zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Maju Mundur Cantik Hilirisasi Minerba


Persis dua minggu yang lalu, sebagai wakil Pemerintah Indonesia, Menteri ESDM telah menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia. Dengan ditandatanganinya MoU tersebut, Freeport telah resmi mengantongi perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga.

Senin kemarin, beberapa pengacara yang menamakan diri Tim Pengacara Trisakti dan Nawacita mendaftarkan gugatan terkait izin ekspor Freeport di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut salah satu anggota tim pengacara, Habiburokhman, pemberian izin tersebut telah menciptakan diskriminasi bagi perusahaan tambang nasional. Menurutnya, pemerintah telah memberikan perlakuan istimewa kepada Freeport. Terlebih lagi, perlakuan istimewa tersebut dianggap melanggar UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

"Sebagai perusahaan tambang terbesar, seharusnya Freeport Indonesia tidak mengalami kesulitan membangun smelter, terlebih waktu yang diberikan UU sangat layak yaitu lima tahun sejak UU tersebut diundangkan," kata Habiburokhman.

Presiden bersama Menteri ESDM dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerbitkan perpanjangan izin ekspor kepada Freeport. Perpanjangan izin tersebut dianggap berlawanan dengan UUD 1945. Sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3), sumber daya minerba merupakakan kekayaan alam yang harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, pada kenyataannya, pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara masih belum optimal. Beberapa komoditas minerba diekspor tanpa pengolahan yang maksimal dan tanpa ada peningkatan nilai tambah yang maksimal. Saat ini, beberapa komoditas minerba diekspor dalam bentuk bijih, seperti nikel, bauksit, dan bijih besi, atau konsentrat, seperti tembaga.

Amanat konstitusi tersebut kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Setelah diberlakukan sekitar empat dasawarsa, undang-undang tersebut, yang materi muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan kekinian dan tantangan di masa depan, sehingga digantikan dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

UU Minerba diterbitkan demi menghadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab sejumlah tantangan yang dihadapi pertambangan minerba, seperti pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat.

Dalam Pasal 102 UU Minerba disebutkan bahwa "Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara." Menurut the Minerals and Metals Added-Value Policy, 1998, The Govt. of Canada, nilai tambah adalah usaha untuk meningkatkan nilai keekonomian suatu hasil tambang melalui teknologi pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) sehingga menghasilkan dampak pada kemanfaatan lebih tinggi pada produk yang dihasilkan dan memberikan multiplier effect pada pengembangan industri hilir yang terkait. 

Dalam konteks sumber daya minerba, kegiatan pengolahan dan pemurnian bertujuan untuk meningkatkan mutu minerba serta untuk memperoleh dan memanfaatkan mineral ikutan. Terkait dengan pengolahan dan pemurnian minerba, lebih lanjut diatur dalam Pasal 103 ayat (1), "Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri." Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan komoditas minerba dimurnikan dan diolah di dalam negeri sehingga terjadi peningkatan nilai tambah.

Untuk melihat nilai tambah dan multiplier efect dari hilirisasi kita bisa sedikit menengok kondisi industri baja di tanah air. Komponen biaya produksi utama pembuatan baja adalah bijih besi. Pelet/bijih besi impor memiliki harga yang relatif lebih mahal, penawaran tidak bisa dikendalikan dan sangat dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan global. Sementara itu, bijih besi dalam negeri jumlahnya cukup banyak, terutama bijih besi laterit, dengan harga yang relatif muran dan penawaran yang bisa dikendalikan. Oleh karena itu, penggunaan bijih besi dalam negeri perlu diintensifkan.

Selain itu, dengan mempertimbangkan potensi logam di Indonesia, adanya kebijakan peningkatan nilai tambah melalui kewajiban untuk melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, maka bijih/pasir besi, bijih tembaga, bauksit (alumunium), bijih nikel dapat dijadikan bahan baku dasar yang strategis untuk menopang industri strategis nasional yang berbasis mineral. 

Menanggapi gugatan Tim Pengacara Trisakti dan Nawacita, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, R. Sukhyar, menganggap gugatan tersebut merupakan hal biasa. Namun, dirinya menegaskan bahwa apa yang menjadi dasar gugatan itu tidak benar. Pasalnya, apa yang telah dilakukan pemerintah tidak melanggar hukum.

R. Sukhyar menekankan, izin ekspor yang diterbitkan untuk Freeport memiliki landasan hukum. Ia menyebut, acuan kebijakan itu adalah PP Nomor 1 Tahun 2014 yang pelaksanaanya diatur dalam Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. Menurutnya, penerbitan kedua aturan tersebut tersebut juga tidak melanggar UU Minerba.

"Latar belakang penerbitan PP dan Permen tersebut juga untuk menghindari adanya kerugian yang lebih besar jika kegiatan usaha atau pun pertambangan dihentikan. Negara boleh ambil sikap untuk tidak kerugian lebih besar. Di mana melanggar Undang-Undang daripada mudaratnya lebih besar kami kasih kesempatan. Yang penting mineral mentah tidak boleh ekspor sampai 2017." ujarnya.

Seperti kita tahu, Pemerintah memberikan kelonggaran setelah Freeport menunjukkan kepastian lokasi fasiltas pemurnian bijih mineral (smelter), yaitu di lahan milik PT Petrokimia Gresik. Sukhyar mengatakan, dari MoU antara Freeport dengan Petrokimia, Freeport akan menyewa (leasing) lahan milik Petrokimia Gresik dengan nilai USD8 per meter persegi. Freeport akan menyewa lahan seluas 80 hektar. Untuk memperkuat transaksi tersebut, ada dana kesungguhan (comitment fee) USD 130 ribu atau 2% dari nilai leasing per tahun.

Pesona goyang-goyangan Syahrini yang sering menuai kontroversi tampaknya telah ikut merasuk ke dalam industri minerba, sehingga semangat untuk memanfaatkan kekayaan alam seoptimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat masih maju mundur cantik. Maju mundur cantik, maju mundur cantik. Mundur lagi mundur lagi cantik. Cantik, cantik, cantik, cantik, cantik.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar