zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Girli Goes To Museum


Girli–akronim dari Pinggir Kali–merupakan PAUD Komunitas, yang saya syukuri semakin hari tutornya semakin solid, yang meski pelan namun terus belajar untuk berkembang. Hari ini kami belajar ke luar untuk pertama kalinya. Kelas besar, tutor, dan saya yang mendampinginya. Kami pergi ke Museum IPTEK, Taman Mini Indonesia Indah.

Ada beberapa alasan kami memilih Museum IPTEK. Pertama, karena Girli belum mendapat izin, kami belum berani meminta izin kunjungan-kunjungan ke perpustakaan, penangkaran satwa, atau naik tank tempur gratis di daerah dekat girli. Kedua, Taman Mini Indonesia Indah merupakan lokasi terdekat dari Girli. Selain itu, Museum IPTEK merupakan salah satu museum yang terjangkau dan anak-anak bisa mencoba beberapa alat peraganya. Maklum, tidak ada pungutan wajib untuk anak-anak di Girli. Yang ada hanya iuran infak yang diletakkan di kardus. Operasionalnya pun hanya mengandalkan infak yang rata-rata Rp20.000,00 per pertemuan.

Tutor yang merupakan ibu-ibu kader Posyandu cukup kesulitan untuk menerangkan ketika ada pertanyaan “Ini apa Bu? Ini kenapa Bu? Kok bisa Bu?” dari teman-teman kelas besar. Saya pun harus mengingat-ingat pelajaran semasa SMP dan SMA untuk membantu menjelaskan. Teman-teman kelas besar tampak puas mengunjungi museum IPTEK. Bahkan rasa ingin tahu mereka mampu mendorongnya untuk membuat kalimat tanya dan menunjukkan minat yang besar terhadap sesuatu yang baru mereka lihat. Mereka pulang dengan tawa dan cerita, meski mata-mata mereka menunjukkan rasa kantuk yang ditahan.

Paginya, kami cukup khawatir membawa teman-teman kelas besar ke luar Girli. Selain pertama kali kami belajar ke luar, ini juga kali pertama mereka berpisah dari orangtua dalam waktu yang cukup lama dengan jarak yang tidak dekat pula. Ada yang datang ke Girli dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ada yang berkaca-kaca ketika sudah naik mobil. Ada pula yang kembali turun dari mobil untuk minta dipeluk lagi oleh orangtuanya. Bahkan ada ibu yang berkaca-kaca melihat anaknya berpamitan. Kami yang melihatnya jadi ikut terharu.

Suasana diam dan tegang lekat terasa di dalam mobil. Untunglah Bu Yuyun, salah satu tutor, tahu yang harus dilakukannya. Ia mengubah suasana sambil melafalkan basmallah bersama, menanyakan kita akan pergi ke mana, dan bernyanyi hingga suasana menjadi terkendali. Mereka tampak riang dan antusias meski kami tidak naik mobil ber-AC.

Mereka adalah anak-anak dari perbatasan Jakarta-Depok, yang saya kira sudah terbiasa melihat bis dan truk, tapi ternyata saya salah. Mereka heboh, saling tunjuk dan mengidentifikasi kendaraan yang mereka lihat, saling hitung roda kendaraan yang mereka tunjuk, serta saling cerita pengalaman. Mendadak mereka semua banyak berbicara yang tak tampak jika di kelas meski telah didorong dengan minatur benda, gambar, dan sebagainya. Kami, yang mendampingi mereka lebih dari setahun, terhenyak melihat dan mendengar bagaimana celoteh mereka. 


Lebih membanggakan lagi ketika ada demonstrasi percobaan roket air. Pemandu demontrasi yang ramah melibatkan anak-anak secara aktif dengan menunjukkan bagaimana roket air meluncur. Juga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-teman kelas besar dengan polos.

“Coba pegang, kira-kira ini botol dari botol apa?” tanya pemandu demontrasi. 

Teman-teman pun menjawab “Botol air…!!!” 

“Iya, botol apa?” tanyanya lagi.

Teman-teman terdiam.

“Ini botol air mineral. Coba pegang salah satu ujung roket lagi dan tebak botol apa?”

Teman-teman kembali menjawab “Botol air.”

“Botol air apa?”

Teman-teman kembali terdiam.

“Ini botol air minuman bersoda.” jelas sang pemandu.

Teman-teman kembali terdiam. Beberapa berkerut kening.

Rizki menunjuk botol air mineral “Ini kayak yang di rumah, botol Aqua.”

“Iya, tahu. Aku tahu itu.” jawab mereka.

Saya tertawa geli. Mereka lebih paham merk daripada jenis airnya.

“Iya betul itu termasuk kemasan air mineral. Klo yang ini minuman bersoda.” terang pemandu demontrasi sambil menunjukkan perbedaan kemasan botol air mineral dan air bersoda.

Teman-teman menggaguk-anggukan kepala.

Percobaan pun dimulai. Percobaan pertama adalah roket yang diisi air. Zaki dan Rizki yang badannya paling besar membantu memompa angin agar roket air meluncur. Roket air berhasil meluncur jauh. Percobaan kedua adalah roket tanpa air. Ketika ditanya oleh pemandu demontrasi apakah roket tanpa air akan berhasil sama seperti roket air tadi, saya sempat ragu teman-teman kelas besar bisa menjawab, apalagi ketika pertanyaan itu muncul mereka sempat terdiam. Namun, ketika pertanyaan kembali diulang, mereka menjawab dengan lantang bahwa tidak akan bisa meluncur karena tidak ada air.

Saya cukup tercengang dengan jawaban mereka, jawaban yang betul dan yakin. Meski pertanyaan itu diulang-ulang terus, dengan yakin mereka tetap menjawab tidak. Senyum bahagia merekah di wajah mereka tatkala percobaan kedua dilakukan dan hasilnya sesuai dengan jawaban mereka. Meski telah diulas alasan percobaan kedua gagal karena tidak adanya tekanan air ke bawah sebagaimana percobaan pertama dan bla bla bla, yang mengingatkan saya pada pelajaran fisika di LKS SMA tentang gaya yang intinya ada gaya aksi dari benda 1 ke benda 2 yang akan menimbulkan gaya reaksi pada benda 1 ke benda 2. Saya teringat guru SD kelas IV yang gagal mencontohkan tekanan air ke atas pada gelas yang terbalik dan ditutup dengan selembar kertas sehingga bajunya basah dan perlu uji coba lagi agar kami bisa melihat secara konkret tentang tekanan air tersebut.

Mereka pulang dengan tetap meyakini penyebab gagal melucurnya roket adalah karena tidak ada air. Saya pun tersenyum puas, karena bagi anak seusianya, perbedaan keberadaan air itu lebih konkret daripada tekanan yang muncul ketika ada air. Asumsi mengenai perbedaan percobaan itu betul teman-temanku. Kelak, kalau sudah besar kamu akan memahami lebih mengenai air dan mengenai hal-hal abstrak dari air.  Hari ini teman-temanku belajar secara nyata dan mengena. Semoga akan teringat selalu dan lebih memudahkan mereka ketika belajar mengenai hal yang sama, belajar lebih mandiri dan bertanggung jawab atas yang mereka bawa, dan belajar berpisah dari orangtua selama empat jam.

Ibu-ibu kader pun belajar bagaimana mengajak dan membimbing mereka ketika di luar kelas. Saya pun belajar untuk semakin yakin bahwa ibu-ibu dapat mandiri untuk mengambil keputusan yang tepat tentang yang akan dilakukannya untuk anak-anak. Saya semakin salut dengan guru SD kelas IV yang berhasil memberikan jejak dalam memori saya tentang pelajaran-pelajaran yang diberikan selama setahun sehingga memudahkan mengingat dan memahami lebih banyak mengenai hal-hal yang telah dipelajari di tingkat pendidikan selanjutnya, dari peta yang lusuh karena sering dipakai tapi tidak mengurangi makna, lelucon mengenai materi, hingga demonstrasi percobaan–termasuk yang gagal tadi.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar