zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Gotong-royong Melawan Korupsi


"Mau ngelawan korupsi atau mau bersih-bersih jalan? Ngawur banget kamu, Mat."


Eits, tunggu dulu. Jangan langsung menghakimi judul tulisan ini. Jangan-jangan judul di atas memang benar. Jangan-jangan gotong-royong tidak hanya membersihkan jalan. Jangan-jangan melawan korupsi juga bisa dengan gotong-royong.

Gotong-royong merupakan perwujudan dari kepedulian sosial masyarakat Indonesia. Kenapa melawan korupsi harus dengan gotong-royong? Menurut saya korupsi itu lebih berdasar pada masalah sosial daripada masalah hukum atau masalah ekonomi. Karena itu melawannya juga harus dengan semangat sosial, dalam hal ini gotong-royong. Misalnya kita samakan koruptor dengan maling ayam. Kan sama-sama maling. Hanya saja modus operasi dan motivasinya berbeda. Kira-kira apa yang memotivasi seseorang untuk maling ayam? Tidak mungkin bukan, seseorang maling ayam untuk membeli mobil mewah? Kalau alasannya untuk membeli beberapa bungkus nasi, sepertinya masih bisa diterima akal sehat kita. Lalu kenapa untuk membeli beberapa bungkus nasi saja sampai harus maling ayam? Jawabannya bisa jadi karena dia hidup di bawah naungan garis imajiner kemiskinan. Dapat kita simpulkan bahwa dia menjadi maling karena terdapat kesenjangan sosial.

Demikian pula seorang koruptor. Dia menjadi koruptor karena mempunyai motivasi sosial. Hanya saja motivasi sosialnya tidak berhubungan dengan garis-garis kemiskinan. Melainkan masalah sosial berupa tendensi untuk mencari kenikmatan. Kenikmatan berupa pola hidup mewah. Akibatnya apa? Akibatnya  dia berupaya mencari jalan pintas dengan melakukan korupsi. Karena sering kali pola hidup mewah tersebut tidak ditunjang dengan kemampuan finansial yang cukup.

Apalagi tampaknya hidup sebagai seorang koruptor itu sangat-sangat sejahtera. Lihat saja koruptor-koruptor yang datang ke KPK untuk diperiksa atau koruptor-koruptor yang sedang diadili di pengadilan. Penampilannya sangat necis. Pun tidak ada raut wajah bersalah tergambar dari air muka mereka. Melenggak-lenggok bak peragawati. Jangankan ketika masih diperiksa atau disidang, sudah dipenjara saja mereka masih bisa menikmati hidup mewah. Fasilitas ruang penjara yang setara dengan kamar hotel bintang lima. Sementara hukumannya pun singkat. Hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor relatif lebih singkat atau sama dengan hukuman yang dijatuhkan kepada maling ayam.

Bagaimana, sudah setuju apabila saya mengatakan bahwa korupsi adalah masalah sosial? Kalau sudah setuju, mari kita kaitkan dengan gotong-royong. Beruntung saya di besarkan di desa, wong ndeso ceritanya, sebuah lingkungan di mana budaya gotong-royong masih melekat erat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya Pak RT mengumumkan bahwa besok akan diadakan bakti sosial untuk membersihkan jalan. Ketika ada seorang warga yang melanggarnya, misalnya ada yang tidak ikut gotong-royong karena malas, dia akan mendapatkan sanksi sosial. Setidaknya dia mendapat cibiran dari para tetangganya. Sanksi sosial itu sangat efektif. Namun apa yang terjadi dengan seorang koruptor. Rasanya sanksi sosial itu pun hampir tidak pernah berani menyentuh kulit mulus mereka. Tetap melenggang sebagai orang "terhormat" meskipun sudah pernah dipenjara karena kasus korupsi.

Memang pahit. Tapi itulah kenyataannya. Kenyataan yang terpaksa harus kita telan. Pertanyaan besarnya adalah sampai kapan kita mau dipaksa untuk menelan pil pahit tersebut. Meminjam sebuah kalimat yang sering diucapkan oleh seorang Widji Thukul, "Hanya ada satu kata, LAWAN!"

Memang apabila kita mendengarkan idealisme yang menyeruaak dari dalam hati kita, tentu saja saya pun sangat ingin memberangus habis koruptor-koruptor itu. Ingin agar semua koruptor dihukum mati. Agar bahkan tidak ada lagi yang terbersit dalam pikiran seorang manusia Indonesia untuk melakukan korupsi. Sayangnya untuk melakukan semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi kita hanya wong cilik. Kita tidak mempunyai kesempatan dan wewenang yang cukup untuk mewujudkan idealisme-idealisme kita yang sangat spektakuler tersebut. Tetapi jangan dulu menyerah sebelum bertanding. Kalau kata orang Sunda, tong keok memeh dipacok. Masih banyak kok hal yang bisa dilakukan wong cilik untuk melawan korupsi.

Oleh karena itu, mari kita berpikir realistis. Memikirkan tindakan yang dapat dilakukan oleh kita, dengan wewenang dan kompetensi yang kita miliki. Harus ada tindakan preventif dan kuratif untuk melawannya. Tindakan preventif untuk mencegah terjadinya penyakit korupsi agar tidak menjangkiti generasi penerus kita. Juga tindakan kuratif untuk mengobati penyakit korupsi yaang terlanjur ganas menggerogoti negeri kita.

Tindakan preventifnya bisa jadi hanya merupakan suatu hal kecil. Apa itu? Hidup sederhana. Iya, itu jawabannya. Jawaban yang sangat sederhana. Bahkan terlalu sederhana untuk diucapkan namun terlalu mewah untuk diaplikasikan. Mari kita lakukan hal kecil tersebut untuk memulai sebuah perubahan besar. Bukankah sebuah perubahan besar berawal dari hal-hal kecil? Jangan-jangan kita lupa memulai melakukan hal-hal kecil sehingga perubahan besar itu tak kunjung tercipta.

Saya ambil satu contoh. Banyak anak-anak sekarang yang dengan hanya menjetikkan jemari tangan, orang tua mereka mengabulkan apa yang dimintanya. Bahkan tak jarang orang tua mengabulkan permintaan-permintaan anaknya sebagai bayaran atas rasa bersalahnya. Rasa bersalah karena jarang berkumpul bersama mereka. Tetapi bukankah hidup yang instan itu bisa saja menjadi cikal-bakal terjadinya korupsi? Jangan-jangan kemewahan yang diberikan secara cuma-cuma kepada seorang anak akan menumbuhkan bibit-bibit korupsi. Bandingkan dengan apabila seorang anak dididik untuk berjuang sendiri, berusaha sendiri, untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Membiarkan anak menikmati proses yang dilalui untuk meraih sesuatu yang diidamkannya. Proses yang sangat indah. Keindahan yang tidak akan didapatkan apabila anak hanya diasuapi fasilitas-fasilitas mewah yang instan. Bukankan korupsi juga merupakan usaha untuk mendapatkan kemewahan secara instan? Mari bergotong-royong untuk mendidik generasi penerus kita agar tidak menjadi generasi yang serba instan.


Jadi teringat tokoh Gita dalam Psssttt... Jangan Bilang Siapa-siapa, salah satu film pendek dalam Kita Vs Korupsi. Ketika Gita harus menabung selama setahun demi untuk mendapatkan kamera yang diidamkannya. Padahal bisa saja Gita meminta kepada orangtuanya untuk membelikan kamera tersebut, seperti teman-temannya. Tapi itu tidak dilakukan Gita. Semoga saja masih banyak Gita-Gita yang lain, yang mau berusaha sendiri untuk mendapatkan apa yang diidamkannya.

Berikutnya adalah tindakan kuratif yang dapat kita lakukan untuk menyembuhkan penyakit korupsi. Sederhanya saja. Kita terapkan lagi sanksi sosial yang pernah berlaku di tengah masyaarakat. Mengembalikan rasa malu dalam diri kita. Begitu pula dengan tulisan ini. Tulisan ini merupakan suatu proses untuk menguatkan rasa malu. Setidaknya rasa malu dalam diri saya sendiri supaya saya tidak melanggar apa yang sudah saya tulis. Apabila semua itu dapat diaplikasikan dalam kehidupan sosial kita, saya rasa tidak akan ada lagi koruptor yang melenggok bak model di atas cat walk. Sekali lagi saya mengajak, mari kita bergotong-royong untuk menerapkan sanksi sosial tersebut. Diawali dengan menerapkan rasa malu dalam diri kita.

Gerakan melawan korupsi harus menjadi gerakan sosial. Gerakan dari dan untuk rakyat. Berawal dari gerakat-gerakan kecil. Di antaranya dengan bergotong-royong. Gotong royong melakukan tindakan preventif dan kuratif untuk melawan korupsi. Karena sejatinya gotong-royong merupakan wujud dari gerakan sosial masyarakat Indonesia. Karena KPK saja tidak akan pernah cukup untuk melawan korupsi.

____________________
Sumber gambar: Kota Pariaman
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

2 komentar

  1. hanya satu kata LAWAN...!!!!
    keren kang, ngomongin korupsi dari sisi yang berbeda. bukan sekedar maslah hukum atu ekonomi, tapi juga sosial. Indonesia emang udah sok-sial heuheuheu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan bilang begitu dong, kita kan orang Indonesia juga. :D

      Hapus