zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Soal Siapa yang Menghamili


Di suatu malam, tepat pukul 23.30 WIB seorang perempuan berbadan dua mendatangi rumah seorang bidan. Perempuan itu tampak sudah mau melahirkan. Bidan tersebut mempersilakannya masuk. Membawanya ke ruang praktik yang berada di samping ruang tamu. Seorang warga yang bukan kebetulan sedang bertugas ronda malam melihat kejadian itu. Dia melaporkannya kepada Ketua RT. Alasannya telah melanggar jam malam, dilarang menerima tamu di atas pukul 22.00 WIB. Kalau pun terpaksa harus mendapat izin dari Ketua RT.

Syahdan, bidan tadi dipersalahkan karena menerima tamu di atas jam malam. Padahal dia hanya menolong orang yang ingin melahirkan. Jika ditanya siapa yang patut dipersalahkkan, jawabannya adalah laki-laki yang menghamili perempuan tadi. Itu saja, kelihatannya sederhana. Sayangnya, itu hanya kelihatannya.

***

Pada dasarnya, mekanisme pengajuan suatu program di suatu Kementerian/Lembaga (K/L) harus melalui sebuah proses perencanaan yang cukup rumit. Kerumitan proses tersebut tidak semata-mata untuk mengamini anggapan bahwa birokrasi selalu diidentikan dengan proses yang berbelit-belit. Kerumitan proses tersebut merupakan wujud dari perencanaan yang matang mulai dari kesesuaian antara program yang diajukan dengan tugas dan fungsi yang diemban oleh K/L itu sendiri. Pun, kesesuaiannya dengan Kerangka Pembangunan Jangka Menengah (KPJM).

Proses tersebut tidak hanya melibatkan lembaga eksekutif, melainkan juga melibatkan peran serta lembaga legislatif. Setelah proses administratif terkait dengan perencanaan suatu kegiatan yang sudah diselesaikan di ranah eksekutif, perencanaan kegiatan tersebut kemudian masuk ke ranah legislatif untuk melalui suatu proses politis yang lebih rumit daripada proses administratif di ranah eksekutif. Proses tersebut akan menjadi lebih rumit lagi jika kegiatan yang sedang direncanakan adalah kegiatan proyek. Kegiatan proyek dalam arti kegiatan yang bukan merupakan kegiatan rutin K/L. Hal ini terkait dengan tanggung jawab yang diemban oleh setiap K/L. Dalam sistem pengelolaan keuangan negara saat ini, dikenal istilah let's the manager manage. Artinya, setiap K/L harus bertanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan negara yang terdapat pada masing-masing K/L.

Setiap tahunnya, seluruh K/L diwajibkan untuk menyususn Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA K/L) yang disampaikan kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan sebagai Chief Financial Officer (CFO). Secara substantif, RKA K/L mengandung dua unsur utama, yaitu rencana kerja dan rencana anggaran. Rencana kerja tersebut dihimpun oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) menjadi suatu dokumen yang dikenal sebagai Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Sementara itu, rencana anggarannya dihimpun oleh Menteri Keuangan untuk kemudian dituangkan ke dalam Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN).

Melihat sedemikian banyaknya RKA K/L yang diusulkan, akan terhambat dengan keterbatasan anggaran yang ada. Keterbatasan itulah yang memaksa pemerintah menyusun rencana kerja sesuai dengan skala prioritas untuk menentukan program mana yang layak untuk dijalankan terlebih dahulu. Rencana tersebut dikenal sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).

Oleh karena itu, setiap mengajukan suatu program dalam RKA K/L, harus dipastikan bahwa program tersebut sudah termuat dalam RPJM. Karena semua program yang dibuat oleh pemerintah harus didasarkan pada perencanaan, termasuk perencanaan dalam RPJM. Apalagi jika program tersebut harus dijalankan dalam kurun waktu lebih dari satu tahun anggaran (multi year), seperti Mega Proyek Hambalang.

Jika dikaitkan dengan slogan let's the manager manage, seorang menteri atau pimpinan lembaga tidak hanya bertanggung jawab terhadap penggunaan anggaran di K/L yang dipimpinnya, melainkan juga bertanggung jawab terhadap ketersediaan anggaran untuk mendanai program multi year tersebut berdasarkan alokasi anggaran bagi K/L yang dipimpinnya. Karena itu, RKA K/L yang dibuat harus mengacu kepada RPJM.

Sebelumnya, ketika Indonesia masih menggunakan Indische Comptabiliteitswet (ICW), Menteri Keuangan sebagai CFO memiliki dominasi penuh terhadap izin penggunaan anggaran. Pola tersebut mengharuskan Menteri Keuangan untuk menelisik lebih dalam apakah suatu program dapat dilaksanakan secara multi year atau tidak. Izin Menteri Keuangan untuk setiap proyek multi year mutlak diperlukan karena Menteri Keuangan berkewajiban untuk menyediakan pendanaan atas proyek multi year yang diajukan oleh K/L.

Kini, setelah reformasi pengelolaan keuangan negara yang ditandai dengan lahirnya paket undang-undang di bidang keuangan negara, skema seperti itu sudah tidak dipakai lagi. Kewajiban untuk menyediakan pendanaan atas proyek multi year sudah beralih ke tangan menteri atau pimpinan lembaga yang bersangkutan, let's the manager manage. Menteri atau pimpinan lembaga tidak boleh lalai dalam mengalokasikan anggaran untuk proyek multi year berdasarkan alokasi anggaran yang diberikan kepada K/L yang dipimpinnya.

Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab tersebut secara administratif dipertegas dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang ditandatangani oleh menteri atau pimpinan lembaga dan disampaikan secara bersamaan dengan RKA K/L yang diajukan kepada Menteri Keuangan. SPTJM tersebut dianggap sebagai jaminan pertanggungjawaban dari menteri atau pimpinan lembaga.

Sebenarnya, sistem penganggaran seperti ini merupakan bentuk aplikatif dari model Medium Term Expenditure Framework (MTEF) yang saat ini digunakan. Senada dengan RPJM, agar setiap K/L dapat membuat suatu perencanaan yang lebih matang. Dengan model MTEF ini, K/L mengajukan anggaran untuk beberapa tahun ke depan, tidak hanya untuk satu tahun anggaran. Setiap pengajuan tersebut harus disertai dengan prakiraan maju (forward estimate). Dengan disertakannya prakiraan maju dalam proses pengajuan anggaran, akan terlihat program mana saja yang tergolong ke dalam program multi year.

Yang membedakan antara MTEF dan prakiraan maju hanyalah jumlah tahunnya. Jika dalam MTEF pengajuan anggaran harus terdiri dari empat tahun anggaran, yaitu anggaran untuk tahun depan ditambah dengan anggaran untuk tiga tahun berikutnya. Sementara itu, prakiraan maju hanya menghitung pengajuan anggaran untuk dua tahun berikutnya setelah tahun depan.

***

Terkait dengan kasus Mega Proyek Hambalang, sebenarnya sudah terlihat siapa sebenarnya yang menghamili. Jika tidak ada laki-laki yang menghamili, bidan tidak akan dipersalahkan oleh Ketua RT. Sesuai tugasnya, memang sudah semestinya bidan menolong seorang perempuan yang akan melahirkan. Apalagi jika permasalahnnya diperumit, ternyata perempuan itu hamil di luar nikah. Namun demikian, lagi-lagi bidan tidak dapat dipersalahkan.

Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

1 komentar