zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Corong Pariwara


Tukang sate dan pedagang asongan yang tetap berjualan usai meletusnya bom di Thamrin menjadi bukti bahwa kerumunan adalah pangsa pasar yang sangat menjanjikan. Saat ini, lebih dari tujuh puluh juta penduduk Indonesia aktif berkerumun di jejaring sosial. Maka, tidak mengherankan jika banyak produsen menggunakan media sosial sebagai corong untuk memasarkan produknya.

Selain melalui akun media sosial ofisial, produsen-produsen tersebut pun kerap menggunakan jasa pendengung atau orang yang berpengaruh di jejaring sosial, tidak terkecuali narablog. Sewaktu blog baru naik daun, jumlah narablog pendengung masih hitungan jari. Waktu itu, lebih banyak narablog yang asyik mengejar PageRank supaya bisa menjadi corong Google AdSense. Sekarang tendensinya mulai bergeser, narablog pendengung sudah berjibun jumlahnya.

Saya termasuk narablog yang menulis artikel berbayar mengenai sebuah produk atau merek. Meski memang jumlah tawaran yang saya tolak–akibat terlalu banyak ketentuan yang dipersyaratkan–masih lebih banyak daripada yang saya terima. Belakangan, saya sadar telah melakukan kelalaian. Saya tidak memberikan label khusus pada artikel berbayar yang saya tulis. Padahal, pembaca blog ini memiliki hak untuk tahu artikel berbayar dan tidak.

Saya juga menulis artikel sebagai bentuk dukungan untuk kampanye atau gerakan tertentu yang tidak dibayar. Termasuk di antaranya adalah untuk mendiseminasikan kebijakan-kebijakan pemerintah. Artikel tersebut berupa dukungan, dan saya ingin pembaca tahu jika itu murni pendapat pribadi saya tanpa ada dorongan dari pihak manapun untuk menuliskannya. Karena itu, diperlukan label khusus untuk mebedakan artikel berbayar dan tidak.

Artikel berbayar sejatinya masuk ke dalam kategori pariwara. Di dunia pariwara, sudah ada Etika Pariwara Indonesia (EPI). Pada dasarnya, EPI juga mengatur mengenai media baru: suatu saluran komunikasi nonkonvensional yang secara elektronik menyampaikan pesan periklanan berupa teks, tanda, citra, atau paduannya, baik daring maupun laring. Dari definisi tersebut, jelas bahwa blog termasuk media baru, yang mestinya tunduk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam EPI.

Tapi memang, EPI belum cukup tebal untuk menjadi garis tepi pembatas gerak narablog pendengung. Karena itu, tetap kita, para  pemain, yang harus menjadi wasitnya. Berbeda dengan di luar negeri. Di Inggris misalnya, setiap kicauan yang mengiklankan produk atau jasa tertentu harus disisipi tagar #ads, #ad, #adv, atau #spon. Sejumlah bintang sepak bola pernah kena semprot gara-gara tidak menyisipkan tagar tersebut dalam kicauan berbayarnya.

Keterbukaan ini penting karena sedikit banyak status “berbayar” itu akan mempengaruhi objektivitas narablog. Pasa masa Pemilu, tidak sedikit pendengung yang dibayar untuk menyokong calon atau partai tertentu yang tidak menandai kicauannya di jejaring sosial sebagai kicauan berbayar. Bahkan tidak jarang kicauannya berupa fitnah dan ujaran kebencian. Akibatnya, publik yang kurang melek informasi menjadi terkecoh dan taklid dengan kicauannya.

Ini tidak adil dan saya tidak ingin seperti itu–mengaburkan opini publik. Karena itu, mulai detik ini setiap artikel berbayar yang saya muat di blog ini akan saya labeli Pariwara. Pun dengan kicauan atau postingan berbayar saya di media sosial akan saya beri tagar #spon. Paling tidak, ini apresiasi yang bisa saya beri kepada pembaca, yang sudah menghabisnya sedikit waktu dan paket internetnya di blog ini.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar