zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Koar-koar Para Penulis Ransel


Udah pada tahu dong kalau di Fx Sudirman lagi diadain Jak Book Fiesta 2013. Sebagai penikmat buku, gue ga mau dong ketinggalan event kece kayak gini. Pulang kerja hari Jumat kemaren, meluncurlah gue ke belahan Jakarta bagian selatan. Di sana udah ada, Vina, Senny, sama Retno. Sorenya, Vina abis ngisi talkshow "Dari Blog Jadi Buku".

Soal Jak Book Fiesta ini gue agak sedikit kecewa. Awalnya gue ngebayangin Jak Book Fiesta bakalan heboh banget kayak Jakarta Book Fair, ternyata ga. Asudahlah. Karena gue udah terlanjur ke sana, ga banget dong kalau gue ga nemu yang seru-seru. Untungnya malemnya ada talkshow "Menulis Perjalanan dalam Buku Fiksi dan Nonfiksi". Pembicaranya ada yang gue kenal. Maksudnya gue kenal dia tapi dia ga kenal gue. Ya iya lah, siapa gue? Iya, Adis. Gue emang pembaca setia blognya. Bukunya, Koar-koar Backpacker Gembel juga udah gue lahap abis. Selain Adis, pembicara lainnya adalah Kak Windy Ariestanty (Penulis Life Traveler sekaligus Pimred Bukune) sama Kudil (Penulis novel Satu Per Tiga).

Adis pertama kali backpacker-an pas liburan kuliah. Waktu itu dia cuma punya duit Rp100.000,00. Karena kebetulan dia juga punya passport, dia nantang dirinya sendiri dengan uang yang ada itu buat jalan ke Kuala Lumpur. Hasilnya, dia berhasil bertahan di KL selama 3 hari. Bahkan uangnya ga sampai habis, masih ada sisanya. Hobi backpacker-annya keterusan. Kalau bosen kuliah Adis backpacker-an, sampai akhirnya dia mutusin buat berhenti kuliah. Jangan ditiru ya adik-adik. Tapi gitu-gitu juga dia punya "gaji" yang lumayan tiap bulannya cuma dari jalan-jalan.

Kalau Kudil suka jalan-jalan karena pernah kerja di travel agent, jadi guide. Dari pengalamannya itulah dia mendapat inspirasi buat nulis Satu Per Tiga.

Sementara itu, Kak Windy mulai senang jalan-jalan ketika dia ketinggalan pesawat di O'Hare International Airport, Chicago. Waktu itu sudah malam, dia bertemu dengan seorang perempuan tua, pelayan di salah satu kafe di sana.

"Where are you going to go?" tanyanya sambil meletakkan secangkir teh hangat.

"Going home." jawab Kak Windy singkat.

"Going home?" perempuan tua itu berkerut. "You do not look like someone who will be going home."

Lalu percakapan mereka berlanjut. Hingga kemudian perempuan tua itu ngajarin Kak Windy arti rumah yang sebenarnya. Menjauh untuk mendekat. Pergi untuk pulang. Titik nol. Itulah arti sebuah rumah.

Memang sewaktu kecil Kak Windy udah dididik buat mandiri. Waktu kelas 6 SD dia berangkat sendirian naik bis ekonomi dari Jogja buat liburan ke Palembang. 

Ayahnya cuma bilang ke sopir bis, "Pak nitip anak saya, dia duduk di belakang Bapak."

"Bapak percaya sama saya?" tanya sang sopir.

"Ah, anak saya dilepas ke hutan juga pasti bisa balik lagi."

Kalimat terakhir itulah yang membuat Kak Windy percaya diri. Kalimat terakhir adalah bentuk kepercayaan dari ayahnya. Sampai kemudian bis yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Ketika menelopon ayahnya dan mengabari kecelakaan itu, ayahnya cuma bilang "Kalau kamu masih bisa telepon artinya kamu masih baik-baik saja." Lalu perjalanan dilanjutkan sampai ke Palembang.

Simpulan yang gue dapet dari obrolan panjang malem itu, kalau lo mau jadi travel blogger atau travel writer, nikmati aja perjalanannya. Ga perlu mikirin entar mau nulis apa. Kalau kita bisa nikmatin perjalanannya, lalu kita merasa nyaman, bakal mudah buat kita nulis perjalanan yang udah kita lalui. Ketika kita berkunjung ke tempat yang sering orang lain kunjungi, lakuin apa yang belum pernah orang lain lakuin. Cari keunikan dari tempat yang kita kunjungi itu yang belum pernah orang lain lihat. Kayak Adis pas nerima tantangan buat Thai Boxing di salah satu kafe di Phi Phi Island ngelawan bule Rusia yang lagi mabok sampai dia babak belur.

Suatu perjalanan panjang dimulai dengan sebuah langkah pertama. Namun, kadang langkah pertama itulah yang paling berat. Musuh terbesar yang harus kita taklukin adalah rasa takut dalam diri kita sendiri. Itulah curhat gue sama ketiga traveler tadi. Adis cuma bilang, di rumah juga kita bisa mati, bisa tiba-tiba ada perampok yang ngebunuh kita. Jadi, buat apa takut? Bener juga sih. Masalah mati kan udah ada yang ngatur.

Kata Kak Windy, menulis itu ibarat berjalan. Dan setiap hari manusia melakukan perjalanan. Manusia perlu berpindah-pindah untuk bertahan hidup. Nenek moyang kita dulu juga begitu kan? Jadi, kapan kita ke mana?

Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

8 komentar

  1. wah, sayang banget saya ketinggalan event ini -_-

    BalasHapus
  2. lah? kalian berempat aja?

    gak mau bacaaaa,,, pasti mupengggggg >,<
    etapi, penasaran .__.
    baca dikit boleh kali ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang lain, kayak Om Keven, udah balik duluan sebelom gue nyampe.
      Yaelah, mau baca aja pakai acara galau segala. ._____.

      Hapus
  3. *setelah membacaaa...

    kereennnnn :'D
    kak windy,,,, adisss,, smuanya markotoppp :'))
    ada rencana jadi travel writer mat?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rencana travelingnya aja dulu. Tapi aja gue tulis kok. :D

      Hapus
  4. waah ada talkshow penulis buku traveller to?? gue gak dateng pula. sial!
    bang, menurut lo kalo uang 15 ribu bisa buat travelling kemana ya??

    BalasHapus