zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Mencecap Jamuan Keraton Jogja


Jogja kota bersahaja, menjaja semua pesona. Ada istana raja. Ada wisata belanja. Pun pantai bermentari senja. Dari remaja hingga lansia, semua dimanja. Merdu lagu mengalun syahdu, menyeka isak yang bersedu. Jogja tak pernah ragu, menancapkan rindu di hati individu yang mencumbunya. Setangkup sendu yang merindu, menjadi candu yang memandu. Sesekali berharap kembali, menali mimpi di Kota Seni.

Kali pertama saya datang ke Jogja adalah ketika menjadi figuran untuk melakukan pejalanan dinas bersama anggota DPR. Sangat berkesan. Gara-gara itu pula saya bisa membeli ponsel pintar pertama kalinya dengan uang sendiri. Di Jogja pula saya pernah melakukan sa’i sebelum bertemu dengan mertua yang pada saat itu masih menyandang predikat calon mertua. Dengan menggendong ransel 35 liter, dari Stasiun Tugu ke keraton lalu kembali menyusuri Jalan Malioboro menjuju Tugu Jogja.

Malioboro, alun-alun, dan keraton sudah menjadi syarat sah sowan ke Jogja. Belum sah sowan ke Jogja kalau belum mengunjugi tempat-tempat tadi. Tapi alangkah ruginya kita jika sowan ke Jogja tanpa mencecap menu jamuan Keraton Jogja. Tidak sulit untuk mencarinya. Beberapa tempat di Jogja sudah menyediakan menu favorit yang biasa di santap sultan. Tapi sedikit yang dihidangkan dengan suasana ala keraton. Gadri Resto adalah salah satunya.


Gadri Resto didirikan oleh GBPH Joyokusumo, adik Hamengkubuwono X. Gadri Resto terletak di Jalan Rotowijayan Nomor 5, kompleks Keraton Jogja. Berselimut arsitektur Jawa yang sangat kental, menambah keuinikan restoran ini, selain tentu saja menu makanannya. Salah satunya adalah nasi blawong, menu andalan Gadri Resto yang konon merupakan makanan favorit Sultan Hamengkubuwono VIII dan IX.

Nahas, di Gadri Resto kami tidak kebagian tempat duduk. Untungnya, kami diantar mas-mas penerima tamu ke nDalem Ngabean Hotel and Resto. Dengan arsitektur yang khas, suasana dan pemandangan nDalem Ngabean benar-benar serasa di keraton. Suasana keraton semkin terasa ketika mulai mencicipi jamuan yang dihidangkan, semisal rawon kraton, selat solo, ketan hitam, es kunir asem, beras kencur, wedang uwuh, dan tentu saja gudeg.


Bedanya dengan Gadri Resto, menu masakan di nDalem Ngabean berkonsep daily buffet alias prasmanan. Meski begitu, kita tetap bisa memesan menu tertentu khas Keraton Jogja. Alunan gamelan dan tembang-tembang Jawa syahdu menemani sowan kami ke restoran ini. Uniknya, selama kami di sana tidak satu pun wisatawan lokal yang kami temui.


Karena masih ada di lingkungan Keraton Jogja, tidak sulit menjangkau nDalem Ngabean dari pusat-pusat keramaian Jogja. Dari Malioboro saja, cukup menghabiskan waktu sekitar seperempat jam kita sudah bisa sampai di nDalem Ngabean. Dari keraton pun cukup dekat bila ditempuh dengan berjalan kaki melewati Taman Sari.


Masih ingat dengan adegan di atas? Itu adalah salah satu adegan dalam film Java Heat, besutan sutradara Conor Allyn. Adegan sebelum ledakan dahsyat di awal film laga tersebut mengambil latar di pendopo nDalem Ngabean.


Di belakang, juga ada Rumah Kudus, bangunan yang sarat dengan ukiran kayu khas kota kretek. Rumah Kudus ini berfungsi sebagai musola. Karena itu, lantainya lebih tinggi dibandingkan bangunan-bangunan lainnya. Rumah Kudus ini juga menjadi lokasi yang diambil sebagai latar adegan penahanan Sultana oleh Malik dalam film Java Heat.

Rasa penasaran menyeret saya ke sebuah prasasti di depan pendopo. Pada prasasti bertanggal 22 Februari 1934-1942 tersebut terukir tulisan yang menceritakan bahwa nDalem Ngabean adalah saksi dari berkumandangnya Radio Mavro sebagai perintis Radio Republik Indonesia Nusantara, radio yang membawa suara cita-cita kemerdekaan.

Jamuan ala Keraton Jogja yang kami lahap siang itu berhasil meredam perut yang sudah keroncongan selepas berkeliling Keraton Jogja. Kami pun siap untuk kembali mencumbui sudut-sudut Jogja lainnya yang selalu menimbulkan adiksi.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar