zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Masuk Sekolah


Pagi-pagi, saya sudah mendapati kabar duka. Di lini masa, sebuah akun memperbarui statusnya, bahwa si pemilik akun sudah meninggal dunia pada hari Minggu kemarin. Akun itu milik seorang narablog cum penulis. Buku perdananya akan beredar bulan depan. Ia adalah yang secara tidak langsung mengajarkan saya untuk berani menulis sesuatu yang ingin kita tulis, bukan yang ingin orang baca.

Tahun-tahun kemarin, sungguh, saya hampir tidak lagi mengikuti blognya. Ada hal-hal mendasar yang saya tidak sepakat dengannya. Meski begitu, saya harus akui jika gaya saya menulis masih dipengaruhi gayanya menulis. Termasuk di tulisan yang saya tayangkan akhir pekan lalu. Tulisan yang sudah saya tarik dari peredaran. Isteri saya sempat protes lantaran isinya terlalu frontal dan saya sepakat dengannya. Maka, kini, saya mengetiknya kembali dengan hati-hati.

Begini. Pada minggu sebelumnya, ada yang berbagi tulisan di lingkaran pegaulan saya. Judulnya “Jika Anak Sekolah Terlalu Dini”. Tulisan itu menyebut bahwa anak di bawah usia lima tahun tidak perlu bersekolah. Menurutnya, anak usia dini belum perlu belajar bersosialisasi dengan beragam orang. Selain itu, saat anak di usia dini, otak yang paling pesat berkembang adalah pusat perasaannya, bukan pusat berpikirnya.

Tidak semestinya kita memandang proses sosialisasi anak secara parsial. Sosialisasi dimulai jauh sebelum anak mampu berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Ada proses yang mesti dilalui sebelum anak sampai pada tahap usia prakelompok. Anak harus lebih dulu memiliki rasa percaya diri untuk berhadapan dengan orang lain. Karena itu, anak harus terbiasa bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang.

Saya punya dua keponakan yang kebanyakan masa kecilnya dihabiskan di rumah. Keponakan yang satu takut dengan laki-laki. Di rumahnya, mayoritas adalah perempuan. Satu-satunya laki-laki di rumah adalah kakeknya. Maka, ia selalu ketakutan ketika bertemu dengan laki-laki lain selain kakeknya. Di sekolah pun, ia kurang bisa bersosialisasi. Keponakan satunya lagi, dalam hari-harinya, hanya kedua orangtuanya yang ia temui. Akibatnya, ia tidak bisa lepas dari orangtuanya.

Saat ini, tidak sedikit anak usia sekolah dasar yang secara mental belum siap untuk masuk SD. Mereka belum siap untuk menerima pelajaran. Di antaranya lantaran mereka tidak mendapatkan pendidikan usia dini atau pendidikan usia dininya kurang optimal. Jika anak itu berasal dari keluarga prasejahtera mungkin dapat dimaklumi. Mereka tidak mendapatkan akses pendidikan yang baik. Faktanya, banyak dari anak-anak itu berasal dari keluarga sejahtera, bahkan sangat sejahtera.

Bandingkan dengan anak-anak di PAUD Inklusi Bintang Bangsaku RW 07 Kelurahan Pasir Gunung Selatan. Mereka mulai masuk PAUD saat usianya di bawah lima tahun. Di sana anak-anak diajak untuk belajar bersosialisasi. Tidak hanya dengan sesama teman, mereka juga belajar bersosialisasi dengan guru. Ketika masuk SD, mereka sudah matang. Mereka sudah memiliki rasa percaya diri, mampu bersosialisasi, serta siap untuk menerima dan mencerna pelajaran.

Seiring dengan usia dan perkembangannya, daya jelajah anak juga semakin luas. Mulanya anak hanya bermain di atas tempat tidur. Setelah merangkak, ia mulai turun ke lantai. Ketika sudah berjalan, ia mengeksplorasi rumah. Tidak lama, ia pun berlarian di luar rumah. Bahkan menjelajah rumah tetangga. Tidak masalah jika ia anak kampung. Bagaimana dengan anak kota, yang lahan bermainnya saja terbatas? Di mana ia akan belajar memanjat, meluncur, berjalan lurus, dan berguling jika bukan di sekolah? Anak akan sangat bosan jika seharian di rumah.

Rhenal Kasali pernah menulis tentang usia emas. Menurutnya, usia emas ini sangat bagus untuk memupuk rasa percaya diri dan kemampuan bergerak yang tersimpan dalam syaraf-syaraf motorik anak. Saya sudah membutikannya. Di sekolah, jagoan pernah diajak mendorong tabung dengan diameter hampir setinggi badannya. Aktivitas itu menumbuhkan rasa percaya dirinya untuk dapat berjalan sendiri, tanpa harus digandeng.

Sejak usianya genap satu tahun, Jagoan memang sudah masuk sekolah. Tidak hanya Jagoan, kami juga ikut sekolah. Di sekolah Jagoan, orangtua ikut masuk ke dalam kelas. Di sana, anak tidak hanya bermain dengan mainan, tubuh orangtua pun kerap menjadi media untuk bermain. Karena itu, jangan sesekali membayangkan sekolah untuk anak usia dini sama dengan sekolah untuk anak yang sudah besar.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar