk pembuatan surat tersebut dialihkan untuk membuat suatu sistem informasi yang baik bagi POLRI. Sehingga perusahaan ataupun instansi tertentu yang ingin merekrut pegawainya cukup meminta catatan kriminal calon pegawainya kepada POLRI. Sementara si calon pegawai cukup membayarkan biaya administrasinyanya kepada perusahaan. Kemudian perusahaan mengurusi permintaan data calon karyawan langsung ke POLRI dengan biaya yang sudah ditanggung calon karyawan.


Apabila hal tersebut dapat diterapkan, selain birokrasi yang rumit yang harus dilalui oleh seorang yang membutuhkan SKCK akan terpotong, celah KKN pun ikut tertutup. Kemungkinan perubahan data kriminal dalam masa berlakunya SKCK juga akan hilang. Perusahaan/instansi akan diuntungkan dengan mendapatkan data yang langsung dari pihak Kepolisian sehingga menutup kemungkinan adanya rekayasa. Sistem ini juga akan  lebih ramah lingkungan. Apabila sebelumnya setiap orang harus menyiapkan selembar SKCK, maka dengan sistem ini dalam suatu lembar bisa memuat beberapa daftar nama atau bahkan tidak perlu dibuat print out-nya.


Tulisan ini hanya sebuah opini dari seorang masyarakat awam, seorang mantan mahasiswa abal-abal, yang tidak mempunyai pemahaman yang cukup dalam bidang hukum, administrasi negara, maupun ketatanegaraan.




┒(⌣˛⌣)┎ THE END ┒(⌣˛⌣)┎
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

20 komentar

  1. wooow !!! nice posting !! ya,PKI itu banyak konspirasinya. coba deh sekarang cek buku-buku sejarah anak-anak sekolah,mungkin nama PKI hanya sekedar lewat saja. di SMA malah cuma disebutkan aja ada PKI. semua karna petinggi-petinngi negara yg bahkan sudah alm diduga terlibat didalamnya. begitulah Indonesia.

    BalasHapus
  2. nah, SKCK itu menurut Fridi juga enggak baik
    Kalo narapidana kan engak bisa buat, jadinya kalo mau nglamar kerja yg butuh SKCK jd enggak bisa, terus ngapain coba?
    ya berbuat kriminal lagi, ckckck

    Fridi Graphic

    BalasHapus
  3. wah butuh berapa hari nih bikin postingnya? tapi yang jelas memang hasilnya bagus.... dan saya beri applause buat karya yang bener2 original,
    tetapi kadang karya yang ori bisa dengan mudah kalah saing dengan postingan yang asal copas, kita pun kadang dilemaris dan suka terjebak dengan copas mencopas....

    tapi begitulah warna dunia blog, mudah2an semakin dewasa kita semakin berisi apa yang kita tulis....

    weleh bisa jd postingan baru nih comment saya hehe

    mampir2 ya

    matur nuwun

    BalasHapus
  4. coba perhatikan, ketika masa berlaku habis, SKCK harus bikin baru lagi, ngisi balnko data lagi. Jadi pertanyaan sistem administrasi dan pendataan di kepolisian

    BalasHapus
  5. memang jika dilihat dari segi fungsi, SKCK tidak ubahnya hanya seperti penghias surat lamaran atau dokument persyaratan. Menurut saya SKCK hanya lebih sebagai formalitas belaka....
    followback ya gan....

    BalasHapus
  6. Wow, jujur aku merasa tersentil membaca postinganmu... ternya begito asal usul SKCK itu..

    saya pun gak tau fungsinya bikin SKCK untuk apa, bahkan untuk mendapoatkannya sangat sangat mudah...

    BalasHapus
  7. hmm birokrasi indonesia, kadang2 geleng2 kepala... bikin SKCK bisa jadi lahan korup.. buat oknum2 gak bertanggung jawab

    Kamu Blogger...? Yuk Ikutan Event Untuk Blogger Berhadiah Blakberry Playbook Berakhir 23 Desember 2011

    BalasHapus
  8. Bila sudah ada pola e-tronik apakah hal ini akan terus dilanjutkan ? Sedangkan dalam system KTP e-tonik dengan mudah mengenali data seseorang melalui data base pemerintah.

    Sukses selalu
    Salam
    Ejawantah's Blog

    BalasHapus
  9. masih kurang ngerti sebenernya masalah SKCK.untung saya jg gak perlu buat SKCK. kecuali kalo SKCK itu.. "Surat Keterangan Cinta Ku" #halah mungkin saya ikutan buat.
    huehehe..

    BalasHapus
  10. @Nonni Shetya: makasih.. :)
    yap, makanya sejarah yang kita pelajari di sekolah itu belum tentu semuanya bener.

    BalasHapus
  11. @FridiGraph: antar kebijakan aja rasanya bertolak belakang ya?

    BalasHapus
  12. postingan berat nih...
    tentang Sejarah pula..ya pokoknya PKI itu pernah pengen ngancurin Indonesia. Titik.

    BalasHapus
  13. @ali zakariya: cuma sehari tapi ga diposting-posting gara-gara ga sempet ke warnet. :D
    makasih ya, pokoknya sejelek apapun yang penting bukan kopasan.

    BalasHapus
  14. @Royan Naimi: yap, jadi kurang efisien apalagi birokrasinya juga terlalu panjang. :D

    BalasHapus
  15. @imam hadi kusuma: apalagi buat ngedapetinnya masih bisa lewat pintu belakang ya.

    BalasHapus
  16. @anasmcguire: wahaha.. maaf kalo ga sengaja tersentil. :p

    BalasHapus
  17. @konde: kek anak dugem aja ya senengnya geleng-geleng.:p

    BalasHapus
  18. @Ejawantah's Blog: hmm.. tapi kan KTP itu urusannya kemendagri beda sama SKCK, kecuali kalo emang diintegrasiin.

    BalasHapus