zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Kiprah Emiten Plat Merah


Salah satu misi utama pembentukan BUMN adalah menciptakan kemakmuran rakyat. Demi menggapainya, pemerintah terus meningkatkan kekuatan ekonomi nasional melalui kepemilikan negara terhadap unit-unit usaha strategis. Namun begitu, keterbatasan APBN membuat pemerintah harus memutar otak untuk mencari alternatif suntikan dana segar demi meningkatkan kapitalisasi BUMN.

Pemerintah karena itu terus mendorong perusahaan-perusahaan plat merah untuk menjadi emiten pasar modal. Pasar modal merupakan ruang alternatif bagi perusahaan untuk mencari suntikan dana segar. Selain mendapat suntikan dana tanpa melulu bergantung pada APBN, isu transparansi juga menjadi motivasi pemerintah. Dengan menjadi emiten dan tercatat di lantai bursa, BUMN dipaksa untuk lebih transparan.

Sebetulnya, emiten tidak hanya mengkover perusahaan publik yang melantai di bursa saham. Perusahaan tertutup yang melakukan penawaran efek berupa obligasi pun terbilang sebagai emiten. Semisal PT PLN (Persero), yang bukan perusahaan publik tapi melakukan penawaran obligasi. PT PLN (Persero) karena itu masuk ke dalam hitungan emiten plat merah. Namun, dalam tulisan banal ini, saya hanya akan merawikan kiprah emiten plat merah yang melantai di bursa saham.

Merujuk pada Statistik Bulanan BEI Januari 2016, ada sepuluh emiten plat merah yang masuk dalam daftar 50 emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar. PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) duduk satu baris di bawah pemuncak kelas, PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP), dengan kapitalisasi pasar Rp336,7 T atau setara 6,87 persen. Dilihat dari nilai perdagangannya pun, TLKM tetap konsisten di ranking dua, satu peringkat di bawah PT Astra Internasional Tbk. (ASII).

Sebagai institusi plat merah, BUMN memiliki banyak keuntungan. BUMN beroperasi dengan dukungan fasilitas penuh dari pemerintah, mulai dari permodalan, termasuk akses ke sumber pendanaan, hingga posisi dan bidang usaha yang strategis. Hal ini jelas terlihat pada emiten BUMN. Hampir di semua sektor, BUMN mampu bersaing dengan–bahkan mengungguli–perusahaan swasta. Sebagai sampel, mari kita tengok industri semen.

PT Semen Baturaja (Persero) Tbk. (SMBR) dan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMGR) adalah dua emiten plat merah yang bermain di industri semen. Bahkan di sana ada pula PT Wijaya Karya Beton Tbk. (WTON), salah satu anak perusahaan BUMN. Tahun lalu industri semen sempat melemah. SMGR ikut terkena imbasnya dan harus puas dengan penurunan laba bersih sebesar 18,76 persen year-on-year (yoy). Meski memang tidak boleh dipungkiri jika penurunan tersebut juga terjadi akibat adanya kebijakan pemerintah yang menurunkan harga semen Rp 3.000 per kantong.

Tahun ini, industri semen diprediksi merangkak naik. Pemicunya adalah geliat proyek infrastruktur pemerintah dan mulai bertumbuhnya bisnis properti. Hingga akhir Januari lalu, SMGR meraup 7 persen peningkatan penjualan. Ini bukti bahwa proyek pemerintah sangat berpengaruh terhadap kinerja SMGR. Jamaknya pemain baru yang masuk ke pasar semen domestik diperkirakan tidak akan memengaruhi kinerja SMGR secara signifikan. Branding produk dan pengalaman SMGR di industri semen dinilai sudah cukup kuat. Kondisi keuangannya pun relatif lebih sehat dibandingkan pemain lainnya.

Menurut hasil riset Danareksa, dalam kurun 2005–2009 performa dua belas emiten BUMN unggul dibanding lima puluh emiten non-BUMN. Emiten BUMN memiliki return on equity (ROE) yang lebih tinggi, berkisar antara 20–30 persen. Return on asset (ROA) pun relatif sama. Pertumbuhan laba bersih juga masih unggul, yakni antara 23–24 persen, bila dibandingkan dengan emiten non-BUMN yang hanya bertumbuh sekitar 20 persen. Selain itu, BUMN relatif lebih tinggi dalam memberikan dividen dan dividen yield.

Namun demikian, jika dilihat dari debt to equity ratio (DER) dan pertumbuhan aset, BUMN masih kalah unggul. Salah satu yang menghambat pertumbuhan aset BUMN adalah panjangnya birokrasi yang harus dilalui jika pemerintah ingin menambah modalnya di BUMN. Bahkan terkadang sarat akan kepentingan politik, karena harus mendapat persetujuan parlemen. DER BUMN sedari 2005 hingga 2009 terus turun dari 103,8 persen pada 2005 menjadi 52,6 persen pada 2009.

Selain untuk meningkatkan kapitalisasi, BUMN yang melantai di bursa saham juga didapuk untuk mengembangkan pasar modal Indonesia. Hal ini sudah dimulai sejak tahun 1997, ketika PT Danareksa (Persero) diberi amanat untuk pengembangan pasar modal. Kontribusi BUMN dalam mengembangkan pasar modal Indonesia semakin meningkat dengan aktivitas BUMN sebagai emiten. Kontribusi emiten plat merah ini terus meningkat sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam rangka privatisasi BUMN.

Sebagai badan usaha, yang umumnya memiliki aset besar, BUMN memiliki peran yang sangat signifikan dalam dalam menciptakan likuiditas pasar. Peran BUMN semakin besar ketika berhasil memikat para investor untuk berinvestasi di saham-saham BUMN. Pada akhirnya, hal ini akan menciptakan iklim yang semakin kondusif bagi pengembangan pasar modal untuk meningktakan efisiensi ekonomi nasional.

Selain itu, BUMN juga berfungsi sebagai katalisator dan dinamisator pertumbuhan ekonomi. Adanya tugas tambahan yang dibebankan ke pundak BUMN tersebut kadang membuatnya harus mengesampingkan usaha untuk merengkuh profit yang besar. Dominasi peran pemerintah menjadikan BUMN sebagai kepanjangan tangan penguasa yang sarat kepentingan politik. Akibatnya BUMN tidak bisa berkembang sebagaimana patutnya sebuah badan usaha.

Selain itu, klasifikasi dividen sebagai satu jenis penerimaan negara juga turun menghambat perkembangan BUMN. Ketika mendapatkan laba bersih, sering kali pemerintah meminta BUMN menyetor dividen untuk menunjang penerimaan negara. BUMN tidak leluasa mengalokasikan labanya untuk meingkatkan kapitalisasinya. Niscaya ini berpengaruh terhadap daya saing emiten plat merah terhadap emiten swasta.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar