zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Temaram Demokrasi Kita

Jubah Demokrasi Kongres IKANAS

Saya mengingat 1 Mei 1960 sebagai hari terbitnya majalah Panji Masyarakat yang memuat satu risalah karya Mohammad Hatta: Demokrasi Kita. Demokrasi Kita adalah kritik terhadap Demokrasi Terpimpin dan menjadi salah satu renungan terbaik ihwal demokrasi yang pernah kita miliki. Demokrasi Kita adalah bentuk kekecewaan Hatta terhadap tabiat dan pembawaan flamboyan Soekarno, yang mempermainkan tata negara. Gara-garanya Soekarno berang. Panji Masyarakat kemudian dilarang terbit dan menjadi barang yang haram untuk disimpan, dibaca, dan diedarkan. 

Dalam Demokrasi Kita, Hatta sangat yakin jika demokrasi tidak akan pernah lenyap dari bumi Indonesia. Menurutnya, bila demokrasi lenyap, Indonesia merdeka akan ikut lenyap. Pernyataan itu menunjukkan betapa seriusnya persoalan demokrasi di mata seorang Hatta. Bentroknya dengan Soekarno pun utamanya karena perbedaan persepsi soal praktik demokrasi di Indonesia.

Soekarno, menurut Hatta, adalah sosok yang berkebalikan dengan Mephistopheles, tokoh rekaan Goethe dalam drama Faust. Mephistopheles adalah sosok jahat yang malah menghasilkan hal-hal baik. Sementara Soekarno “tujuannya selalu baik tetapi langkah-langkah yang diambilnya sering membawanya menjauh dari tujuan-tujuan itu,” demikian Hatta menulis.

***

Jubah Demokrasi


Sejatinya, Demokrasi Terpimpin gubahan Soekarno adalah sistem politik otoriter berjubah demokrasi yang amat ditentang Hatta. Jubah demokrasi tidak hanya digunakan oleh Soekarno di Indonesia. Beberapa pemimpin negara juga tercatat pernah mengenakan jubah demokrasi. Ada Gamal Abdul Nasser (Mesir) dengan Demokrasi Tanpa Partai. Ada Sekou Toure (Guinea) dengan Kediktatoran Demokratik. Ada pula Fidel Castro (Kuba) dengan Demokrasi Sejati. Bahkan Mao Ze-dong (Tiongkok), menamai rezimnya dengan “republic of New Democracy”.

Demokrasi, yang begitu murah dan megah diucapkan oleh banyak orang itu, telah dipatenkan menjadi merek dagang politik yang laris manis di pasaran, sungguhpun wujudnya adalah penindasan. Hatta sudah mewanti-wanti anomali demokrasi seperti ini. Menurutnya, di tangan orang yang terlalu ultra-demokratis, demokrasi bisa menjadi kuda liar yang kehilangan kekangnya.

Demokrasi, semenjak pertama terucap dari mulut Herodotus, telah banyak menuai kritik. Walau begitu, demokrasi tetap menjadi primadona dan dipercaya sebagai tatanan ideal untuk menciptakan kestabilan politik. Hingga kini, hampir tidak ada negara yang tidak mengadopsi demokrasi sebagai sistem politiknya. Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Tinggi Kedinasan Keuangan (seterusnya hanya disebut IKANAS) pun–sungguh-sungguh atau hanya pura-pura–telah ikut mengadopsinya.

***

Pelecehan Konstitusi


AD/ART, sebagai konstitusi IKANAS, mengamanatkan kongres sebagai kekuasaan tertinggi. Kongres, karena itu, adalah rupa paling kasatmata demokrasi di tubuh IKANAS. Meski memang, hal ini justru semakin menegaskan lestarinya hasrat buat mereduksi politik sekadar ritual tiga tahunan. Seakan-akan, seremoni yang menjamin riuhnya kampanye dan pelaksanaan kongres lebih penting ketimbang kesadaran politik itu sendiri.

Skeptisisme saya pada IKANAS sempat memudar seiring gempitanya arak-arakan jelang kongres. Pertarungan argumen dan retorika antarpasangan calon, berikut massa pendukungnya, semakin membikin panas iklim politik. Mereka, dalam perdebatan itu, bahkan tidak segan mencatut para pemikir dunia yang nama-namanya sulit dilafalkan, terlebih oleh pemilik lidah Sunda seperti saya. Sayangnya, segala keriaan itu tidak berakhir dengan bahagia, selamanya. Akhirnya justru menyedihkan, sangat menyedihkan malah.

Proses demokrasi yang disuguhkan justru mengabaikan–untuk tidak bilang melecehkan–kongres, sebagai kekuasaan tertinggi. Konstitusi bicara bahwa yang berhak mengemukakan pendapat, saran, dan kritik serta mempunyai hak suara dalam kongres adalah anggota yang hadir dalam kongres sebagai delegasi. Bukan dewan pertimbangan, apalagi para pasangan calon. Jelas praktik macam ini adalah praktik yang inkonstitusional.

Praktik demokrasi macam ini telah kehilangan gairah ideologi, minim kesadaran demokrasi yang substansial, dan karenanya melempem dalam mendorong penggapaian cita-cita bersama. Generasi yang mulai peduli pentingnya berkesadaran politik akan mundur perlahan, menjauhi IKANAS, akibat adanya praktik-praktik yang menjadikan demokrasi sekadar merek dagang politik. Kongres pun hanya menjadi gawai untuk membungkam suara rakyat anggota dan melanggengkan oligarki. 

***

Sejatinya, bentuk presidium yang dilegitimasi menjadi keputusan kongres itu adalah ragam lain dari jubah demokrasi. Bukankah konstitusi IKANAS memang tidak mengenal bentuk presidium? Proses demokrasi adalah proses menjadi dewasa dengan tertatih-tatih. Bukan malah mundur ke era yang kian temaram. “Demokrasi bisa tertindas sementara, karena kesalahannya sendiri. Tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsafan,” begitu Hatta bertutur. Moga saja.

Sampurasun.

Fiscus Wannabe
Pajak 2008
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

4 komentar

  1. Ikanas STAN??? i relize something,,, this is about... election...

    BalasHapus
  2. Sebelumnya pernah baca juga status tentang ini di timeline FB saya. Sangat disayangkan juga kejadiannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya memang banyak yang kecewa dengan hasilnya. :|

      Hapus