zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Nulis Diary Feminim Banget, Kata Siapa?


"Nulis diary di blog? Ih... ga deh."

Begitu kira-kira tanggapan salah seorang temen gue beberapa bulan lalu pas gue cerita tentang blog. Sekarang banyak yang nulis diary di blog. Buku ga lagi jadi satu-satunya media buat nulis diary. Diary, catatan harian, atau jurnal pribadi, apapun sinonimnya sama aja. Salah kalau gue pakai kata diary bukan catatan harian? Ah, bedanya kan cuma yang satu Bahasa Inggris sedang satunya lagi terjemahannya.

Kalau kita mampir ke toko buku emang diary identik dengan buku berwarna pink dengan desain yang imut-imut yang diperuntukan buat kaum hawa. Tapi sesempit itukah definisi diary? Emangnya cowok ga boleh nulis diary?


Siapa yang ga kenal Soe Hok Gie? Banyak buku ditulis karena diarynya. Bahkan diarynya udah dianggap buku yang wajib dibaca sama seorang mahasiswa baru. Dari diary Soe juga gue tahu kalau ternyata banyak sejarah yang ga diceritain di buku sejarah kita waktu SD.

Soe mulai nulis diary sejak kelas 2 SMP. Dari tannggal 4 Maret 1957 sampai 10 Desember 1969, seminggu sebelum tewas di puncak Semeru. Mungkin karena ayahnya seorang novelis makanya Soe akrab sama dunia tulis-menulis. Isinya bukan curhatan galau. Tapi tentang buku-buku yang dibacanya. Tentang kegelisahan-kegelisahan yang menyeruak dalam hatinya. Tentang kritik terhadap pemerintahan Bung Karno. Tentang kemasusiaan, hidup, cinta, juga kematian. Dia juga termasuk orang pertama yang berani ngeritik rezim orde baru.

Meski tukang kritik dan suka menyendiri tapi bukan berarti dia ga gaul. Banyak pejabat dan orang-orang beken yang dia kenal. Termasuk sastrawan Taufik Ismail. Gara-gara diary Soe juga gue punya banyak mimpi yang belum bisa tercapai. Salah satunya naek gunung.


Masih dari Indonesia. Bisa dibilang dia hidup satu jaman dengan Soe Hok Gie. Namanya Ahmad Wahib. Lahir di Madura di tengah-tengah kehidupan pesantren yang begitu kental. Setelah diarynya yang diangkat jadi buku kemudian dia dikenal sebagai pemikir dan pembaharu Islam. Dalam diarynya Wahib mencoba mempertanyakan apa yang sudah ia yakini selama ini mengenai Tuhan, ajaran Islam, masyarakat Muslim, ilmu pengetahuan, dan masih banyak lagi.

Banyak hal yang ditulis dalam diarynya yang cukup bikin dahi berkerut. Apalagi mereka-mereka yang nganggap apa yang ditulis adalah sesuat yang tabu. Tiap orang boleh setuju atau ga setuju sama apa yang ditulis Wahib. Buat sebagian orang diary Wahib merupakan warisan yang berharga banget.

Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia.

(Ahmad Wahib, 9 Oktober 1969)


Di luar negeri lebih banyak lagi orang-orang yang diarynya juga dijadiin bukti sejarah. Salah satunya Marco Polo. Seorang pedagang dan penjelajah Italia yang juga pernah mampir ke beberapa pulau di Indonesia. Bisa jadi kita pernah belajar sejarah Jalur Sutra karena diary Marco Polo.

Gue mikir-mikir lagi kenapa gue jadi suka nulis diary. Tentang apapun yang ada dalam kepala gue. Padahal waktu SD aja kalau ada pelajaran mengarang, karangan gue satu halaman aja kadang kurang. Waktu kuliah, gue juga termasuk mahasiswa yang jarang banget nyatet. Gue jadi inget ayah gue. Beliau sering nulis apa yang ditemuinnya dalam sebuah buku kecil. Kalau rapat atau dengerin ceramah ditulisnya dalam buku itu. Mungkin secara ga sadar itu berpengaruh juga sama dunia tulis-menulis yang kemudian jadi hobi gue. Lagian kata hasil psikotes pas penjurusan SMA potensi eksakta dan sastra gue seimbang. Sekarang gue baru sedikit agak percaya hasil psikotes itu.

Jadi, masih nganggap kalau nulis diary itu feminim banget? Terlalu muluk-muluk kayaknya kalau gue bilang alasan gue nulis diary di blog ini karena gue pengen kayak orang-orang yang gue sebutin tadi. Jauh banget buat bisa jadi kayak mereka. Tapi seengaganya ada tiga alesan kenapa gue nulis diary. Pertama, karena gue hidup di jaman sejarah. Jaman di mana udah ada tulisan. Kedua, gue pengen numpahin apa yang ada dalam kepala gue. Terakhir, seengganya anak-cucu gue kelak bisa tahu pemikiran gue, leluhurnya. Hahaha.

___________________
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

15 komentar

  1. waduh, alasan leluhurku ini bagus banget ya... jadi pengen ketawa. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. alesan paling serius itu, malah diketawain. ._____.

      Hapus
  2. Hehe dulu aku kalau tau ada teman cowok nulis diary langsung syok, "Hahhh? Nulis diary?"
    Tapi kalau nemu temen cewek nulis diary juga nanya gitu sih, hahaha...
    Eh sekarang malah aku punya diary... di blog doang sih tapi.
    Agak nyesel gak nulis diary dari kecil :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. kayak kemakan omongan sendiri ya? :P
      kebiasaan nih, salah mulu. .___.

      Hapus
  3. hahahah, ada teman saya yang tidak mau menulis diary karena takut dibilang Gay :-D

    Lucu,,,

    nice post,, mampir-mampir ke blog saya
    tewok86.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. alesan paling absurd itu, kalau ternyata banyak gay yang ga nulis diary gimana? dia salah persepsi dong? wkwk

      Hapus
  4. Pas SD gue suka nulis diary walaupun jarang2. Acak2an banget tulisannya. Jadi ketawa kalau baca ulang diary sendiri wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. sekarang dilanjutin di blog ya? entar kalau udah tua diketawain lagi. :P

      Hapus
  5. Aku menulis diary sejak SMP hingga sekarang ^^ Diarynya kuberi nama. Dia sudah seperti teman buatku, teman imajinasi ^^
    kalau nulis di blog yang nyerempet curhatan aku ambigukan atau samarkan atau kalau tidak aku ceritakan seolah-olah itu orang lain :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. siapa namanya? :)
      iya, kalau curhat diblog harus inget buat ngejaga privasi.

      Hapus
  6. Tan Malaka dan saya juga punya diary. <-- hobi disamakan :p

    saya dan teman di SMA punyai satu diary yang ditulis dan dibawa pulang bergantian. kira-kira terkumpul 4 diary sampai kami lulus SMA.
    sekarang masing-masing dari kami menyimpang dua diary. hahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, sepertinya seru. Sayangnya waktu SMA saya belum begitu gemar menulis. :D

      Hapus