zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Ketika UNBK Dipaksa Masuk Kampung


Akses internet adalah barang mewah di kampung saya. Untuk memperbarui blog saja saya harus naik ke kandang ayam. Alternatif lainnya adalah datang ke warung internet. Tapi warung internet yang paling dekat saja, milik guru SMP saya, waktu tempuhnya dua puluh menit dengan sepeda motor. Padahal, saya tinggal di pulau Jawa, pulau yang katanya paling maju di Indonesia.

Satu pagi di hari Minggu, awal tahun ini, saya bersilaturahmi ke rumah guru saya itu. Tapi kali ini bukan untuk menumpang internetan. Kebetulan ia baru pulang dari sekolah. Katanya, di sekolah sedang ada pemasangan perangkat dan jaringan komputer untuk persiapan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Sekolah setidaknya membutuhkan perangkat komputer sebanyak sepertiga dari jumlah siswa yang mengikuti UNBK. Itu belum termasuk sebuah server yang sesuai dengan spesifikasi pelaksanaan UNBK. 

UNBK adalah sistem pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dengan menggunakan komputer sebagai media ujiannya. Pelaksanaan UNBK berbeda dengan sistem Ujian Nasional Berbasis Kertas dan Pensil (UNKP) yang selama ini sudah berjalan. Sebetulnya, tahun ini UN tetap dilaksanakan dalam dua model: UNBK dan UNKP. Sekolah dengan daya dukung perangkat komputer yang memadai dijadikan sebagai percontohan pelaksanaan UNBK. Paling tidak di setiap kabupaten/kota ada satu sekolah yang ditunjuk.

Anehnya, sekolah saya yang ada di kampung dengan jumlah perangkat komputer yang belum memadai pun terkesan dipaksakan untuk menyelenggarakan UNBK. Padahal, perangkat yang ada saat ini masih kurang dari separuh jumlah yang dibutuhkan. Dana BOS pun belum bisa menjadi solusi, karena ada ketentuan yang membatasi penggunaannya untuk pengadaan perangkat komputer.

Itu problem pertama. Problem ke dua adalah daya listrik PLN yang tersambung ke sekolah. Daya listrik yang ada belum mampu menyalakan sejumlah komputer yang baru terpasang. Belum lagi masih ada problem ke tiga: akses internet. Dalam persyaratan UNBK, disebutkan bahwa bandwidth minimal yang diperlukan adalah 1 Mbps.

Memang, sih, bila ternyata tidak mampu melaksanakan UNBK secara mandiri, sekolah tetap bisa melaksanakan UNBK dengan menginduk ke sekolah lain. Tapi juga harus dipertimbangkan kemudahan akses transportasi, kemampuan adaptasi masing-masing peserta didik, ketersediaan komputer di sekolah induk karena mungkin berbarengan dengan sekolah lain yang juga turut menginduk, dan berbagai persoalan teknis lainnya.

Di kampung saya itu, jumlah SLTP dan apalagi SLTA masih jarang, maka jarak tempuhnya pun masih jauh. Satu-satunya sarana transportasi umum yang tersedia pun hanya ojeg. Itu pun kalau ojeg boleh dikategorikan sebagai transportasi umum. Jumlah peserta didik SMP di kampung saya meningkat sejak SPP digratiskan.

Karena itu, sebagian besar peserta didiknya tergolong kurang mampu. Bagi mereka, yang setiap hari berangkat dan pulang sekolah dengan jalan kali berkilometer jauhnya, ongkos ojeg saja masih terasa mahal. Meski karena kebiasaan jalan kaki itu saya tidak heran ketika peserta demonstrasi akhir tahun lalu dari Ciamis berjalan kaki hingga Jakarta.

Problem lainnya adalah kemampuan peserta didik dalam dalam mengoperasikan komputer. Dalam waktu singkat, peserta didik harus dibiasakan untuk mengerjakan ujian menggunakan komputer. Di Jakarta saja, belum semua sekolah menyelenggarakan UNBK. Padahal, banyak sekolah yang sebetulnya sudah mampu dan memadai untuk melaksanakannya. Beberapa di antaranya tetap memilih melaksanakan UNKP demi kenyamanan peserta didik dalam mengerjakan soal-soal UN.

Menurut data yang saya peroleh dari Pusat Penilaian Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk Jawa Barat, baru Kota Depok yang seluruh SMP/MTs-nya melaksanakan UNBK. Angka pelaksanaan UNBK secara mandiri di Kota Depok mencapai 87,13%. Sisanya menginduk ke sekolah lain. Kabupaten Ciamis ada di peringkat ke dua, yaitu 59,09%. Menyusul di tempat ke tiga adalah Kota Bandung dengan 39,37%. 

Tapi jangan lupa, Depok adalah kota satelit dari DKI Jakarta. Pembangunannya pun tentu sudah melesat mengekor ibukota. Sama halnya dengan Kota Bandung, ibukota Provinsi Jawa Barat. Sila bandingkan dengan Ciamis, pembangunannya pun masih cenderung tertinggal daripada kota/kabupaten di sekitarnya. Hebatnya, Ciamis sudah berani memaksa sekolah-sekolah di wilayahnya untuk melaksanakan UNBK.

Saya tidak bersikap resisten terhadap perubahan model pelaksanaan UN. Saya juga paham ada banyak keunggulan yang didapat jika sekolah memilih menggunakan model UNBK. Tapi memaksa UNBK masuk ke sekolah-sekolah kampung yang sarana dan prasarananya belum memadai rasa-rasanya juga tidak bijaksana. Apalagi jika dibumbui dengan ancaman akan menutup sekolah jika tidak mampu melaksanakan UNBK tahun ini juga.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar