zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Sekolahnya Manusia Bhinneka


Lama sudah saya tidak menulis. Tetapi, kiriman gambar dari suami mengenai lomba blog bertema difabel berhasil menyeret dan mengembalikan memori tentang beberapa penelitian kecil yang pernah saya lakukan dulu di sekolah. Saya pun tergerak untuk kembali menulis dan sedikit berbagi tentang hasil penelitian-penelitian itu. Saya tidak akan secara eksklusif menyoroti kekhususan–untuk tidak menyebutnya sebagai difabel. Saya akan lebih menyoroti mengenai sekolah inklusi, yang beberapa tahun ini secara terus menerus dikembangkan sebagai sekolah alternatif bagi anak khusus, selain sekolah khusus tentunya.

Dulu, kali pertama saya bekerja adalah di sebuah klinik terapi untuk anak khusus. Waktu itu, sering saya mendengar cerita dari orangtua anak khusus mengenai sikap orangtua anak lain yang sebenarnya cukup–bukan cukup, tapi memang–menyakitkan ketika memberi respon mengenai anak khusus. Namun, setelah saya berkerja di sekolah inklusi, yang semua orangtua sudah siap dan tahu bahwa mereka menyekolahkan anaknya di sekolah yang ada anak khusus di setiap kelasnya, tidak lagi saya mendengar cerita-cerita serupa itu. Sekolah yang telah berkomitmen menjadi sekolah inklusi dan menerima anak khusus memang memiliki peran dalam menginformasikan ke orangtua lain mengenai anak khusus di sekolahnya dan menunjukkan sikap menghargai anak khusus tersebut sebagaimana anak lainnya.

Sekolah inklusi adalah sekolah umum yang menerima anak khusus dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan setiap anak melalui adaptasi kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana prasarana. Karena itu, ketika masuk ke sekolah inklusi, anak akan banyak belajar mengenai keragaman dan bagaimana bereaksi atas keragaman tersebut. Jika sedari usia dini anak sudah belajar mengenai keragaman dan perbedaan, kelak ketika tumbuh dewasa dia tidak akan kaget melihat Indonesia yang bhinneka tunggal ika.

Apalagi anak-anak sekarang tumbuh di tengah tontonan yang menyeragamkan pola pikir mereka. Soal cantik misalnya, anak-anak berorientasi pada film Barbie dan Disney Princess, sehingga dalam pola pikir mereka cantik itu satu ragam, yakni berkulit putih, bertubuh langsing, dan tinggi semampai. Padahal, kita orang Indonesia memiliki beragam kriteria cantik. Bagi suku dayak misalnya, cantik ditandai dengan panjangnya daun telinga. Semakin panjang daun telinga, semakin dia cantik. Lain suku dayak, lain pula suku mentawai. Bagi suku mentawai, seorang perempuan dianggap cantik bila memunyai titi (tato) dan gigi runcing.  

Kira-kira dua tahun yang lalu, saya meneliti anak-anak yang pernah bersekolah di kelombok bermain dan taman kanak-kanak inklusi Bintang Bangsaku mengenai toleransi terhadap perbedaan. Penelitian kualitatif dengan subjek tiga orang yang bervariasi umur, kelas, agama, dan suku ini menunjukkan proses belajar mengajar di sekolah inklusi mendukung perkembangan toleransi pada anak sebagaimana yang diungkapkan oleh Groover (2007). Selain itu, ketiga subjek tersebut juga memiliki tingkat perkembangan toleransi yang lebih tinggi dibandingkan anak seusianya sebagaimana yang dikemukan oleh Enright dan Lapsley (1981) serta Witternberg (2007).

Inilah cerita saya tentang anak-anak di sekolah inklusi. Menyekolahkan anak di sekolah inklusi membantu mereka memberikan respon terhadap perbedaan, termasuk kepada anak-anak khusus, dengan tepat. Dengan begitu, tidak akan ada lagi bullying karena kekhususan, ketidakpedulian terhadap kekhususan, dan pura-pura tidak melihat kekhususan seseorang karena bingung mau merespon bagaimana. Semua manusia itu unik, dan keunikan bukan difabel yang menjadi batas, melainkan kekhususan yang membuatnya unik.

Jadi, di mana lagi kita bisa menstimulasi anak untuk belajar bertoleransi dan menghargai keragaman jika bukan di sekolah inklusi, sekolahnya manusia bhinneka?

____________________
Sumber gambar: Medium
Baca Juga
Ambu
Pendidik

Artikel Terkait

Posting Komentar