zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Orangutan Terakhir


Indonesia's Last Orangutans adalah satu dari dua foto yang mengambil isu tentang Indonesia yang berhasil menyabet gelar dalam kontes World Press Photo 2015. Angelo, seekor orangutan jantan berumur 14 tahun, tampak sedang menunggu pemeriksaan medis di Program Konservasi Orangutan Sumatra (PKOS) di Sibolangit, Sumatera Utara.

Salah satu yang menjadi ancaman terbersar orangutan, baik di Kalimantan maupun di Sumatera, adalah adanya deforestasi dan degrasi hutan hujan yang menjadi habitat orangutan. Dilihat dari aspek hukum, pemanfaatan hutan yang menjadi penyebab deforestasi dan degrasi hutan dapat dikelompokkan menjadi pemanfaatan hutan secara legal dan pemanfaatan hutan secara ilegal. Pemanfaatan hutan secara legal adalah untuk perumahan, perkebunan, pertanian, dan pemanfaatan hasil hutan. Sementara itu, kegiatan pemanfaatan hutan secara ilegal adalah kegiatan pembalakan liar (illegal logging) dan pembakaran hutan.

Jika dibandingkan dengan negara-negara yang juga memiliki hutan tropis, dilihat dari besaran dan tingkat pengurangan hutan, tingkat deforestasi dan degradasi hutan Indonesia temasuk tinggi. Menurut data tahunan Food and Agriculture Organization (FAO), luas hutan Indonesia (total forest cover) telah menyusut dari lebih dari 116 juta hektar pada tahun 1990 menjadi kurang dari 90 juta hektar pada tahun 2005. Artinya, selama kurun waktu tersebut terjadi pengurangan hutan sebesar 24,1%.

Baik dilihat dari skala lokal maupun global, deforestasi dan degradasi hutan berdampak negatif. Dalam skala lokal, deforestasi dan degrasi hutan menyebabkan rusaknya ekosistem hutan yang merupakan habitat berbagai spesies flora dan fauna, tidak terkecuali orangutan. Perusakan hutan juga dapat menghilangkan fungsi hutan sebagai penjaga kesuburan tanah, erosi, dan penyerap karbon. Sementara itu, dalam skala global, deforestasi telah menyumbang sekitar 18% hingga 20% terhadap pemanasan global.

Di satu sisi, pemanfaatan hutan dan hasil hutan dibutuhkan untuk menunjang kegiatan perkonomian. Di sisi lain, pemanfaatan hutan dan hasil hutan dapat mendorong pemanasan global dengan berkurangnya fungsi penyerapan karbon. Adanya dua kepentingan yang saling bertentangan ini kemudian memunculkan skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation-plus (REDD+), sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan.

REDD+ menawarkan kesempatan kepada negara-negara berhutan tropis untuk menciptakan penerimaan dana baru dengan cara melindungi dan merehabilitasi hutan yang rusak. Melalui REDD+, Indonesia berkesempatan untuk memperoleh pendapatan negara, mengurangi kehilangan tutupan hutan, dan sekaligus berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon global. Pengalaman Indonesia mengelola Dana Reboisasi (DR) selama lebih dari dua dekade menjadi pembelajaran yang sangat penting bagi REDD+, termasuk dalam hal mekanisme pengelolaan keuangan dan administrasi penerimaan.

Dana Reboisasi yang dibentuk tahun 1989 merupakan pendanaan hutan nasional yang dibiayai dari iuran yang dibayarkan oleh para pemegang konsesi hutan, yang besarnya berdasarkan volume kayu yang ditebang. Tujuan pembentukan dana ini adalah untuk mendukung kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan dan hutan yang telah rusak. Selama lebih dari dua dekade, DR yang telah masuk ke dalam Kas Negara mencapai kisaran USD5,8 miliar dan merupakan sumber PNBP terbesar dari sektor kehutanan.

Saat menghadiri konferensi yang bertajuk Hutan Indonesia: Alternatif Masa Depan untuk Memenuhi Kebutuhan Pangan, Kayu, Energi, dan REDD+, Presiden SBY pernah berjanji untuk terus bekerja dan membaktikan tiga tahun terakhir masa jabatannya sebagai presiden untuk mencapai hasil berkelanjutan yang melindungi lingkungan dan hutan Indonesia. “Keberhasilan kita dalam mengelola hutan kita akan menentukan masa depan dan kesempatan-kesempatan bagi anak-anak kita.” kata SBY dalam pidatonya.

Dalam upaya memenuhi janjinya, tepat di Hari Valentine di tahun terakhir masa jabatannya sebagai presiden, SBY menandatangani PP Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan (PP 12/2014). Ditetapkannya PP tersebut merupakan wujud dukungan kebijakan fiskal dari sisi pendapatan negara sektor kehutanan dalam mengurangi deforestasi dan degradasi hutan sekaligus menjaga sustainabilitas industri kehutanan untuk mendorong pencapaian green economy.

Tarif PNBP yang telah disusun oleh Kementerian Keuangan bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut tidak semata-mata untuk meningkatkan pendapatan negara, namun juga untuk mempengaruhi kebijakan di sektor kehutanan. Misalnya, ketika ada reboisasi pascapenebangan hutan harus ada tarif tertentu yang berlaku untuk mendukung kebijakan tersebut. Jadi, upaya penghijauan kembali dapat dilakukan dengan cepat dan efektif. Dalam PP 12/2014 juga ditetapkan kenaikan besaran tarif DR, yang terdiri dari tarif DR untuk Kayu Bulat (KB), Kayu Bulat Sedang (KBS), dan Kayu Bulat Kecil (KBK) dari hutan alam.

Meski tarif DR telah dinaikkan, realisasi penerimaan DR tahun 2014 hanya mencapai Rp1,7 triliun atau hanya 73,86% dari target sebesar Rp2,3 triliun. Tidak tercapainya target penerimaan DR tersebut disebabkan adanya Inpres Nomor 10 Tahun 2011 yang dilanjutkan dengan Inpres Nomor 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Inpres tersebut menjadi penyebab tidak tercapainya target penerimaan karena DR diperoleh dari kegiatan menebang hutan alam. Inpres tersebut adalah bentuk komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020.

Dunia internasional, melalui program REDD+ telah memberikan insentif kepada negara-negara yang melakukan program konservasi. Indonesia, yang masuk ke dalam tiga besar negara dengan hutan tropis terluas memiliki peluang untuk mendapatkan insentif yang besar dari program tersebut. Eksploitasi sumber daya alam yang selama ini merupakan kontributor terbesar penerimaan PNBP dapat dikompensasi dengan optimal. Meskipun PNBP sektor kehutanan akan berkurang, di sisi lain deforestasi dan degradasi hutan juga ikut berkurang. Dampaknya, hutan Indonesia akan tetap lestari dan orangutan terakhir akan mendapatkan kembali rumahnya yang sempat terampas untuk dapat hidup nyaman dan berkembang biak.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

1 komentar

  1. mantep bang. informatif banget...
    makasih.
    visit back yoo...

    BalasHapus