zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Lembur Kok Potong Gaji


Awalnya saya tidak habis pikir, "Kok ada ya, orang yang sampai lupa absen?" sampai saya melihat ada ada potongan gaji dalam rekap absen saya. Keterangannya PSW (Pulang Setelah Waktunya). Mungkin rada aneh mendengar istilahnya. Saya baru ingat, waktu itu saya absen jam 18.40 karena harus menyiapkan bahan-bahan untuk sosialisasi. Sementara paling telat saya harus absen jam 18.30. Memang kemudian saya membuat surat keterangan dengan ditandatangani pejabat eselon III. Sayangnya surat itu tidak dapat membatalkan pemotongan gaji, hanya saja keterlambatan saya tidak diakumulasikan sebagai dasar hukuman disiplin.

Saya jadi teringat ketika kemarin di PPKI 2012 kami membicarakan pengelolaan SDM Kemenkeu. Waktu itu Mba Rika menyinggung-nyinggung 3P: pay for position, pay for person, and pay for performance. Idealnya, desain pembayaran gaji harus mempertimbangkan tiga faktor tersebut. Memang dalam penerapannya sering kali  banyak hambatan.

Pay for position artinya gaji yang diberikan mengacu kepada jabatan yang dipangku. Skema ini melihat secara vertikal, semakin tinggi jabatannya semakin besar pula gajinya. Selain secara vertikal, skema ini juga melihat secara horizontal. Artinya orang yang memangku jabatan yang sama bisa saja mendapatkan gaji yang tidak sama, tergantung pada risiko dan beban kerjanya. Meski semangat sosialisme membuat banyak organisasi menerapkan gaji yang sama untuk jenjang jabatan yang sama, meski jabtan tersebut memiliki risiko dan beban kerja yang tidak sama. Begitu pula di Kemenkeu. Padahal, di Kemenkeu, antara kantor vertikal seringkali risiko dan beban kerjanya berbeda pula.

Dalam pay for person (competency-based pay), besar gaji harus dibedakan berdasarkan kompetensi individu. Meski memegang jabatan dan posisi yang sama, bisa saja mereka memiliki skala gaji yang berbeda. Hal ini sangat tergantung kepada level kompetensinya. Meski demikian, pola semacam ini mengharuskan organisasi memiliki profil kompetensi yang jelas untuk setiap posisi. Yang tidak kalah penting, perusahaan harus memiliki mekanisme yang sistematis dan objektif untuk melakukan penilaian kompetensi secara reguler. Keduanya cukup kompleks untuk diterapkan sehingga tidak banyak yang menerapkannya. Padahal, di Kemenekeu, posisi yang sama seringkali tidak dipegang oleh orang yang memiliki kompetensinya yang sama.

Terakhir adalah pay for performance. Besaran gaji diberikan berdasar kinerja. Konsep ini mensyaratkan perusahaan menerapkan sistem key performance indicators dalam menilai kinerja setiap karyawannya. Setiap posisi dan karyawan idealnya memiliki key performance indicators dan target kerja yang jelas dan terukur. Melalui mekanisme inilah, kemudian hasil kerja pegawai dapat dinilai dengan obyektif. Hasil penilaiannya digunakan sebagai acuan dalam menentukan gaji yang harus diterima. Silakan nilai sendiri apakah skema ini sudah cukup efektif atau belum sebagai indikator penggajian dan pemberian remunerasi di Kemenkeu.

Dengan pengelolaan yang ada, saya tidak heran ketika masih ada pegawai yang dibayar dengan gaji yang masih jauh dari kata layak. Kembali ke masalah absen, untuk pay for position misalnya, indikator penilaian kehadiran tidak seharusnya disamakan. Pegawai Ditjen Bea Cukai yang bertugas patroli perbatasan laut misalnya, tidak boleh disamakan dengan pegawai yang bekerja di kantor pusat.

Sampai saat ini absensi sering dipakai sebagai indikator paling penting dalam penilaian kinerja. Meski bisa saja saya rajin absen jam 7.30 lalu pergi entah ke mana dan kembali lagi untuk absen jam 17.00. Memang atasan langsung saya dapat melaporkan jika pada jam kerja tersebut saya tidak ada di ruangan. Tapi bukankah ketidakhadiran hanyalah pelanggaran disiplin ringan. Pelanggaran yang tidak akan membuat saya kehilangan pekerjaan. Cenderung susah untuk memecat saya jika saya hanya melakukan pelanggaran ketidakhadiran.

Kembali ke isu awal. Beruntung saya jarang sekali lembur. Bagaimana dengan mereka yang sering lembur dan sering lupa absen? Terlambat karena ban bocor juga sama perlakuannya. Padahal di salah satu perusahaan swasta saja keterlambatan karena alasan force majour masih ditoleransi. Sama halnya dengan para pengguna KRL. Sering kali mereka dipaksa sampai di kantor lebih dari jam 8.00 karena KRL yang mengalami gangguan.

Ah, tulisan ini hanyalah rangkuman curhat-curhatan saya dan beberapa rekan tentang peraturan terkait absensi. Kami berharap, nantinya hal ini lebih diperhatikan lagi, demi kebaikan dan kenyamanan kita bersama. Tidak masalah jika saya mendapatkan gaji kecil karena memang kinerja saya yang buruk. Tapi bagaimana jika bahkan force majour pun tidak dipedulikan lagi?

_____________________
Sumber gambar: Flicker
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

4 komentar

  1. moga perusahaan membuat kebijakan baru yang lebih bagus...aamiin.

    BalasHapus
  2. mmm memang perusahaan tak pernah memikirkan karyawannya sndiri yg dicari hanya untung smata. jgn lupa komen back ya

    BalasHapus