zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Sedimentasi Pola Pikir


Tahun 1848, Phineas Gage, pekerja konstruksi Rutland and Burlington Railroad tertimpa sebatang besi runcing. Besi itu menembus rahang dan masuk kedalam kepala, menembus otaknya. Otak manusia tersusun dari beberapa bagian dengan fungsi yang berbeda-beda. Korteks prefrontal adalah salah satu bagiannya. Dalam petaka yang menimpanya, besi itu menembus otak Gage, tepat mengenai korteks prefrontal.

Gage beruntung karena bisa selamat tanpa harus menjadi gila ataupun idiot akibat kerusakan otak. Namun, kerusakan korteks prefrontal–tempat pengaturan sifa-sifat kepribadian manusia, perencanaan, dan konsekuensi tindakan–membuat kepribadiannya berubah. Gage menjadi bermulut kotor, kasar, dan mudah marah. Padahal, sebelum kecelakaan itu, Gage adalah pemuda yang baik, sopan, ramah, dan baik hati.

Adrian Rane, guru besar psikologi Universitas Southern California, dalam penelitiannya mendapati adanya hubungan erat antara korteks prefrontal dengan perilaku agresif para pelaku kejahatan. Penelitian dengan tujuan serupa juga pernah dilakukan terhadap beberapa monyet dengan mengablasi total atau hampir total korteks prefrontal-nya. Monyet-monyet itu menjadi apatis, cuek, suka menyendiri, kurang agesif, serta tidak memiliki sikap bersaing dalam hal makanan, seks, dan tempat tinggal.

***

Internet, ponsel pintar, dan jejaring sosial adalah perpaduan yang teramat adiktif di era ledakan teknologi digital seperti ini. Saban hari, luapan notifikasi WhatsApp, Facebook, dan sejumlah media sosial lainnya silih benganti membanjiri ponsel pintar kita. Saat menggenggamnya, kita terhubung ke jejaring yang luar biasa sibuk: membalas komentar di Facebook, mengikuti obrolan di grup WhatsApp, mengecek kotak masuk surel, dan me-retweet kicauan selebtwit.

Internet termasuk dalam kelompok teknologi intelektual. Teknologi intelektual berfungsi menunjang atau meningkatkan kekuatan mental manusia. Teknologi intelektual memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola pikir, menciptakan personal branding, dan berinteraksi dengan orang lain. Internet menjadi penanda suatu era kala teknologi intelektual menyimpan potensi menakjubkan untuk mengubah peradaban manusia. Manusia menjadi senang terhubung dengan banyak orang dan merasa primitif ketika terisolasi darinya.

Dalam buku The Shallow: Internet Mendangkalkan Cara Berfikir Kita, Nicholas Carr, menulis bahwa internet melibatkan banyak paradoks. Namun, pengaruh jangka panjang yang paling nyata adalah terhadap pola pikir kita. Penggunaan internet secara masif memiliki beragam konsekuensi neurologis. Berbagai riset neurologi telah dilakukan untuk meneliti cara kerja otak manusia yang berhubungan dengan penggunaan teknologi.

John Sweller, psikolog pendidikan Australia, menghabiskan tiga dekade hidupnya untuk mempelajari bagaimana otak memproses informasi, terutama bagaimana kita belajar. Karyanya mampu menjelaskan bagaimana internet memengaruhi pola dan kedalaman berpikir kita. Otak manusia, menurutnya, terdiri dari dua jenis memori: jangka pendek dan jangka panjang. Memori jangka pendek di antaranya terdiri dari memori aktif.

Memori aktif hanya mampu menampung sedikit informasi. Beda dengan memori jangka panjang yang memiliki kapasitas besar. Memori aktif berperan penting dalam alih informasi ke memori jangka panjang. Memori jenis inilah yang lebih banyak bekerja dalam korteks prefontal. Jika memori aktif merupakan bantalan otak dan isi kesadaran kita pada saat tertentu, memori jangka panjang adalah sistem pengarsipan yang berada di luar kesadaran.

Kedalaman kecerdasan kita bergantung pada kemampuan untuk menyalin informasi dari memori aktif ke memori jangka panjang dan menjalinnya menjadi skema-skema konseptual. Agar kita bisa mengingat hal yang sudah dipelajari, otak harus mengunggahnya dari memori jangka panjang ke memori aktif.

Media berpengaruh besar dalam mengatur kecepatan dan intensitas arus informasi. Ketika membaca buku, kecepatan dan intensitas informasi mengalir dengan stabil karena kita bisa mengontrol seberapa cepat kita membaca. Konsentrasi kita hanya terpusat pada deratan huruf demi huruf, sehingga seluruh atau sebagian besar informasi dapat disimpan dalam memori jangka panjang dan membentuk skema konseptual.

Beda halnya ketika kita berhadapan dengan internet. Informasi meluap dari berbagai kanal. Memori aktif kewalahan menampung. Kita pun hanya bisa memindahkan dan menyimpan sedikit informasi, berupa tetesan dari berbagai kanal, ke dalam memori jangka panjang. Walhasil, kita hanya menyimpan informasi yang tidak koheren dan tidak berkesinambungan dari berbagai sumber. Kita tidak mampu menerjemahkannya ke dalam skema konseptual.

Selain itu, luapan informasi juga menyulitkan penarikan informasi yang sudah tersimpan dalam memori jangka panjang. Kemampuan belajar kita menurun drastis. Pemahaman pun tetap dangkal. Ketika batas memori aktif telah terlampaui, semakin sukar untuk memilah antara informasi yang relevan dan yang tidak relevan. Dampak terburuknya, kita menjadi konsumen informasi yang kehilangan otak.

***

Tidak mencengangkan jika gara-gara internet tidak sedikit yang keperibadiannya berubah meski tidak mengalami kecelakaan yang merusak korteks prefrontal-nya. Yang saya tahu, pernah ada satu orang yang sangat tergila-gila dengan twitter. Akibat kegilaannya itu, di lini masa twitter ia menjadi sangat agresif. Sampai-sampai ia hampir kehilangan jabatan dan pekerjaannya. Orang yang tidak kenal dengannya tidak akan mengira jika twitter telah mengubah pola pikir dan kepribadiannya.

Belum lagi orang-orang yang terlibat twitwar dan berlanjut duel fisik. Internet memang sudah banyak menelan korban. Tidak terkecuali para clicking monkeys, orang-orang yang gemar menyebarkan kabar yang dia sendiri tidak yakin validitasnya. Benar kata Sweller, internet sangat berpengaruh terhadap pola dan kedalaman berpikir kita. Internet telah menyedimentasi pola pikir kita, sebuah potensi menakjubkan yang dapat mengubah peradaban manusia.

Lantas, apa yang membedakan pengaruh internet terhadap otak kita dengan kecelakaan yang menimpa Gage? Jangan-jangan tidak ada bedanya. Jangan-jangan kita sudah menjadi konsumen informasi yang kehilangan otak. Semoga saya keliru.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar