zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Titik Api Perubahan

Pertarungan abadi setan malaikat
Luluh lantak darah mewangi
Berhamburan sejuta nafas terakhir
Dunia berhenti tertawa
Aku bukan pahlawan berparas tampan
Sayap-sayap pupus terbakar
Salah benar semua pernah kulakukan
Angkat gelas kita bersulang!
(Superman Is Dead – Bukan Pahlawan)


Ada satu peristiwa penting dalam sejarah pergerakan mahasiswa yang terjadi pada tanggal 10 Januari. Sehingga kemudian peristiwa tersebut diperingati sebagai Hari Kebangkitan Mahasiswa. Meskipun saya yakin dari sekian banyak mahasiswa di Indonesia hanya sebagian kecil saja yang mengetahui dan memperingatinya, apalagi memaknainya. Entah itu karena rezim Orde Baru menutup-tutupi peristiwa tersebut untuk meredupkan semangat pergerakan mahasiswa. Entah karena sikap apatis mahaiswa itu sendiri. Di penghujung tahun 2011 juga terjadi suatu peristiwa atau lebih tepat disebut sebagai suatu tragedi. Tragedi yang masih berkaitan dengan pergerakan mahasiswa. Dari gambar di atas pastinya sudah bisa ditebak tragedi apa yang saya maksud.

***

Malam itu ketika saya dan teman-teman mampir ke Monas. Sebuah gambar TKP ditunjukkan kepada kami. Di sekelilingnya tertulis “TITIK API PERUBAHAN!!!”. Wangi taburan bunga masih cukup kuat untuk membuat bulu kuduk saya berdiri. Tentunya teman-teman juga sudah tahu tentang tragedi yang terjadi pada hari Rabu tanggal 7 Desember 2011 di depan Istana Negara Jakarta. Karena saat itu di media sosial juga cukup ramai diperbincangkan. 48 jam setelah tragedi pada hari Rabu itu Sondang Hutagalung, pimpinan Himpunan Aksi Marhaenis Untuk Rakyat Indonesia, meregang nyawa. Ada banyak opini yang muncul akibat peristiwa ini. Ada yang pro dan ada yang kontra. Apalagi Sondang meninggal pada tanggal 10 Desember 2011 yang merupakan hari HAM sedunia.

Pihak UBK sendiri memberikan anugerah gelar sarjana kehormatan karena peran aktif Sondang dalam menyerukan moral perubahan yang dianggap total. Selain itu, pihak kampus juga meresmikan ruang peradilan semu menjadi Ruang Sondang Hutagalung. Sayangnya Sondang tidak menjelaskan maksud dan tujuan kenapa ia melakukan aksi  bakar diri tersebut. Tidak ada sepucuk surat pun yang ditulisnya. Sehingga hal ini menimbulkan multi tafsir. Bahkan ada yang menyimpulkannya sebagai sebuah aksi heroik dan menganggap Sondang sebagai pahlawan yang kemudian disandingkan dengan Robin Hood dan Munir yang berjuang untuk rakyat kecil.

Saya sendiri tidak tahu termasuk pihak yang pro atau kontra. Silakan simpulkan sendiri dari beberapa opini saya berikut ini:

  1. Tidak ada satu agama pun yang membenarkan perbuatan bunuh diri. Tindakan bunuh diri adalah suatu bentuk kenistaan terhadap Tuhan Yang Mahakuasa. Banyak orang menyebutkan bahwa Sondang tidaklah bunuh diri tapi bakar diri. Namun, bagi saya itu hanyalah sebuah permainan silat lidah. Karena kalau kita lihat dari modusnya. Bakar diri hanyalah sebuah modus dalam bunuh diri. Sama halnya dengan gantung diri yang juga merupakan salah satu modus seseorang untuk bunuh diri.
  2. Ketika menjadi mahasiwa saya merasa sangat beruntung. Kenapa? Karena tidak semua teman saya dapat menikmati bangku kuliah. Apalagi saya mendapatkannya dengan gratis. Begitu pula Sondang. Beberapa kali dia mendapatkan beasiswa dari kampusnya. Tapi mungkin dia tidak peduli dengan semua itu dan hanya ingin dianggap sebagai pahlawan pergerakan seperti Elang Mulya Lesmana dan kawan-kawan. Aktivis mahasiswa angkatan ’98 yang meregang nyawa saat sedang memerjuangkan nasib bangsanya. Tapi sayangnya bukan peluru panas aparat yang merenggut nyawa Sondang.
  3. Menurut saya Sondang hanyalah seorang aktivis yang frustasi. Bukan seorang pahlawan yang membela rakyat kecil seperti Robin Hood apalagi Munir. Karena Munir tidak berjuang dengan membunuh dirinya. Meskipun dia tewas ketika berjuang tapi itu karena keberaniannya berjuang selama bertahun-tahun tanpa pandang bulu. Munir tewas karena dibunuh, bukan bunuh diri.
  4. Sebagai seorang aktivis marhaenis Sondang telah menciderai nilai-nilai dasar marhaenisme: Sosio Nasinalisme, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih ironis lagi hal ini dilakukan oleh seorang mahasiswa yang seharusnya menjadi iron stock dan agent of change.

Saya sangat-sangat mengapresiasi semangat perjuangan Sondang. Tapi sayang sekali dia mengakhirinya dengan tidak bijaksana. Cukuplah Sondang yang terakhir mengakhiri hidupnya karena geram melihat ketidakbecusan pemerintahan SBY. Jangan sampai generasi muda yang masih labil ikut berpikiran sempit dengan meniru apa yang dilakukan Sondang. Tanpa melakukan aksi nyata untuk mencari solusi permasalahan negeri ini.

***

Dalam momentum Hari Kebangkitan Mahasiswa ini semoga semangat perjuangan Sondang bisa kembali membangkitkan semangat pergerakan mahasiswa yang sedang mati suri. Hanya semangatnya yang harus kita tiru, bukan perbuatannya. Dengan kemajuan di segala bidang khususnya dalam bidang teknologi informasi seharusnya pergerakan mahasiswa bisa lebih efektif lagi. Pada tahun 80-an untuk membangun jaringan antarmahasiswa di berbagai kota yang berbeda seorang mahasiswa harus datang langsung ke kota tersebut. Lebih banyak waktu dan materi yang harus dikorbankan. Karena teknologi telepon pada saat itu masih menjadi sesuatu yang luks. Apalagi pada masa itu HP dan internet pun belum ada. Berbeda dengan saat sekarang ini di mana teknologi informasi sudah sangat maju. Kebebasan pun tak lagi dikekang seperti pada rezim Orde Baru. Sehingga pada masa itu pergerakan mahasiswa pun terbagi dua, "pasang badan" yang berjuang terang-terangan dan "bawah tanah" atau klandestin.

Harus diakui bahwa setiap era selalu memiliki momentumnya masing-masing yang selalu berubah dari masa ke masa. Pergerakan mahasiswa prakemerdekaan berjuang membangun pondasi kebangsaan. Pada awal pascakemerdekaan mahasiswa juga masih berjuang untuk membangun rasa nasionalismenya. Baru pada awal tahun 1960-an mahasiswa mulai angkat bicara tentang “Amanat Penderitaan Rakyat” atau Ampera. Ternyata hal inilah yang kemudian mengilhami kenapa pada lirik lagu “Genderang UI” terdapat kata “Ampera”. Karena kebetulan saya juga pernah diajarkan untuk menyanyikan lagu tersebut.

Tanggal 1 Oktober 1965 PKI berusaha mengudeta pemerintahan. Beruntung usaha ini dapat digagalkan oleh ABRI. Karena peristiwa ini dunia mahasiswa pun ikut bergolak. Mahasiswa kemudian ikut aktif membersihkan dunia kampus dari unsur PKI-Gestapu dengan membentuk organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang merupakan gabungan dari organisasi intra maupun ekstra-universiter. Namun, usaha ini tidak berjalan mulus. Karena banyak menteri yang terlibat usaha kup Gestapu menyabotase usaha pengganyangan oleh mahasiswa, rakyat, dan ABRI. Untuk menghindari pengganyangan tersebut salah satu jalur yang mereka tempuh adalah jalur ekonomi.

Desember 1965 menteri-menteri Gestapu mengeluarkan peraturan pemerintah di bidang moneter.  Dalam peraturan tersebut nilai rupiah dipangkas. Uang Rp1.000,00 disamakan dengan Rp1,00. Uang kertas Rp10.000,00 dan Rp5.000,00 ditarik dari peredaran dalam jangka satu bulan dan dikenakan 10% iuran revolusi. Harga-harga melonjak hingga ratusan persen dalam waktu seminggu. Masyarakat pun panik. Banyak orang melemparkan uangnya ke pasar dengan memborong barang. Apalagi waktu itu menjelang Idul Fitri, Natal, dan tahun baru. Kekacauan ini diperparah lagi dengan politik kenaikan harga dari pemerintah. Tarif angkutan umum saja dinaikkan 500% - 1000%. Begitu juga dengan harga lainnya seperti beras yang naik 300% - 500%. Kenaikan harga ini semakin menyengsarakan rakyat kecil. Tentunya semua ini bertujuan untuk mengalihkan masyarakat dari isu pengganyangan Gestapu.

Sampai akhirnya pada tanggal 10 Januari 1966 ribuan mahasiswa melakukan aksi di depan Sekretariat Negara untuk memerotes dan meminta peraturan tersebut ditinjau kembali. Namun, di sana mahasiswa disambut dengan panser dan bayonet. Tapi berkat kedisiplinan dari mahasiswa pada hari itu tidak terjadi insiden apapun. Mahasiswa tetap bertahan. Sampai akhirnya pada pukul 16.00 Dr. Chaerul Saleh bersedia menemui mahasiswa. Setelah itu meletuslah demonstrasi-demonstrasi mahasiswa berikutnya. Karena peristiwa inilah tanggal 10 Januari kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Mahasiswa.

Memang harus diakui bahwa aktivitas mahasiswa pascareformasi juga semakin beragam dan semakin banyak apabila dilihat dari segi kuantitas. Tapi apabila dilihat dari persentase jumlah mahasiswa yang ada maka angka yang didapat masih sangat mengecewakan. Masih cukup banyak mahasiswa yang bangga menyebut dirinya sebagai mahasiswa apatis. Sementara di lain pihak, mahasiswa yang aktif dalam kegiatan-kegiatan nonakademik juga masih sedikit yang menjalankan fungsinya sebagai social control dalam mengawal pemerintahan yang sedang berjalan. Apalagi ada trend baru yang muncul yaitu gerakan tarbiyah kampus.

Memang sangat positif ketika mahasiswa lebih mendalami agamanya. Tapi patut disayangkan juga ketika hal itu mengurangi kepeduliannya terhadap negaranya. Padahal akan lebih baik apabila keduanya berjalan beriringan. Karena agama juga mengajarkan untuk turut serta membela negara. Apalagi beberapa gerakan tarbiyah kampus di-back up oleh organisasi ekstra-universiter yang merupakan “panggung” yang disediakan parpol tertentu. Selain itu, baru-baru ini juga muncul sebuah organisasi mahasiswa yang dibentuk sebuah partai baru. Dengan terang-terangan mereka menginfiltrasi dunia mahasiswa. Sangat disayangkan ketika seorang mahasiswa secara terbuka atau pun diam-diam ikut terjun menjadi simpatisan atau anggota parpol tertentu. Padahal seharusnya mahasiswa menjadi golongan oposisi. Membela rakyat tertindas tanpa ditunggangi kepentingan politik pihak tertentu dan mengambil jarak dengan kekuasaan. Bagaimana mahasiswa mau berdendang sementara panggungnya disediakan oleh pihak lawan. Seharusnya aksi mahasiswa juga tidak mengatasnamakan kampus dan ormas tertentu untuk memperpendek jurang pemisah.

***

Momen Hari Kebangkitan Mahasiswa ini semoga bisa menjadi titik balik kebangkitan mahasiswa Indonesia. Seperti telah saya sebutkan bahwa memang kegiatan mahasiswa sudah semakin beragam. Dari mulai bidang sosial, kesenian, sampai keagamaan. Tapi jangan sampai ada satu fungsi yang terlupakan. Fungsi sebagai social control. Harus lebih banyak mahasiswa yang peduli terhadap permasalahan bangsanya. Mengutip pernyataan Bernanos, seorang filusuf Jerman, “Semangat yg berkobar-kobar dari kaum mudalah yang melestarikan suhu sehat bumi kita ini, bila kaum muda mulai mendingin, dunia selebihnya membeku.”

Terakhir, ada sebuah puisi yang ditulis oleh seorang aktivis mahasiswa angkatan 60-an. Semoga dapat kita renungkan untuk terus berjuang mengisi kemerdekaan dengan tak kenal lelah dan berani mengahadapi resiko apapun. Tak hanya bagi mahasiswa. Tapi siapapun yang peduli terhadap bangsa dan negaranya.

“Tentang Kemerdekaan”
Oleh: Soe Hok-gie

Kita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan yang tak pernah berakhir,
Kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah
Dan adik-adikku di belakang,
Tapi satu tugas kita semua,
Menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis
…..
Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar
Kita adalah alat dari derap kemajuan semua;
Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup
Seperti juga perjalanan di sisi penjara

Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita adalah manusia merdeka
Dalam matinya kita semua adalah manusia terbebas

SEKIAN – SELAMAT HARI KEBANGKITAN MAHASISWA


Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

4 komentar

  1. Kita blm sampai pada Titik Api Perubahan...sy sendiri masih merasa bahwa MAHASISWA masih diperlakukan sama seperti SISWA (entah apa bedanya)...waduh,,kebetulan sy lg agak "kesel" dgn segala kebijakan "aneh" yg masih sja ada di sebuah perguruan tinggi...

    MAHASISWA masih dituntut utk "nurut aja deh"...ye sma aje kya SISWA donk ya hahahha :))

    eh,malah curcol...:D

    BalasHapus
  2. salut euy,,, !!!! menggugah semangat sebagai seorang mahasiswa...

    BalasHapus
  3. @Setengah Salmon: sukurlah kalau ternyata bisa sedikit berguna. :D

    BalasHapus