zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

We Are Broadcasters


Kali ini saya akan sedikit berbagi tentang ilmu yang saya peroleh dari kelas Akademi Berbagi Jakarta minggu kemarin. Topiknya adalah konvergensi media. Bertempat di SCTV Tower, kelas kali ini menghadirkan R. Nurjaman Mochtar, Direktur Pemberitaan Indosiar, sebagai gurunya.

Menurut Nurjaman, saat ini kita berada di penghujung suatu era dan menuju era berikutnya, konvergensi media. Nurjaman menceritakan tentang sebuah stasiun TV lokal di salah satu distrik di Amerika. Ada seorang warganya yang berinisiatif mendirikan sebuah stasiun TV. Stasiun TV tersebut menyiarkan kegiatan sehari-hari penduduk di distrik tersebut. Mulai dari aktivitas pertanian sampai pesta pernikahan. Misalnya, ketika ada yang menikah siang ini, nanti malam mereka sudah bersiap di depan layar kaca untuk menonton siaran tentang pesta pernikahan tersebut. Penduduknya lebih tertarik untuk menonton siaran dari TV lokal tersebut daripada siaran TV nasional. Karena di TV lokal ada gambar mereka, bisa melihat diri sendiri masuk TV. Sebuah kisah yang dapat menggambarkan arah dari era konvergensi media.

Pada era sebelumnya, yang disebut sebagai broadcaster adalah semua orang yang terlibat dalam dunia broadcasting, tidak hanya penyiar atau presenternya saja. Misalnya dalam siaran radio atau TV, broadcaster adalah termasuk seluruh kru yang terlibat di dalamnya. Lain halnya dengan era konvergensi media, di mana siapa pun bisa menjadi broadcaster sejati: sebagai reporter, penyunting, sekaligus penyiarnya.

Era konvergensi media didukung dengan hadirnya ternologi WiMax dan WiFi. Di mana internet akan menjadi lebih murah dan lebih cepat. Kita akan bisa berinternet ria di mana saja dan dengan kecepatan tinggi. Hal ini pulalah yang kemudian akan mendorong adanya digitalisasi TV. Ditambah lagi dengan hadirnya social media yang kita tahu bagaimana penetrasinya saat ini.

Digitalisasi TV akan menambah alternatif channel TV yang dapat kita nikmati. TV digital membutuhkan frekuensi yang lebih pendek daripada TV analog sehingga ruang yang tersedia bisa digunakan oleh lebih banyak stasiun TV. Selain itu, modal untuk mendirikan sebuah stasiun TV akan jauh lebih murah (reduce cost). Saat ini, untuk bisa bersiaran, sebuah stasiun TV harus menyediakan antena dan peralatan yang lebih rumit. Apalagi sekarang kamera handphone saja kualitasnya sudah bisa bersaing dengan kamera profesional. Gambar yang diambil dengan kamera handphone sudah layak untuk disiarkan di TV. Berbeda dengan dulu, ketika kamera profesional identik dengan sebuah kamera yang panjang, besar, dan berat. Makanya untuk merekrut seorang yang tinggi dan kekar sebagai seorang cameraperson.

Kini social media tampil semakin powerfull. Banyak bintang baru yang hadir dari social media. Siapa yang tidak kenal Briptu Norman dan Shinta Jojo? Mereka sudah mulai mengindikasikan era konvergensi media. Bahkan saat ini ada stasiun TV yang semua konten siarannya mengambil dari Youtube. Memang hal ini masih menimbulkan perdebatan. Karena Youtube bukan pemilik hak cipta dari video yang diunggah. Bahkan orang yang mengunggah video ke Youtube saja belum tentu pemilik hak cipta dari video tersebut. 

Dengan semakin bertambahnya stasiun TV, tentu saja kebutuhan akan konten untuk mengisinya akan semakin meningkat. Makanya, digitalisasi TV akan membuka lapangan kerja yang tidak sedikit, termasuk sebagai penyedia konten. Akan banyak berdiri production house baru. Saat ini saja, sering kali stasiun TV yang masih berada dalam satu grup hanya merotasi konten yang ada dengan judul yang berbeda. Konten juga disesuaikan dengan target pasar. Sebuah film Hollywood misalnya, untuk kelas A dan B cukup dengan hanya memberi subtitle. Berbeda jika target pasarnya adalah kelas C dan D, film tersebut harus di-dubbing. Bahkan stasiun TV di malang menghadirkan film Hollywood yang dialognya menggunakan Bahasa Jawa. The key is CONTENT! And, content is creativity.

Pada era konvergensi media, internet, TV, dan social media akan berkolaborasi menjadi satu kesatuan. Broadcaster akan semakin mengindividu. Seseorang bisa bersiaran di blog pribadinya dengan menampilkan video hasil liputannya (video blogging atau vlog). Bukankah orang yang ngetwit saja sudah disebut broadcaster. Bahkan seorang public figure tidak harus lagi menemui wartawan untuk menggelar konferensi pers. Orang yang statusnya seperti Anas Urbaningrum kemarin, kelak bisa mengunggah video konferensi persnya sendiri di blog pribadi miliknya. Kira-kira seperti video M. Nazaruddin bertopi jerami yang sempat ngehits tahun kemarin.

Ketika setiap orang dengan mudahnya dapat menjadi broadcaster, lalu jurnalis pergi ke mana?

Pada era konvergensi media, keberadaan jurnalis profesional tetap diperlukan untuk mengecek dan memverifikasi keabsahan informasi yang disampaikan setiap orang yang menjadi broadcaster. Selain itu, jurnalis profesional dibutuhkan untuk bagi broadcaster independen. Bahkan saat ini, kerap kali jurnalis ikut menginvestigasi apa yang sedang menjadi trending topic untuk kemudian diangkat sebagai berita di media konvensional.

Untuk kamu yang berminat untuk menjadi jurnalis, tidak usah khawatir dengan adanya era konvergensi media. Pun, ketika latar belakang pendidikan kamu bukan di bidang jurnalistik. Nurjaman menceritakan pernah mencari seorang jurnalis dengan latar belakang pendidikan teknik nuklir. Yang kemudian menemukannya dari teknik nulir UGM. Bahkan ketika ada stafnya yang hendak melanjutkan pendidikan pascasarjana ke luar negeri, nurjaman menyarankan untuk mengambil bidang keuangan. “Kalau jurnalistik saya bisa ngajarin, kalau keuangangan saya ga bisa.” ujarnya.

Cukup sekian sharing tentang kelas Akademi Berbagi Jakarta kali ini. Semoga bermanfaat.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

1 komentar

  1. Wah wah akademi berbagi ya. Simak artikel saya sebelumnya di blog saya yang berjudul dan berisi "Dinner dengan Atase Pers US Embassy Jakarta (URL nya : http://alturl.com/fu4xf ) juga dihadiri oleh Bang Iwan Setiawan dai Akademi Berbagi Pontianak. Saya tertarik gabung

    BalasHapus