zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Perisakan Gender


Mahasiswa selalu mendaku sebagai agen perubahan. Gerakan mahasiswa karena itu sudah semestinya berubah dan berpolarisasi mengikuti gesitnya kemajuan zaman. Sudah waktunya bagi mahasiswa untuk tidak melulu meneriaki korupsi dan kenaikan harga BBM, tapi juga berdirinya khilafah isu-isu sosial, termasuk soal gender. Sedari masa R. A. Kartini hingga Emma Watson, isu gender masih dan akan tetap hangat untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Baru-baru ini, isu gender kembali ramai diperbincangkan orang-orang. Gemanya berasal dari kampus UI, satu kampus yang menyandang nama bangsa kita.

Tetapi, sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dulu kita harus mampu membedakan definisi gender yang sering kali dipersamakan dengan jenis kelamin dan orientasi seksual. Padahal, ketiganya merupakan istilah yang masing-masing berdiri sendiri. Jenis kelamin sebagai karakteristik fisiologis, gender sebagai karakteristik mental dan perilaku, serta orientasi seksual sebagai pola ketertarikan seksual dan emosional, penggunaan istilahnya tidak boleh disubstitusikan satu dengan lainnya.

Di kampus UI ada SGRC UI (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Universitas Indonesia). SGRC UI mendaku sebagai kelompok yang mencoba mengupas isu sosial, khususnya mengenai perisakan gender, seksualitas, dan kesehatan reprodusi, secara ilmiah. Tetapi kemudian, media masa dengan segala kuasanya berhasil mengerdilkan SGRC UI hanya sebagai kantong perekrutan LGBT. 

Bermula dari program LGBT Peer Support Network, SGRC UI dituduh sebagai kelompok yang akan mengarahkan individu untuk menjadi LGBT. Padahal, kegiatan tersebut merupakan konseling bagi remaja yang merasa tertekan karena memiliki gender dan orientasi seksual yang berbeda dengan jenis kelaminnya pada umumnya. Setiap harinya, ada ribuan remaja yang melakukan percobaan bunuh diri akibat orientasi seksual yang berbeda, atau menjadi korban kekerasan seksual. 

Ada yang beranggapan bahwa SGRC UI berani muncul akibat dari legalisasi perkawinan sejenis di seluruh negara bagian di Amerika Serikat, yang pernah dirayakan para pendukungnya dengan memajang foto profil media sosial bernusansa pelangi. Sebuah anggapan yang tentu saja keliru. Sebelum itu pun sudah ada kelompok sejenis yang peduli terhadap isu gender dan kesehatan reproduksi. KISARA (Kita Sayang Remaja) adalah salah satunya. Pada penghujung tahun 2011, saya sempat berkunjung ke markasnya di Denpasar.

KISARA adalah satu kelompok remaja di bawah naungan PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Bali yang menjadi pusat informasi dan konseling remaja. KISARA terbentuk dari kepedulian terhadap permasalahan kesehatan reproduksi remaja: hubungan seks pranikah, kehamilan remaja, PMS, HIV/AIDS, dan penyalahgunaan NAPZA. Kisara juga memberikan pendampingan bagi kelompok berisiko, termasuk remaja LGBT. 

Sejujurnya, saya tidak peduli dengan legalisasi pernikahan sejenis yang terjadi di Negeri Paman Sam. Karena itu pula, pada 26 Juni 2015 lalu saya tidak ikut memajang foto profil media sosial bernuansa pelangi. Tetapi, bukan berarti saya tidak menghormati rekan-rekan saya yang LGBT. Bagi saya, LGBT merupakan bagian dari keragaman, yang harus dihormati dan dirangkul agar tidak terjerumus ke dalam perilaku berisiko. Karena itu, sudah selaiknya kelompok-kelompok yang tengah menyalakan lilin, tidak hanya mengutuki kegelapan, didukung, bukan malah dikecam.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar