zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Ilusi Menghapus PTK



Rasanya baru kemarin saya meluapkan uneg-uneg yang sudah cukup lama terpendam. Ketika saya dan banyak (mantan) mahasiswa STAN selalu didiskriminasi dengan stigma sebagai adik kelas Gayus. Ketika semua lulusan STAN digeneralisasikan berprilaku sama seperti Gayus. Juga belum genap sebulan saya menulis cerita tentang dua orang alumni STAN yang dijerat sebagai koruptor padahal mereka sudah bekerja sesuai dengan SOP yang berlaku. Sementara para tokoh utama kasus korupsi ini tetap melenggang bebas. Rupanya mereka masih sangat kebal untuk tergores palu meja hijau. Belum tuntas kasus tersebut kini muncul lagi kabar kelabu yang meliputi kampus PTK (Perguruan Tinggi Kedinasan), khususnya kampus STAN. Karena dalam berita yang dilansir okezone.com hari Sabtu (28/1/2012) itu, hanya kampus STAN yang dengan sangat jelas terlihat dalam gambar ilustrasinya. Hanya kampus STAN jua lah yang disebutkan secara gamblang dalam artikel berita tersebut.

Dalam artikel itu seorang anggota Komisi X DPR, Soemandjaja, mempertanyakan keberadaan PTK yang dianggap hanya menjadi pesaing Perguruan Tinggi (PT) umum. "Jika ingin kembali ke pendidikan nasional, maka sekolah-sekolah kedinasan perlu dievaluasi. Pasalnya, sekolah kedinasan justru bersaing dengan sekolah umum. Kecuali untuk sekolah militer. Misalnya, Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan universitas lainnya memiliki fakultas ekonomi dan jurusan akuntasi, namun mengapa masih ada Sekolah Tinggi Akuntasi Negara (STAN) yang lulusannya memiliki ikatan dinas?" ujar Soemandjaja. Dia juga menuding adanya penyimpangan dalam pengangkatan pegawai lulusan sekolah kedinasan. "Di peraturan perundangan, lulusan D-3 harusnya menempati golongan 3B, namun pada pengangkatannya, mereka menempati golongan 3A."

Munculnya pernyataan sinis terhadap Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) ini membuat benak saya menerawang satu tahun ke belakang. Ketika pada tanggal 4 Nopember 2010 Bambang Sudibyo, seorang yang pernah duduk di kursi Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Keuangan, mengeluarkan pernyataan yang sangat kontroversial. “STAN yang selama ini menjadi satu-satunya lembaga pendidikan yang mencetak SDM perpajakan harus dihentikan. Hal itu untuk memutus perembetan budaya korupsi.” Dengan gamblangnya dia menunjuk STAN sebagai kampus perembet budaya korupsi. Padahal kalau memang demikian adanya, kenapa tidak ditutup saja STAN selagi dia masih menjabat Menteri Pendidikan Nasional atau Menteri Keuangan dulu? Ah, mungkin saja baru terpikir olehnya.

”SDM atau aparat pajak yang direkrut harus punya kompetensi teknis, profesional, punya integritas, dan nasionalisme yang tinggi.” tambahnya ketika menjadi pembicara tunggal dalam Seminar Nasional “Reformasi Perpajakan Antara Harapan dan Kenyataan” di STIE AUB Surakarta. Apabila disederhanakan, pernyataan tersebut jelas-jelas menjatuhkan vonis terhadap lulusan STAN sebagai SDM atau aparat pajak yang tidak punya kompetensi teknis, tidak profesional, tidak punya integritas, dan tidak punya nasionalisme yang tinggi.

Sebelumnya, mari kita telaah lebih lanjut pernyataan Soemandjaja tadi.

Pertama

Soemandjaja menyebutkan “Misalnya, Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan universitas lainnya memiliki fakultas ekonomi dan jurusan akuntasi, namun mengapa masih ada Sekolah Tinggi Akuntasi Negara (STAN) yang lulusannya memiliki ikatan dinas?" Memang dalam nama STAN hanya terdapat kata “akuntansi”. Tetapi ini bukan berarti STAN hanya memiliki jurusan/spesialisasi akuntansi (dhi. Akuntansi Pemerintahan). Masih ada banyak spesialisasi di STAN. Seperti Perpajakan, Kepabeanan dan Cukai, Pajak Bumi dan Bangunan, Pengurusan Piutang Lelang Negara, dan lainnya. Memang untuk akuntansi dan perpajakan di kampus lain juga cukup banyak yang memiliki jurusan tersebut. Akan tetapi, bagaimana dengan jurusan lainnya? Selain STAN, berapa banyak kampus lain yang memiliki jurusan Kepabeanan dan Cukai, Pengurusan Piutang Lelang Negara, atau Pajak Bumi dan Bangunan? Mungkin tidak ada, mungkin.

Kedua

Soemandjaja juga menyebutkan bahwa sesuai peraturan perundang-undangan lulusan DIII harusnya menempati golongan IIIB, namun pada pengangkatannya, mereka menempati golongan IIIA. Apabila saya bertemu dengannya saya ingin sekali menanyakan di mana lulusan DIII yang diangkat menjadi golongan 3A seperti yang disebutkannya. Karena setahu saya lulusan DIII hanya diangkat menjadi golongan IIC. Tadi, karena merasa penasaran saya iseng membuka catatan kuliah. Entah kenapa waktu itu saya termotivasi untuk mencatat materi golongan jenjang PNS, padahal saya termasuk mahasiswa yang bisa dibilang jarang mencatat pada saat kuliah. Mungkin Tuhan sudah menakdirkan saya untuk menulis masalah ini, halah. Setelah saya lihat ternyata ada yang namanya golongan pangkat dan golongan jabatan. Jadi, golongan apa yang dimaksud oleh Soemandjaja tersebut? Apakah golongan pangkat atau golongan jabatan? Karena keduanya merupakan dua golongan jenjang yang berbeda dan tetap saja lulusan DIII bukan golongan IIIA dari kedua golongan jenjang tersebut. Betulkan jika saya salah.

Golongan IIIA itu lebih rendah daripada golongan IIIB. Ini telah saya konfirmasikan juga ke beberapa orang teman kuliah saya. Maklum saya bukan mantan mahasiswa yang cerdas. Jadi apabila apa yang disebutkan oleh Soemandjaja itu benar, malah seharusnya kami, lulusan DIII, yang komplain atas hal ini. Rasanya pantas apabila saya mencoba menerka-nerka dan menuduh kalau Soemandjaja hanyalah korban pemberitaan kasus Gayus. Bukan mengacu pada peraturan perundang-undangan. Saya ingat ketika masih santer pemberitaan kasus Gayus, waktu itu sering disebutkan bahwa "Gayus adalah PNS golongan IIIA di Ditjen Pajak". Karena Gayus adalah lulusan STAN mungkin Soemandjaja mengira lulusan STAN hanyalah DIII sehingga dia bisa menyimpulkan lulusan DIII menempati golongan IIIA. Padahal pendidikan terakhir Gayus bukanlah DIII. Gayus sudah sekolah lagi mengambil jenjang DIV, makanya golongan pangkatnya sudah naik menjadi IIIA. Semoga kehormatan Anda sebagai anggota dewan tidak luntur karena dikritik oleh seorang pengangguran yang sangat tidak terhormat ini.

Sebenarnya sekitar satu dua tahun ke belakang juga sempat gempar isu PTK yang akan diubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Katanya perubahan ini akan menyebabkan PTK tidak gratis lagi dan tidak akan ada ikatan dinas. Saya juga kurang tahu kelanjutannya bagaimana. Sebab saya juga tidak merasakan ada perubahan yang begitu mendasar terkait isu BLU ini. Sudahlah, mari kita lupakan masalah BLU ini.

Kemudian, di sini saya akan mencoba mengungkapkan opini saya kenapa PTK harus tetap ada dan tidak boleh dihapus. Seperti judul tulisan ini, saya hanya akan mengungkapkan illegal opinion. Kenapa saya sebut illegal opinion? Karena saya tidak tahu dasar hukum yang harus saya pakai untuk mengungkapkan sebuah legal opinion (LO) terkait isu ini. Saya bukan anggota dewan yang terhormat yang setiap hari bergelut dengan peraturan perundang-undangan yang dalam beropini pun selalu berdasarkan dan menyebut-nyebut peraturan perundang-undangan yang sangat difahaminya. Berikut ini beberapa opini singkat saya kenapa PTK tidak boleh dihapus.

1. Pendidikan tinggi gratis

Di sini saya tidak akan membicarakan seorang anak yang mencoba bunuh diri karena malu tidak bisa membayar SPP. Saya hanya akan menuliskan curhatan saya atas apa yang pernah saya alami. Entah berapa miliar bahkan triliun dana yang dianggarkan oleh pemerintah setiap tahunnya dalam APBN untuk sektor pendidikan. Semoga saja anggaran pendidikan yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan anggaran untuk perawatan istana dan gedung DPR ini tidak bocor di tengah jalan. Akan tetapi, berapapun jumlah yang telah dianggarkan bagi saya pendidikan di Indonesia tetap saja menjadi barang mahal.

Memang sekarang ada yang namanya BOS, itu juga hanya untuk pendidikan dasar. Tapi tetap saja untuk anak-anak yang berada di bawah garis imajiner kemiskinan untuk bisa sekolah masih banyak hal yang harus mereka pikirkan. Mereka masih harus memikirkan biaya seragam. Belum lagi ketika keadaan memaksa mereka untuk ikut banting tulang membantu orang tua untuk mencari nafkah. Entah berapa orang sahabat saya yang putus sekolah dan yang tidak dapat meneruskan sekolah meski untuk tingkat pendidikan dasar. Apalagi untuk bisa duduk di bangku perguruan tinggi. Jujur saja saya juga termasuk pemburu beasiswa. Beasiswa adalah sebuah kata yang menjadi harapan saya untuk bisa meneruskan kuliah. Beruntung saya bisa pindah kuliah ke sebuah PTK sampai akhirnya saya berhasil menyelesaikan pendidikan. Itu juga yang menjadi salah satu alasan kenapa banyak mahasiswa di PT umum baik yang baru masuk maupun yang sudah beberapa semester memutuskan untuk pindah ke PTK.

Tahun 2007 jumlah pendaftar USM STAN mencapai angka puncak, memecahkan rekor MURI karena melewati angka seratus ribu. Menurut saya, selain karena lulusan PTK sudah mendapatkan jaminan pekerjaan, faktor lainnya yaitu karena PTK menyediakan pendidikan secara gratis. Beberapa hari kemarin saya membaca tulisan salah seorang teman dunia maya saya di blognya. Dengan penuh harap dia mengungkapkan bahwa STAN adalah kampus impiannya. Ketika dia tidak berhasil lulus USM STAN 2011 dia tidak bisa meneruskan pendidikannya hingga ke bangku kuliah. Lagi-lagi faktor ekonomi lah yang menjadi kambing hitam kenapa dia tidak bisa duduk di bangku kuliah. Meski demikian dia sangat berharap bisa lulus lagi dalam USM berikutnya. Lantas apabila PTK, termasuk STAN, harus dihapus tidakkah ini menciderai mimpi ribuan anak yang mendambakan indahnya mengenyam bangku kuliah dengan gratis? Mending, apabila pemerintah sudah bisa menyediakan bangku kuliah gratis lewat PT umum. Karena itu pula lah mayoritas mahasiswa PTK bukanlah anak-anak dari kalangan jetset, melainkan kalangan menengah ke bawah. Baik itu di STAN maupun di beberapa PTK lain yang saya kenal. Jadi, haruskah PTK dihapus? 

2. Seleksi dan standardisasi yang ketat

Selain PTK militer, PTK nonmiliter juga menerapkan seleksi yang sangat ketat bagi calon mahasiswanya. tentunya sudah tahu bagaimana ketatnya seleksi untuk masuk STSN, IPDN, STIS, STTD, dan PTK nonmiliter lainnya. Mulai tahun 2011 STAN juga lebih memperketat seleksi calon mahasiswanya dengan mengadakan tiga tahap seleksi. Pernah seorang kakak tingkat saya di kampus bercerita tentang mahasiswa yang di-DO (drop out) karena terbukti melakukan kecurangan pada saat USM. Ketika hal itu terendus oleh pihak kampus mahasiswa tersebut langsung di-DO, meskipun hal itu baru terendus ketika si mahasiswa sudah mengikuti perkuliahan selama beberapa semester.

Kemarin, ketika saya membuat SKCK di Polsek, seorang polisi bertanya kepada saya. “Kok bisa masuk STAN? Ada kenalan orang dalem ya?” Kemudian dengan bangga saya menjawab “TIDAK!” Bukan rahasia umum lagi ketika beberapa pintu masuk perguruan tinggi termasuk PTN bisa dijebol dengan sekoper uang. Apabila masuknya saja sudah melalui praktik KKN, bagaimana dengan lulusannya kelak? Tapi tidak demikian dengan kampus STAN, kampus yang banyak orang menyebutnya sebagai mesin penghasil koruptor. Begitu pula dengan beberapa kampus PTK lainnya.

Selain disiplin yang sangat ketat, kampus PTK juga menerapkan standar nilai yang sangat ketat dengan sanksi yang tidak tanggung-tanggung, sanksi DO. Tidak ada kompromi lagi apabila seorang mahasiswa PTK sudah berhadapan dengan yang namanya DO. Ini tidak hanya berlaku di STAN. Tapi juga di kampus PTK lainnya. Setiap semester kami harus berjuang di bawah tekanan untuk bisa lolos dari jeratan DO.

Ketika sebelumnya Bambang Sudibyo mempertanyakan integritas lulusan STAN, saya hanya beranggapan bahwa sebagai mantan Menteri Keuangan, mantan menteri di sebuah kementerian yang menaungi STAN, dia tidak tahu bahwa STAN begitu ketat dalam menerapkan integritas pada mahasiswanya. Misalnya saja, ketika seorang mahasiswa tertangkap tangan mencontek pada saat ujian maka saat itu juga dibuatkan berita acara dan mahasiswa tersebut langsung di-DO, tanpa ada ampunan. Jujur saja waktu SMA saya masih suka mencontek ketika sedang ujian. Tetapi setelah masuk ke STAN, saya tidak pernah sekali pun berani mencontek ketika sedang ujian. Bahkan karena pakaian yang kurang rapi pun seorang mahasiswa pernah mendapatkan sanksi DO. Ini hanya sebagian contoh penerapan disiplin yang sangat ketat yang diterapkan oleh PTK untuk menumbuhkan disiplin dan integritas pada mahasiswanya. Sementara, maaf, adakah PT umum yang menerapkan sanksi seperti ini terhadap mahasiswanya?

Seorang teman di salah satu kampus yang tidak akan saya sebut namanya pernah bercerita bagaimana liarnya mahasiswa ketika sedang ujian. Katanya itu menjadi hal yang lumrah di kampusnya. Dia juga pernah bercerita ketika seorang dosen “mengemis” pelicin kepada mahasiswanya ketika seorang mahasiswa ingin memperbaiki nilainya. Apakah ini terjadi di PTK? Dengan yakin saya katakan “TIDAK!” Lantas, kenapa kampus yang sudah begitu ketatnya menerapkan disiplin masih harus dihapus di saat cukup banyak PT umum yang sedang mengalami krisis integritas. Jadi, haruskah PTK dihapus? 

3. Kompetensi teknis

Sebelunya Bambang Sudibyo menyebutkan ”SDM atau aparat pajak yang direkrut harus punya kompetensi teknis, profesional, punya integritas, dan nasionalisme yang tinggi.” Rupanya dia masih mempertanyakan kompetensi teknis yang dimiliki lulusan PTK. Padahal PTK sudah mempersiapkan lulusannya dengan kompetensi teknis sesuai dengan profesi yang akan digelutinya. Ada beberapa kurikulum di PTK terkait kompetensi teknis yang tidak mungkin dimasukkan ke dalam kurikulum PT umum. Misalnya matakuliah yang merupakan kompetensi teknis yang bisa disebut sebagai “rahasia dapur” suatu instansi. Kerena tidak mungkin mengajarkan mata kuliah Sistem Informasi suatu instansi kepada mahasiswa PT umum. Terjawablah sudah apa yang dipertanyakan oleh sang mantan menteri tersebut.

Sebutkan saja ada berapa PT umum yang memiliki kompetensi Kepabeanan dan Cukai, Pengurusan Piutang Lelang Negara, atau Pajak Bumi dan Bangunan? Mungkin tidak ada, mungkin. Karena buktinya, Pemerintah daerah pun, yang tidak berada di bawah naungan Kementerian Keuangan, mempercayakan serta menitipkan calon pegawainya untuk mengikuti pendidikan di STAN, sebuah PTK. Bukan di PT umum. Jadi, haruskah PTK dihapus? 

4. Konsep link and match

Tentunya sudah bukan rahasia umum lagi ketika banyak sarjana menjalani profesi atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan kompetensinya. Inilah kenyataan dalam dunia pendidikan kita, khususnya pendidikan tinggi. Saya juga masih ingat dengan iklan salah satu PTS, LP3I. Bukan parodi Obama yang kuliah di LP3I, melainkan konsep link and match yang sering disebut-sebut dalam iklannya. Tahukah kalau sebenarnya PTK juga menerapkan konsep link and match ini? Ketika seorang lulusan STIS sudah pasti bekerja di bidang statistika dan lulusan STP sudah pasti bekerja di bidang perikanan. Jadi, haruskah PTK dihapus?


Hanya sedikit memang illegal opinion saya terkait isu ini. Apabila PT umum sudah bisa memberikan keempat poin tersebut, saya tidak akan melarang apabila pemerintah ingin menghapus PTK dari muka bumi ini. Melarang? Memangnya siapa saya dan punyak hak apa untuk melarang pemerintah? Kalaupun pada akhirnya pemerintah bersikeras untuk menghapus PTK setidaknya itu membuat saya kelak bisa bercerita “Dulu, di bumi pertiwi Indonesia ini juga pernah ada beberapa perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi yang berkualitas dengan gratis.” Akan tetapi, sekarang saya hanya bisa mengatakan bahwa menghapus PTK hanyalah sebuah ilusi ngawur pemerintah dalam upayanya menyelesaikan caru-marut dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Tentunya hal ini hanya akan menghapuskan impian ribuan bahkan jutaan anak Indonesia yang begitu mendambakan bisa mengenyam pendidikan tinggi. SEKIAN.


Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

8 komentar

  1. ada berapa banyak kata "mungkin" yang saya temukan di tulisan ini. Tapi mungkin semua kemungkinan itu memang benar, mungkin.

    Mantap tulisannya. Ada twitter soemandjaja gak? di mention aja supaya dia baca.. tulisan agan blogger yang udah di pos di kompasiana juga tuh.. dan kayaknya bang erikson juga menyusul..

    BalasHapus
  2. baguuuuuuuuus !!!!
    seneng deh baca blog nya. rasanya pengen bisa nulis kaya gini..hehe

    BalasHapus
  3. iya ne, abang ini mantep banget..aku sendiri malah bingung baca yg di **********..lulusan dari STAN bisa golongan IIIA, apa lagi di sana jelas banget bilang D3, keliatan banget kl cuma asal aja..apa mungkin kl emang bener IIIA, mereka kan yang bikin undang2, waahh bener ni mujur nasib kitaa..
    lagian baca artikel tentang itu aku juga nyesek banget, lulusan USM STAN pasti orang orang pilihan..pasti banyak yang ninggalin PTN favorit mereka buat daftar STAN..jadi kita tu bukan di utamain, tapi kita emang pantes ndapetin itu, n abang yang ini aku doain jadi anggota DPR..lebih keliatan pinter, walopn cuma pengangguran,,SEKALI LAGI TERIMAKASIH BANYAK..

    BalasHapus
  4. mantap kak tulisannya :D ayo kita tunjukkan klo mahasiswa stan berintegritas! kita orang2 terpilih dari seleksi yg begitu ketat. kita bisa buktikan klo mahasiswa ptk bukan asal2an dan bukan pula mahasiswa "titipan" :D

    BalasHapus
  5. mantep mas tulisannya :D mo nulis kayak gitu kok susah ya -_____-

    BalasHapus
  6. Waduw, berat nih tulisannya :D
    Buat saya sih kita gak bisa mengeneralisasikan antara satu dengan yang lainnya.
    Lulusan STAN belum tentu "GAYUS" kok :)
    Oh..ya, soal bersaing dengan Perguruan Tinggi Umum atau gak, itu kan ada porsinya masing2.
    Toh yang berkompeten yang akan dipakai :)

    BalasHapus