zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Pendidikan Agama Tanpa Outrospeksi


Barangkali kita masih belum ingin beranjak dari era introspeksi, periode ketika egoisme menjadi rute favorit menuju kebahagiaan. Tidak sedikit waktu yang kita habiskan untuk mencapainya. Kata Roman Krznaric, seorang pemikir dari Inggris, era instrospeksi adalah kesalahan. Abad ke-21 mestinya sudah berubah menjadi era outrospeksi. Sepertinya, kita memang belum menemukan kata “outrospeksi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. 

Introspeksi sering digambarkan sebagai tindakan bercermin, melihat ke dalam diri sendiri. Sementara outrospeksi adalah tindakan keluar dari diri sendiri dan belajar dari kehidupan orang lain. “Empati adalah seni hidup yang menjadi ciri utama abad outrospeksi,” tutur Krznaric dalam The Wonderbox: Curious Histories of How to Live.

Ada banyak kisah bullying dan bentuk diskriminasi lainnya yang dapat kita temui di jagat daring. Tulisan ini akan menjadi salah satu di antaranya. Kisah ini bermula ketika Adel di-bully teman-temanya karena sikap pendidiknya di Taman Pendidikan Alquran (TPA). Mungkin tulisan ini awalnya memang disulut rasa marah yang tak tersampaikan. Tapi semoga tulisan ini tetap dalam konteks pendidikan dan tersampaikan kepada para pendidik.

Adel baru berusia enam tahun dan memiliki banyak faktor risiko perkembangan. Ibunya menjadi single parent sejak Adel berusia dua tahun. Pendapatan ibunya yang minim membuat beban sebagai single parent bagi kedua anaknya semakin terasa berat. Beruntung adel memiliki keluarga besar yang selalu berjaga untuk menambah faktor penguat agar Adel dapat berkembang optimal. Keluarganya menanggung kebutuhan primer dan kebutuhan yang dianggap utama, termasuk pendidikan. 

Keluarga memfasilitasi pendidikan Adel dengan menyekolahkannya ke SD swasta favorit. Beberapa orang mungkin menilai ini gila mengingat kesulitan ekonominya. Selain pendidikan, keluarga juga memfasilitasi kebutuhan kasih sayang, gizi, kesehatan, dan sebagainya. Keluarga tidak banyak memfasilitasi kebutuhan sandang. Meski utama, Adel telah mendapat warisan pakaian turun-temurun dari kakak-kakak sepupunya. Maklum anak-anak sekarang cepat bertumbuh. Baju pun cepat bergulir.

Sayangnya, soal sandang ini kemudian menjadi masalah ketika jumlah rok Adel terbatas sehingga tidak bisa dikenakan setiap dia mengaji di TPA. Walhasil, Adel tidak diberi hasil evaluasi. Gurunya pun hanya diam ketika Adel diolok-olok, dikucilkan, dan dilabeli teman-temannya karena pakaian yang berbeda. Adel juga tidak mendapatkan bangku. Bahkan gurunya memaksa dan memojokkannya dengan memanggil terus namanya agar dia menulis arab untuk kemampuan anak usia tujuh sampai delapan tahun. Padahal usianya baru enam tahun. Yang saya tahu, anak baru dapat menulis dengan baik dan benar di usia delapan tahun.

Lebih mengejutkan lagi, ketika ibunya meminta pengertian si pendidik dan kepala sekolah mengenai pakaian dan meminta hasil evaluasi belajar, kepala sekolah malah menegur ibunya–yang bergamis dan berhijab di depan orangtua yang menghantar anaknya dengan mengenakan baby doll–agar ketika di rumah Adel diajarkan cara berpakaian yang baik dan benar. Sebuah ironi, terkadang orang terjebak dalam aturan sehingga lupa kompetensi dan nilai-nilai toleransi hidup dalam komunitas majemuk.

TPA merupakan lembaga atau kelompok masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan nonformal jenis keagamaan Islam sejak usia dini. Pendidikan sendiri memiliki definisi usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan agama. 

TPA adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agama. Berdasarkan definisinya, seharusnya TPA merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pemberlajaran yang menitikberatkan pada penguasaan pengetahuan ajaran agama sehingga tercermin dari pengendalian diri, kepribadian, kecerdasaan, dan akhlak mulia sebagai wujud pengamalan ajaran agama yang telah dipelajari.

Meski berupa pendidikan nonformal, TPA memiliki banyak peminat dan pernah mem-booming di tahun 1990-an. Ketentuan mengenai TPA diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Sebagai salah satu jenis pendidikan  di Indonesia, TPA termasuk satuan pendidikan yang disarankan untuk memberikan pendidikan karakter di dalam proses belajar.

Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun  negara. Ada 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

Jelas nilai-nilai yang dipelajari melalui pendidikan karakter lebih sedikit dibandingkan sifat Tuhan yang kita pelajari di agama Islam. Sayangnya, tragedi yang menimpa Adel sungguh tidak mencerminkan hal tersebut. Perbedaan peraturan dianggap sebagai penyelewengan dengan sanksi penahanan lembar hasil evaluasi dan memberikan peluang kepada teman-temannya untuk mem-bully, hingga tidak mendapatkan meja. 

Jika seorang anak dari ibu single parent dengan kondisi ekonomi yang terbatas, apakah anak itu tidak layak mendapatkan kesempatan bersekolah karena tidak memenuhi peraturan tentang pakaian yang dikenakan sehingga harus berdampak negatif terhadap kondisi psikologisnya? Kemampuan anak usia 6 tahun juga tidak boleh disamakan dengan kemampuan anak usia tujuh sampai delapan tahun. Harus ada toleransi dan empati yang diajarkan pendidik kepada peserta didiknya.

Selama beberapa dasawarsa setelah ditetapkannya Deklarasi Universal, banyak upaya dilakukan untuk menciptakan pendidikan yang universal. Namun, dengan cepat terlihat adanya jurang pemisah antara idealisme dan realitas. Deklarasi Dunia Jomtien tentang Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun 1990 mencoba untuk menjawab beberapa tantangan ini. Deklarasi Jomtien tersebut melangkah lebih jauh daripada Deklarasi Universal dalam Pasal III tentang “Universalisasi Akses dan Mempromosikan Kesetaraan”. Dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan diskriminasi dan eksklusi. 

Adel adalah salah satu contoh dari kelompok yang rentan akan diskriminasi dan eksklusi. Kemudian berkembanglah pendidikan inklusif sebagai suatu gerakan untuk menantang kebijakan dan praktik eksklusi. Sekolah yang memraktikkan pendidikan inklusif merupakan sekolah yang memerhatikan pengajaran dan pembelajaran, pencapaian, sikap, dan kesejahteraan setiap anak. Sebagai Negara heterogen yang sedang bergerak kearah pendidikan yang demokratis, implementasi pendidikan inklusif perlu diaplikasikan.

Seperti dilansir CGNews, di beberapa wilayah kantong Kristen, Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, telah mendirikan sejumlah sekolah di mana, tak jarang, 50 sampai 75 persen siswanya beragama Kristen. Orang tua yang beragama Kristen sering kali lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah Muhammadiyah lantaran mutunya dan rendahnya biaya sekolah, di samping karena sekolah-sekolah Muhammadiyah ini juga memberikan mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen. Mereka lebih memilih untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak mereka untuk berinteraksi dengan Muslim, meskipun sekolah-sekolah Kristen di daerah mereka –seperti di Ende– juga ada.

Ini indahnya pendidikan, indahnya perdamaian yang saya tangkap dari Islam. Syiar Islam tidaklah harus keras, tapi lembut dengan mengenalkan sifat-sifat positif bahwa Islam adalah damai, tidak sebagimana persepsi dunia mengenai Islam. Sudah semestinya TPA tidak hanya menitikeratkan pada penguasaan ajaran agama dan hubungan kepada Tuhan (habluminallah), tapi juga hubungan dengan sesama manusia (habluminannas). Dan, tidak boleh ada lagi TPA yang menyelenggarakan pendidikan agama tanpa outrospeksi.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar