zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Urban Intervention


Kemarin, saya berkesempatan hadir dalam Sunday Sharing yang diselenggarakan oleh Indonesian Future Leaders (IFL). Meski saya harus datang terlambat karena tersasar saat mencari lokasi Universitas Siswa Bangsa Internasional (USBI) yang ternyata bersebelahan dengan Pusdiklat Keuangan Umum. Ketika saya memasuki ruangan, Irwan Ahmett yang akrab disapa Iwang, sedang berbagi ilmu dan pengalamannya tentang Urban Intervention.

Lahir dan besar di Ciamis, Jawa Barat, membuat Iwang mengalami masa kecil yang riang, nakal, dan spontan. Iya, ternyata kami berasal dari satu kampung halaman yang sama. Masa lalu tersebut sangat memengaruhi proses kreatifnya. Apalagi tempat tinggalnya yang juga merupakan toko berada dekat dengan pasar sehingga setiap hari Iwang selalu bertemu dan berinteraksi dengan orang baru. Iwang yang saat itu masih berumur 9 tahun menyadari bahwa petualangan terbesar adalah pergi ke pasar. Banyak hal yang tidak terduga terjadi: copet digebukin, anak tertabrak motor, tukang obat kebal dibacok, lengkingan Rhoma Irama dari toko kaset, juga kuli angkut yang terus berpeluh tanpa mengeluh. Baginya pasar ibarat panggung drama raksasa.

Sebelum mengawali proyek Urban Intervention, pada mulanya Iwang mencoba mencari jawaban atas kegelisahan hatinya, ”What am I looking for?” Proses pencarian jawaban tersebut membawanya kepada keinginan untuk mengeksplorasi sejarah manusia yang pernah melakukan intervensi publik pada masa 2000 tahun SM. Manusia tersebut adalah Nabi Ibrahim. Sistem yang mengganggu ideologinya direspon dengan intervensi publik: penghancuran simbol negara dan agama pada masa itu. Aksi Nabi Ibrahim ini mendorong Iwang untuk mencari ideologinya. Pada tahun 1984, Iwang menemukan bahwa ideologinya adalah bermain.

Ideologi bermain tersebut telah mencetuskan beberapa proyek, di antaranya adalah Change Yourself pada tahun 2004-2007 di Jakarta, Yogjakarta, dan Bandung, Happiness yang berlangsung di tahun 2007-2009, juga sebuah instalasi berupa Happiness Box untuk menstimulasi orang-orang supaya lebih bahagia. Pilar utama yang digunakan dalam proyek intervensi publiknya adalah emotion, online, dan public space.


Proyek Iwang selanjutnya adalah tentang kesadaran dan perilaku publik. Ia menjadi inisiator untuk membuat bola salju dari sampah (trash ball). Trash ball ibarat bola salju yang bergulir dari bola kecil hingga terus membesar. Tentu saja Indonesia tidak memiliki salju. Tapi kita punya banyak sampah. Sebagai negara yang kota-kotanya kerap dihadapkan oleh persoalan sampah, diperparah dengan rendahnya kesadaran warga dan minimnya sosialisasi dari pemerintah untuk mengendalikan benda buangan ini. Kita tidak pernah tahu strategi apa yang diterapkan untuk mengendalikannya. Sehingga setiap hari volumenya bertambah tidak terkendali.

Selain Trash Ball, ada pula proyek Sampah Berjamaah. Proyek ini menempatkan sampah berserakan ke arah barat sebagai simbol arah kiblat. Aksi ini sempat dianggap offensive oleh orang Timur Tengah. Namun, bagi Iwang, inilah yang mampu menggerakkan warga untuk peduli soal sampah. Terbukti, warga di sekitar tempat pembuatan proyek Sampah Berjamaah melakukan kerja bakti membersihkan lingkungannya yang dipenuhi sampah.


Jika dari arah Gerbatama UI menuju Lenteng Agung, di sekitaran jalan pintas menuju Asrama UI ada beberapa kios kayu. Bagi kita mungkin kios tersebut hanyalah sebuah kios. Tidak demikian bagi seorang Iwang. Balok-balok kayu dalam kios tersebut mengilhaminya untuk membuat proyek Public Furniture berupa shelter temporer. Ia mereposisi tumpukan kayu-kayu di kios tersebut sehingga bisa digunakan untuk duduk.

Masih banyak lagi proyek-proyek Urban Intervention yang dilakukan Iwang. Termasuk proyek Urban Intervention yang juga pernah dimainkan di New York, Istanbul, dan London. Menurut Iwang, mind perception tentang bermain yang kini makin hilang di masyarakat, ingin dihidupkannya kembali melalui Urban Intervention. Di tahun 2013 ini, Iwang akan bermain di Berlin, Den Haag, Singapore, Sunderland, Jakarta, dan Jatiwangi.

Bagi Iwang, proyek yang dijalankan memang tidak sekejap mengubah sistem. Proyeknya bertujuan untuk membidik isu agar masyarakat menyadarinya. Namun, keberlanjutan kesadaran itu dapat terwujud ketika kesadaran kolektif sudah terbangun di masyarakat. Tapi tentu saja untuk menjalani hidup sesuai dengan passion seperti apa yang dilakukan Iwang perlu pengorbanan yang tidak murah. Secara materi, Iwang sampai harus menjual mobil untuk membiayai proyek-proyeknya. Karena selama ini proyeknya dilakukan secara independen. Namun itulah harga mahal yang harus dibayar untuk sebuah passion.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar