zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Bulan Kemenangan


Idul Fitri selalu dirayakan dengan meriah. Sangat meriah. Semeriah perayaan tahun baru. Bahkan lebih meriah. Tradisi mudik turut membuatnya lebih meriah. Sebuah tradisi yang oleh Firmanzah disebut sebagai jaring kemanan sosial yang alami. Ada distribusi pendapatan dalam tradisi mudik. Distribusi pendapatan tradisional. Tidak seperti pajak yang disebut sebagai distribusi pendapatan modern. Kerlip kembang api. Pekik petasan. Dentum meriam karbit. Wangi baju baru. Aroma opor ayam. Kemeriahan apa lagi yang kita dustakan?

Idul Fitri juga disebut hari kemenangan. Namun, ada seorang teman yang berseloroh, "Yakin sudah menang?" Sebuah pertanyaan yang memicu pertanyaan-pertanyaan baru. Jangan-jangan kita tidak menang? Jangan-jangan kita kalah?

Idul Fitri pun identik dengan maaf-maafan. Entah berapa kali saya maaf-maafan dengan orang selama Idul Fitri tahun ini. Tapi entah berapa maaf-maafan saya yang benar-benar ikhlas. Memang terlalu mudah bagi lidah ini untuk mengucap kata "maaf". Kadang saya berpikir: apakah saya sudah benar-benar ikhlas untuk meminta maaf dan apakah saya sudah benar-benar ikhlas untuk memaafkan. Ikhlas adalah urusan hati. Hanya Tuhan yang bisa menilainya. Kita pun tidak bisa menilai hati kita sendiri.

Maaf jika banyak ucapan dan/atau tulisan saya, yang memang sering frontal, tidak sengaja melukai. Maaf jika banyak perilaku saya yang tidak sengaja menyakiti. Maaf jika saya belum ikhlas dalam mengucap kata "maaf". Maaf seandainya saya belum bisa ikhlas memaafkan. Ja'alanallahu wa iyyakum minal aidzin wal faidzin.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

1 komentar