zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Orangtua Istimewa


Pagi tadi, ada sejumput keriuhan di ballroom kantor. Kali ini, ada penutupan festival film pendek dan beberapa kompetisi lain. Bahkan di akhir acara, ada Rene Suhardono yang ikut bikin ribut. Harus saya akui, Rene adalah salah seorang inspirator yang telah menuntun saya melewati masa-masa krisis perjalanan karir. Maka, jangan heran jika beberapa artikel lawas di blog ini terinspirasi oleh kata-kata yang keluar dari mulut seorang Rene.

Tadi, sewaktu berkisah tentang Joey Alexander, si bocah ajaib yang tampil di ajang Grammy Awards tahun ini, Rene sempat melontarkan dua kalimat “anak bukan kertas kosong” dan “bakat bukan takdir”. Yang saya tahu, keduanya merupakan judul buku karangan Budi “Bukik” Setiawan. Bukik termasuk yang meyakini bahwa pendidikan formal (sekolah) saja belum cukup, karena pendidikan utama anak berawal dari keluarga.

Malangnya, tidak sedikit orangtua yang menganggap sekolah (plus bimbel) saja sudah cukup. Saya pernah melihat sendiri contohnya. Kebetulan, mulai tahun ini isteri saya didaulat menjadi kepala sekolah di salah satu SD di Jakarta Selatan. Cukup sering saya mendengar kisah tentang perilaku anak-anak, yang betul-betul erat kaitannya dengan pola pendidikan keluarga di rumah.

Pernah, satu malam, sesampainya di rumah, saya masih mendapati seorang anak yang belum pulang. Kala itu, beberapa anak memang kerap datang ke rumah untuk belajar bersama menjelang Ujian Nasional. Sebabnya, hasil try out masih jauh dari kata memuaskan. Iya, nilai Ujian Nasional tidak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan, tapi tetap saja untuk bisa masuk SMP favorit, anak harus memperoleh nilai Ujian Nasional setinggi-tingginya.

Orangtuanya tidak kunjung datang menjemput, jadi saya yang mengantar pulang. Karena saya tidak tahu alamatnya, dia yang menunjukkan jalan. Tiba di alamat yang dituju, saya baru tahu kalau jalan yang ditunjukkannya itu menuju rumah neneknya. Orangtuanya masih sibuk bekerja, belum pulang ke rumah. Bahkan, saya sempat mendengar jika di rumahnya ia kurang mendapat perhatian. Wajar, pikir saya, ia malas pulang ke rumah dan pada akhirnya mengalami hambatan dalam belajar.


Setiap anak sudah mendapatkan anugerah kebaikan dan kecerdasan. Tugas orangtua bukan hanya menjejalinya dengan pengetahuan, tapi mencari cara biar kebaikan dan kecerdasannya itu bisa diekspresikan dan diaktualisasikan dengan optimal. Karena itu, menyerahkan suluruh pendidikan anak kepada sekolah tanpa mengimbanginya dengan pendidikan di lingkungan keluarga adalah seburuk-buruknya perlakuan terhadap anak.

Setiap anak itu istimewa. Begitu pula dengan orangtuanya. Maka, akan sangat mungkin jika masing-masing orangtua memiliki caranya sendiri untuk mengaktualisasikan potensi anaknya. Karena itu, tidak usah kita membanding-bandingkan upaya yang sudah kita, saya dan kamu, lakukan untuk anak kita masing-masing. Apapun dan bagaimanapun itu, saya percaya, yang telah kita pikirkan, berikan, dan lakukan untuk anak kita adalah yang terbaik dengan cara yang unik dan istimewa.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar