zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Empat Tujuh



Cobalah sekali saja tengok Jakarta di kala malam. Dari atas. Dari lantai 15. Indah sekali. Bagai refleksi taburan bintang di langit. Meski bintang-bintang itu malu menampakkan kecantikannya di atas langit Jakarta. Terlalu malu mungkin. Karena cahayanya tak sesilau lampu-lampu yang menerangi malam Jakarta. Melamun sambil memandangi malam Jakarta mengingatkanku lima tahun lalu. Saat itu. Setiap malam aku memandangi malam Bandung. Juga dari atas. Dari jendela di samping tempat tidurku. Beda dengan Jakarta. Bintang-bintang masih mau untuk tampil di atas langit Bandung. Genit sekali mereka. Mengedipkan matanya untuk menggodaku.

Bukan. Aku bukan sedang lembur. Malam ini Pura-pura Kikuk, aku dan tiga orang penghuni lantai 15, hendak menonton Perahu Kertas 2. Dulu aku menonton sekuel pertamanya bersama tiga orang teman kuliah. Sekarang menonton sekuel ke duanya bersama tiga orang teman kantor. Beda tipis. Tapi selalu saja ada yang ngenes ketika menonton film bersama Pura-pura Kikuk. Pernah filmnya membosankan. Sekarang dua di antara kami harus menonton sambil menggigil. Basah kuyup kehujanan.

Pulangnya tepat saat jemputanku sudah menanti. Ditempat itu dia, metromini 47, selalu menungguku. Mengantarkanku sampai ke depan kosan. Sebenarnya banyak metromini yang melayani rute pulang pergi kosan-kantor. Tapi ketika pulang, hanya metromini 47 yang langsung mengantarku pulang. Tanpa mampir dulu di terminal.

Malam hari, jarak kantor-kosan serasa sejengkal. Kemacetan sudah tertidur pulas. Besok dia harus bangun pagi untuk menyambut warga Jakarta yang hendak berangkat kerja. Menyambutku. Tinggal mengeluarkan kepala lalu menengok ke arah kondektur yang berdiri di pintu belakang, kondektur itu otomatis mengetuk-ngetukan uang recehan ke kaca metromini. Aku pun turun tepat di halte busway. Menyebrang. Lalu sampai di kosan. Beda dengan tadi pagi.

Tuk! tuk! tuk!!

"Kiri, Bang! Kiri!" perempuan itu terus meneriaki sopir metromini yang tak mau berhenti di depan kantorku.

Aku pun ikut memukul-mukul atap metromini yang terbuat dari triplek itu. Tapi sopir lebih mengutamakan setoran daripada kami. Konsumen. Bukan pertama kalinya kau dibawa kabur sopir metromini. Pernah juga aku disuruh jalan kaki karena metromini 71 hanya mau mengantarkanku sampai ke jalan Veteran, Jakarta Selatan. Macet menjadi alasannya. Pernah juga aku dioper ke metromini lain karena metromini yang aku naiki memutar balik. Tak sampai ke terminal. Lagi-lagi demi setoran. Kesal.

Meski begitu, bukan berarti sudah tidak ada lagi orang baik di Jakarta. Tidak semua sopir metromini seperti itu. Aku tidak menggeneralisasi. Izinkan aku memberi satu saja contohnya. Orang baik yang kutemui di Jakarta. Aku tak tahu namanya. Padahal hampir setiap malam dia menyediakan makan malam untukku. Nasi goreng dan tentunya kwetiaw kesukaanku. Dia seorang perempuan. Setiap hari dia memasang sendiri tenda kecilnya. Berjualan sendiri di samping keramaian jalanan Jakarta. Di samping kosanku juga.

Modalnya tak terlalu banyak. Terlihat dari kecap cap burung banga yang hanya berbentuk sachet sedang. Kadang dia juga harus berlari ke dalam mini market ala Jepang yang ada disamping kosanku untuk membeli dulu kecap itu. Omsetnya tak terlalu besar. Tampak ketika dia selalu mencari tukang ojek yang mangkal di depan kampus STIAMI atau tukang warung seafood yang berjualan di samping tendanya, untuk menukarkan uang. Hampir setiap kali aku mengulurkan uang sepuluh ribu dia harus berlari mencari kembaliannya. Kadang aku menyimpan kembalian itu untuk besoknya. Tak tega aku menyuruhnya berlari saat sedang sibuk melayani pelanggan lain. Pernah aku sampai lupa kalau masih menyipan kembalian. Tapi dia masih ingat. Dia mengingatkanku untuk membayar separuh. Karena aku masih menyimpan kembalian di sana. Jujur sekali dia.

Bagai lampu-lampu kecil yang menerangi Jakarta di kala malam. Meski kecil, lampu-lampu itu mampu mengalahkan kegelapan malam. Bahkan sangat cantik dipandang dari atas. Begitu pula perempuan penjual nasi goreng itu, dia adalah lampu yang menerangi Jakarta di tengah kegelapan stigma yang menganggap sudah tidak ada lagi orang baik di Jakarta. Jangan terlalu terpengaruh oleh berita. Semoga kelak aku juga bisa menjadi lampu itu. Sekarang aku belum bisa. Aku bukan orang baik. Aku tak baik seperti dia, perempuan penjual nasi goreng.

___________________
Sumber gambar: Blogspot.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

4 komentar

  1. Ciye . . .
    kesengsem nasi goreng nih , hehehe . . .

    BalasHapus
  2. gaya bahasamu kog tiba2 berubah,,,agak beda, tapi korelasi dg pembukaannya apa mat? yah tp bagus sih...hehe
    karena aq belum bisa sptmu...tidak cukup pny keberanian, utk menulis yg dibaca org lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. karena sepertinya perlu juga untuk mencoba menulis dengan berbagai gaya. ngahaha
      itu awalnya curhat dulu, korelasinya lihat di paragraf terakhir. perempuan penjual nasi goreng itu gue ibaratin lampu yang menerangi gelapnya malam Jakarta. tsaah
      nulis ya nulis aja. terserah orang mau nanggepinnya kayak apa.

      Hapus