zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Primadona yang Mulai Meredup


Dahulu kala, sektor migas merupakan primadona penerimaan negara. Sayangnya, sejak industri migas Indonesia mulai melorot karena berbagai alasan, titel sebagai primadona penerimaan negara mulai diambil alih oleh sektor perpajakan, ketika pajak menjadi sumber penerimaan negara terbesar. Namun, tidak dapat kita pungkiri bahwa jika hanya mengandalkan sektor perpajakan, pemerintah tidak akan mampu menutupi pos-pos pembiayaan dalam APBN. Pada awal tahun 90-an pemerintah mulai menemukan titik terang atas hal ini. Saat itu, potensi penerimaan negara yang belum tergali dengan angka yang paling menjanjikan adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Masalahnya, saat itu belum ada payung hukum untuk menyelenggarakan dan memungut PNBP. Padahal, saat itu jenis PNBP yang sudah dipungut oleh instansi pemerintah cukup banyak, seperti: penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam, termasuk di dalamnya sektor migas, penerimaan dari hasil pengelolaan dana pemerintah, penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah, penerimaan dari putusan pengadilan, penerimaan dari pengenaan denda administrasi, dan penerimaan dari hibah yang merupakan hak pemerintah.

Tidak adanya payung hukum membuat instansi pemerintah yang mengelola penerimaan tersebut langsung menggunakannya dengan tidak terlebih dahulu melaporkan dan menyetorkannya ke kas negara. Dengan tidak adanya payung hukum tersebut, otomatis tidak dapat dilaksanakan penegakan hukum terhadap instansi pemerintah yang tidak menyetorkan penerimaan-penerimaan tersebut ke kas negara. Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi ditetapkannya UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP (UU PNBP). Terbukti, UU PNBP ini berhasil menertibkan penerimaan negara yang sebelumnya tidak pernah disetor ke kas negara. Sama seperti penerimaan perpajakan, penerimaan PNBP yang digunakan untuk menjalankan program-program pemerintah harus melalui sistem APBN.

Meski sudah tidak menjadi primadona dan mulai meredup, angka penerimaan negara dari sektor PNBP tidak boleh dipandang sebelah mata. Dalam APBN 2013, PNBP menyumbang sekitar 22% dari total penerimaan negara. Sementara itu, pepajakan menyumbang sekitar 78%. Sisanya adalah penerimaan hibah, baik hibah dalam negeri maupun hibah luar negeri, yang angkanya tidak mencapai 1%.

Seiring dengan perkembangannya, terdapat beberapa aspek dalam UU PNBP yang menjadi hambatan dan tuntutan sehingga perlu untuk diubah dan disempurnakan, di antaranya adalah aspek yuridis. Pada saat ditetapkan, UU PNBP mengacu pada Indische Comptabiliteitswet (Staatblad Tahun 1925 Nomor 448) sebagaimana terkahir telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968. Indische Comptabiliteitswet (ICW) sendiri telah diganti dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU tersebut merupakan bagian dari paket UU di bidang keuangan negara bersama dengan UU di bidang perbendaharaan negara, pemeriksaan keuangan negara, perpajakan, dan kepabeanan yang telah mengalami perubahan dan penyempurnaan. Dengan digantinya ICW yang merupakan semangat awal dari lahirnya UU PNBP, mau tidak mau UU PNBP sudah saatnya untuk disempurnakan. Saat ini, proses pemyempurnaan UU PNBP sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Direktur PNBP, dalam evaluasi selama penerapan UU PNBP setidaknya terdapat empat tantangan utama, yaitu: mengoptimalkan potensi-potensi PNBP, mendukung kebijakan fiskal yang berkelanjutan, peningkatan kinerja BUMN, dan peningkatan kualitas pelayanan kementerian/lembaga. Berdasarkan keempat tantangan tersebut, substansi pokok yang akan disesuaikan dalam penyempurnaan UU PNBP antara lain adalah penyesuaian dan penegasan konsep ruang lingkup PNBP termasuk definisi dan kelompok PNBP, kewenangan Menteri Keuangan dan menteri/pimpinan lembaga, konsep penetapan jenis dan tarif, konsep penyetoran, pemungutan, dan penagihan, konsep pemeriksaan, pengembalian, keberatan, dan keringanan, konsep penggunaan (earmarked), konsep pembinaan dan pengawasan, konsep pelaporan dan pertanggungjawaban, dan konsep pemberian sanksi administrasi dan pidana.

Di samping UU PNBP yang memang sudah harus disempurnakan, yang tidak kalah penting untuk dicermati adalah kapasitas organisasi yang mengelola PNBP. Jika jumlah SDM dijadikan sebagai variabel bebas dan angka penerimaan negara sebagai variabel tetapnya, kapasitas pengelola PNBP sangat terpaut jauh dibandingkan dengan pengelola perpajakan. PNBP hanya dikelola oleh salah satu unil eselon II di Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) sedangkan perpajakan dikelola oleh dua unit Eselon I, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Yang notabene jumlah pegawai DJP saja sudah lebih dari separuh pegawai Kementerian Keuangan. Memang kapasitas organisasi yang mengelola perpajakan harus lebih besar dibandingkan dengan organisasi yang mengelola PNBP. Namun, idealnya perbedaan tersebut tidak setimpang saat ini.

Semoga proses penatapan RUU PNBP bisa berjalan sesuai rencana sehingga ke depannya PNBP dapat dikelola dengan lebih baik, adil, dan sesuai dengan fungsinya. Baik itu fungsi pelayanan pada kementerian/lembaga, fungsi penerimaan sumber daya alam migas dan nonmigas, maupun fungsi penerimaan laba BUMN. Pun untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam pengelolaan PNBP yang ada saat ini. Sehingga PNBP dengan potensi yang tidak kalah besar dengan potensi perpajakan tidak terus memudar dan dapat kembali menjadi primadona penerimaan negara.

____________________
Sumber gambar: Wikipedia
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

3 komentar

  1. Fiscuss... mba D mampirr... dah lama sx ga ke mari :D.. heehehe
    Tulisan masi tetap genius :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Mba. Kemana saja nih, berbulan-bulan menghilang dari blogosphere? :D

      Hapus
  2. semoga Indonesia menjadi tuan di negaranya sendiri

    BalasHapus