zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Absurditas Ujian Nasional


Sudah banyak yang ikut angkat bicara terkait Ujian Nasional (UN), mulai dari profesor sampai dengan rakyat jelata, termasuk Ucen. Ada yang pro, ada yang kontra. Banyaknya sih yang kontra. Ucen hanya belum habis pikir saja. Banyak orang-orang pintar, bukan dukun, yang menyarankan agar UN dihapuskan. Tapi kenapa para pengambil kebijakan di dunia pendidikan kita masih saja menerapkan UN? Satu-satunya jawaban yang terlintas, yang mungkin bisa dibilang sebagai jawaban yang suudzan, adalah bahwa mereka yang di atas sana belum bisa merumuskan model evaluasi yang lebih canggih dan mutakhir daripada UN.

Jika kita menengok sistem evaluasi penganggaran, sebagai pembanding, penialain yang paling mudah untuk dilakukan adalah penialain terhadap aspek implementasi, meliputi penyerapan anggaran, konsistensi, pencapaian keluaran, dan efisiensi, yang memang tidak sulit untuk dikuantifikasi. Berbeda dengan aspek manfaat yang lebih kepada penilaian kualitatif, sulit untuk dihitung berapa nilai nominalnya, apalagi dengan penialaian atas aspek konteks. Mungkin, karena kemudahan itu pulalah kita masih menjalankan sistem UN. Sistem penilaian UN sangat mudah untuk dikuantifikasi sehingga tidak sulit untuk menjalankannya.

Penialian kuantitatif merupakan penilaian yang paling mudah, tetapi juga yang paling ketinggalan jaman. Apalagi soal-soal UN hanya berupa pilihan ganda. Padahal soal pilihan ganda bukan merupakan bentuk penialian yang paling bagus. Ada banyak sekali trik-trik untuk mengakali soal pilihan ganda. Biasanya trik-trik ini diajarkan di lembaga-lembaga bimbingan belajar, atau juga bahkan diajarkan di sekolah-sekolah. Kita tidak harus benar-benar memahami suatu materi untuk bisa menjawab beberapa soal pilihan ganda.

Ketika sakit, ketika rizki tak kunjung datang, ketika kesempatan begitu sempit, atau ketika akan menghadapi UN, Ucen dan banyak orang lainnya baru kemudian mengingat-ingat dan menyebut-nyebut nama Tuhan dan memohon tobat atas segala dosa yang telah diperbuat. Tidak hanya itu, menjelang UN juga menjadi momen untuk meminta maaf kepada teman, guru, dan orang tua. Mungkin ini manfaat terbesar dari UN, ajang pertaubatan nasional.

Di sisi lain, UN menjadi beban, lebih kepada beban mental, yang begitu berat untuk dipikul. Ucen juga pernah mengalami itu. Setiap semester nilai rapot Ucen tidak hanya dilaporkan kepada orang tuanya, melainkan juga kepada gubernurnya. Apalagi dengan hasil UN. Jika Ucen gagal saat mengikuti UN, tidak hanya nama orang tuanya yang akan tercoreng, nama baik angkatan dan almamater, yang selama ini tidak pernah ada cerita siswa yang tidak lulus, juga bisa ikut tercoreng.

Karena alasan itu pula, Ucen sering mengunjungi Pasar Palasari untuk mencari buku-buku panduan UN. Yang lebih sering hanya berfungsi sebagai oobat penenang daripada sebagai media belajar. Uang saku yang diberikan sekolah dihabiskan Ucen untuk membeli buku-buku itu.

Belum lagi soal "jiwa korsa" yang membuat Ucen ikut memiliki tanggung jawab untuk membantu teman-temannya agar bisa lulus UN. Cukup berat, mengingat untuk memperjuangkan nasibnya sendiri saja, Ucen masih belum yakin bahwa dia bisa. Beban-beban seperti inilah yang kemudian menjadi motivasi terjadinya kecurangan di mana-mana. Nilai UN tidak bisa dijadikan parameter untuk melihat prestasi akademik seorang siswa. Akan ada banyak faktor X yang memengaruhi hasil UN.

Ucen bukan siswa yang laik dikatakan pintar. Pendapat itu didasarkan karena Ucen tidak mempunyai prestasi akademik yang gemilang. Ulangan harian saja sering diremedial. Meski begitu, Ucen mempunyai sebuah prinsip. Kalau ujian, Ucen tidak pernah mencontek. Sayangnya, UN telah berhasil mematahkan prinsip Ucen tersebut. Itulah hal yang paling disesali Ucen sewaktu mengenakan seragam putih abu.

Ucen agak tidak rela juga ketika perjuangannya dan teman-temannya selama tiga tahun hanya ditentukan dalam beberapa hari. Mulai dari bangun pagi, ada yang harus gencet-gencetan di bis kota, ada yang harus berenang menyeberangi sungai, belajar sampai sore, biaya sekolah mahal, sampai dengan apel pagi dan malam, masa iya hanya dinilai dalam beberapa hari saja? Lebih memilih untuk menilai hasil yang secuil daripada sebuah proses panjang. Iya secuil, karena pelajaran yang tidak ada dalam UN masih jauh lebih banyak.

Kalau yang menjadi acuan kelulusan seorang siswa hanya matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan pelajaran lainnya dalam UN, kenapa tidak hanya pelajaran itu saja yang diajarkan supaya semua siswa mendapatkan nilai 100? Atau, apakah hanya pelajaran-pelajaran itu saja yang memang dinilai penting untuk masa depan seorang siswa sedangkan pelajaran-pelajaran lainnya dianggap tidak penting? Apalagi kurikulum sekarang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang nota bene sekolahlah yang menentukan kurikulumnya. Akan tetapi, kenapa kemudian diseragamkan lagi melalui UN?

Ucen hanya bisa mendoakan agar adik-adik kelasnya bisa lulus UN. Meski katanya ada sepertiga provinsi yang menunda pelaksanaan UN. Ucen juga hanya bisa berharap agar anak cucunya kelak tidak harus memikul beban berat yang tidak selaiknya untuk dipikul. Sekolah tidak seharusnya menjadi beban, sekolah haruslah menyenangkan. Boleh saja ada UN tapi hanya sekadar untuk pemetaan kualitas pendidikan, bukan untuk standardisasi kelulusan.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

4 komentar

  1. postingan sm nih, ttg UN. Seberat apapun bebannya semoga bs diramu menjadi ringan, ya :)

    BalasHapus
  2. Hahaa, inget banget gua, waktu SMA pas UN masuk rumah sakit salah satunya gegara beban mental harus nutorin belajar temen2 kelas, dan mikir gimana kalo temen kelas ada yg gak lulus. siyal emang UN tuh. x))

    BalasHapus