zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Bali, Melawan Stigma Mengejar Mimpi


Bali yang juga dijuluki sebagai Pulau Dewata memang sudah terkenal sebagai ikon pariwisata Indonesia baik di dalam maupun luar negeri. Keindahan alam dan kekayaan budaya Bali semakin menarik minat wisatawan untuk berbondong-bondong datang ke Bali. Namun, di sisi lain ketika mengaitkan kasus HIV/AIDS dengan Bali akan muncul beberapa stigma. Terkadang stigma tersebut muncul karena kesalahan penyampaian dan penerimaan informasi atau karena kurangnya pemahaman tentang HIV/AIDS. Sangat disayangkan memang. Karena sedikit banyak stigma tersebut berpengaruh terutama terhadap pihak-pihak yang terdiskriminasi.

Stigma terhadap Bali tersebut di antaranya: free sex (seks bebas) yang dianggap berkaitan langsung dengan HIV/AIDS, angka perkembangan HIV di Bali dianggap sebagai suatu kekhawatiran, HIV/AIDS yang dianggap sebagai pengaruh barat, dan stigma terhadap Orang Dengan HIV (ODHIV) yang meninggal di Bali. Tetapi apakah semua stigma itu sesuai dengan fakta yang ada? Untuk membuktikan hal itu saya mendapatkan kesempatan untuk melihat Bali lebih dekat. Berikut saya paparkan sidikit pengalaman yang saya dapatkan selama bertemu langsung dengan  ODHIV dan beberapa aktivis dari LSM dan yayasan peduli HIV/AIDS.

Pertama, seks bebas selalu dianggap berkaitan langsung dengan HIV. Padahal sebenarnya bukan seks bebas yang berkaitan langsung dengan HIV, melainkan seks tidak aman. Selain HIV masih banyak lagi Infeksi Menular Seksual (IMS) yang dapat ditularkan melalui seks tidak aman. Seks tidak aman dapat menularkan IMS terutama kepada orang yang suka berganti-ganti pasangan seks seperti Pekerja Seks (PS) dan  pelanggannya. Juga orang yang punya satu pasangan seks tetapi pasangannya suka berganti-ganti pasangan. Apalagi sekarang ini epidemi HIV/AIDS di Indonesia sudah berubah dari Injecting Drug User (IDU) ke sex transmission.


Ke dua, memang angka perkembangan HIV yang lebih tinggi bisa dianggap mengkhawatirkan. tetapi bisa juga sebaliknya. Karena angka perkembangan HIV yang tinggi bisa juga menunjukkan bahwa sudah banyak orang yang peduli dan melakukan tes HIV di daerah tersebut. Bagaikan fenomena gunung es. Sebaliknya, bisa saja daerah yang perkembangan HIV-nya masih rendah dikarenakan tingkat kepedulian masyarakatnya yang masih kurang. Selain itu, tingginya angka ODHIV pada usia remaja juga menimbulkan anggapan bahwa remaja adalah sasaran utama penularan HIV. Padahal apabila kita melihat piramida penduduk remaja merupakan populasi terbanyak. Jadi apabila melihat persentase wajar saja apabila remaja merupakan kelompok usia yang paling banyak terinveksi HIV.

Ke tiga, banyak sekali muncul pernyataan bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit orang bule. Apalagi di Bali cukup banyak wisatawan asing. Sehingga HIV/AIDS dianggap sebagai akibat dari pengaruh budaya barat yang dibawa para wisatawan tersebut. Padahal di Amerika saja HIV/AIDS awalnya ditularkan dari Afrika. Sebernarnya tidak ada hubungannya antara HIV/AIDS dengan orang-orang atau kebudayaan tertentu. HIV/AIDS juga sering dikaitkan dengan tingginya laju perkembangan di lokasi wisata dan di daerah-daerah perbatasan. Kalau pun itu benar, harusnya negara lain yang berbatasan juga merasa rentan tertular HIV/AIDS dari Indonesia. Menurut Danny Yatim, Media and Communications Adviser HIV cooperation Program for Indonesia (HCPI), kenyataannya justru wisatawan asing sangat aman jika dibandingkan dengan wisatawan domestik. Karena di negara asalnya sosialisasi tentang HIV/AIDS sudah sangat baik. Sehingga mereka selalu membekali dirinya dengan kondom.


Terakhir, ketika berkunjung ke KISARA (Kita Sayang Remaja), organisasi yang terdiri dari relawan-relawan remaja dan yang peduli remaja yang berada di bawah naungan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Bali (PKBI Bali), disebutkan bahwa ada stigma terhadap ODHIV yang beragama Hindu ketika meninggal. Terdapat perbedaan dalam hal memandikan mayat dalam adat Hindu Bali. Di mana ketika ada seorang warga yang meninggal maka haruslah satu banjar yang memandikannya. Hal ini bertujuan selain untuk menguatkan rasa kebersamaan dan kekeluargaan juga untuk menghindari kriminalisasi oleh keluarga jenazah.


Lantas apa yang harus kita lakukan untuk menanggulanginya? Karena tentu saja stigma dan diskriminasi itu tidaklah menyelesaikan masalah. Melainkan menambah masalah dan menjadi beban bagi ODHIV. Untuk itu mari kita teladani apa saja yang dilakukan pihak-pihak terkait di Bali dalam upayanya melawan stigma-stigma tersebut.

Pertama, epidemi HIV/AIDS di Indonesia sudah berubah dari Injecting Drug User (IDU) ke sex transmission. Itu menunjukkan bahwa seks memang menjadi kebutuhan setiap orang. Selain itu, seks juga lebih gampang untuk dipenuhi daripada narkoba. Akan sangat tidak efektif ketika kita hanya membicarakan masalah nilai dan norma yang ada di masyarakat. Melihat perkembangan HIV melalui sex transmission harusnya kita tidak mengutamakan untuk mempertanyakan kenapa seorang ODHIV bisa tertular HIV. Seharusnya kita lebih konsen dalam upaya pencegahan dan penanggulangannya. Seharusnya kita menghilangkan stigma bahwa HIV/AIDS adalah penyakit kutukan. Karena tidak semua ODHIV tertular melalui perilaku yang dianggap negatif menurut norma masyarakat. Seperti ketika saya berkunjung ke Yayasan Kerti Praja (YKP). Di situ saya bertemu dengan dua orang ODHIV yang tertular HIV dari suaminya yang merupakan pelanggan PS.


Menurut Putu Utami Dewi, ketua Yayasan Spirit Paramacitta, sangat sulit untuk melarang seseorang untuk berhubungan seks. Misalnya, seorang waria juga ketika dia sudah mapan dan mempunyai pekerjaan yang lebih baik dia akan kembali ke jalanan. Meskipun tidak dibayar tapi waria tersebut kembali ke jalanan untuk memuaskan kebutuhan seksnya. Hal ini diamini oleh I Made Arya dari Yayasan GAYa Dewata. Kemudian kami, finalis GoVlog AIDS, berangkat ke Jalan Bung Tomo yang merupakan hotspot para waria. Tak hanya sampai di situ. Beranjak dari situ kami didampingi Arya dan Sebastian berangkat ke Jalan Abimanyu, jalan yang dijuluki sebagai "Jalur Gaza", di kawasan Seminyak, Denpasar. Di situ terdapat lima kafe yang memang terbuka untuk umum tetapi pengunjungnya lebih didominasi oleh  kelompok gay, waria, dan lelaki yang seks dengan lelaki lainnya. Dengan melihat dari dekat terenyuh dalam benak saya bahwa aturan dan norma tidak selalu dapat mengatur semuanya. Akan selalu ada toleransi yang harus diberikan. Karena hidup itu tidak hanya hitam dan putih. Tetapi begitu banyak warna lainnya.

Ke dua, harus disadari bahwa HIV bisa menulari siapa pun. Dari mulai anak-anak, remaja, hingga orang dewasa bisa tertular HIV. Kita juga harus menghilangkan stigma bahwa HIV adalah penyakit kutukan. Seperti yang sudah saya ceritakan di atas ketika berkunjung ke YKP bahwa HIV bisa menulari siapa pun termasuk seorang istri yang setia. Stigma tersebut hanya akan membuat ODHIV enggan untuk terbuka sehingga semakin sulit untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan. Penanggulangannya yaitu dengan Care Support and Treatment (CST).

Kegiatan pencegahannya yaitu dengan:
  1. Peningkatan pelayanan Voluntary Conseling and Testing (VCT);
  2. Peningkatan penggunaan kondom pada hubungan seks beresiko untuk mengurangi penularan IMS termasuk HIV;
  3. Pengurangan dampak buruk bagi pengguna narkoba suntik (penasun) dengan Needle Syringe Program (NSP);
  4. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi atau Prevention Mother To Child Transmition (PMTCT).

Kemudian CST atau perawatan, pengobatan, dan dukungan juga harus diberikan kepada ODHIV. Pelayanan kesehatan bagi ODHIV juga harus ditingkatkan. Seperti yang diakui oleh Made Suprapta, Sekretaris KPA Bali, bahwa bagi bayi ODHIV sangat sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari dokter anak. Kemudian, detoksifikasi untuk mengurangi racun dalam tubuh IDU juga sangat diperlukan. Detoksifikasi tersebut yaitu dengan pemberian methadon di samping pencegahan dengan NSP. Karena sangat erat kaitannya antara IDU dengan penularan HIV. Selain itu, yang tidak kalah penting juga yaitu adanya Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). Dengan adanya KDS ODHIV tidak akan merasa hidup sendiri dan memperoleh dukungan moral. Selain itu, ODHIV juga merasa lebih nyaman dan bisa lebih terbuka.

Ke tiga, stigma bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit orang bule menurut saya hanyalah alasan dari orang timur yang seringkali merasa budayanya lebih baik daripada budaya barat. Sangat tidak penting ketika kita hanya menunjuk pihak-pihak tertentu sebagai kambing hitam atas semakin meningkatnya kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jauh lebih penting apabila semua kalangan dari mulai generasi muda, LSM, sampai pemerintah bahu membahu dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan kasus HIV/AIDS. Karena pada dasarnya ini adalah tugas kita semua. Bukan hanya tugas pemerintah, bukan hanya tugas LSM, dan juga bukan hanya tugas gernerasi muda. Nilai dan norma memang perlu diperhatikan. namun, dalam menangani suatu fenomena seperti HIV/AIDS akan lebih baik apabila kita melihatnya dari kacamata kemanusiaan. Melihat dari dekat supaya kita bisa mengerti bagaimana situasi sebenarnya. Karena lebih cepat pencegahan dan penanggulangannya itu akan lebih baik.

Terakhir, memang merupakan adat Hindu Bali ketika ada seorang warga yang meninggal haruslah satu banjar yang memandikannya. Namun, apakah ketika seorang ODHIV yang meninggal haruskah ritual memandikan mayat itu dilanggar hanya karena sebuah ketidaktahuan yang menjelma menjadi sebuah ketakutan. Harus kita ingat bahwa HIV tidak akan menular hanya dengan sentuhan. HIV hanya akan menular melalui pertukaran cairan tubuh seperti darah, Air Susu Ibu (ASI), air mani, dan cairan vagina. Itu pun probabilitasnya tidak sampai 100%. Lagipula HIV akan mati dalam empat jam setelah tubuh inangnya meninggal. Untuk menyosialisasikan masalah ini PKBI Bali bekerjasama dengan para pendeta. Karena ketika seorang pendeta memandikan jenazah ODHIV maka masyarakat akan mulai percaya bahwa memandikan jenazah ODHIV itu tidaklah berbahaya.


HIV/AIDS meupakan sebuah fenomena yang unik. Fenomena ini meliputi aspek medis dan aspek sosial. Dari aspek medis HIV merupakan virus yang sangat susah dicegah. Virus ini bisa menyebabkan AIDS, akumulasi penyakit yang timbul karena berkurangnya sistem imun dalam tubuh. Dari aspek sosial HIV/AIDS seringkali dianggap sebagai "kutukan". Hal ini karena penularan HIV/AIDS sering kali disangkutpautkan dengan perilaku sosial, seperti seks bebas, dan penggunaan narkoba suntik. Namun, sebenarnya ada yang lebih penting dari hanya sekadar mempertanyakan bagaimana seorang ODHA terinfeksi. Karena pertanyaan seperti itu hanya akan menimbulkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Ibaratkan kita adalah ODHIV. Maka kita akan mengerti bagaimana seharusnya menanggulangi fenomena ini. Akan lebih baik dan lebih cepat lagi penanggulangannnya apabila semua pihak bahu membahu menanggulangi fenomena ini. Lihatlah dari dekat dengan mata hati kita maka kita akan mengerti.


++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++



Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

4 komentar

  1. bener bgt, yg paling mengkhawatirkan adl soal sex bebas, baik kalangan anak muda maupun orang tua. Bisa dilihat dari tingginya tingkat unwanted pregnancy :(

    BalasHapus
  2. gileee keewreeeen =))) lo udha kaya aktivis jaee =33

    BalasHapus