zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Berpikir


Kemarin lusa, di radio, saya dengar ada siswa Taruna Nusantara dibunuh. Penyiarnya, Kemal dan TJ, cuma bilang pembunuhnya sudah ditangani kepolisian. Saya pun tidak mencari tahu informasi tambahan terkait kasus ini. Di kantor, beberapa kawan membahasnya. Kebetulan, semasa SMA, saya pun tinggal di barak asrama. Mereka pun bertanya sekilas tentang kehidupan di barak asrama. Dari mereka pula saya tahu pembunuhnya adalah teman korban.

Sampai di rumah, saya cerita kasus ini ke isteri. Isteri saya, lalu, bertanya tentang bagaimana korban dibunuh dan apa motif pembunuhannya. Saya cuma bisa menggeleng kepala, karena memang saya tidak tahu. Jelas isteri saya kesal melihat tanggapan saya. Saya dibilang cerita setengah-setengah, tidak jelas, dan membikin penasaran.

Sebetulnya, saya cuma sedang diet informasi. Di era digital ini, informasi amat sulit untuk dibendung. Era digital menjadi kekuatan utama yang menambah percepatan perkembangan peradaban umat manusia dalam dua dekade terakhir, termasuk dalam hal penyebaran informasi. Dengan sifatnya yang konvergen, interaktif, hypertextual, dan virtual, era digital membawa interaksi antarmanusia ke level yang lebih kompleks.

Di era digital, ada yang namanya grup WhatsApp. Grup-grup WhatsApp biasanya sangat informatif. Dari grup WhatsApp, saya tahu kalau ternyata bumi itu datar. Jadi, selama ini kita dibohongi guru IPA. Dari grup WhatsApp pula, saya tahu kalau sikat gigi merek anu ada bulu babinya. Jadi, hati-hati dalam memilih sikat gigi. Meski begitu, kalau ditanya siapa perawinya, jawabannya selalu sama, "dapet dari grup sebelah,".

Saya setuju kalau kita harus melek informasi, tapi bukan berarti semua berita harus kita konsumsi. Di era ketika informasi membanjir deras, kita perlu diet. Apalagi, saya orangnya gampang terdistraksi. Kalau tidak diet informasi, bisa-bisa otak saya kehabisan energi untuk memikirkan hal-hal yang lebih penting.

Itu pula yang menjadi motivasi mendiang Steve Jobs, juga Mark Zuckerberg, untuk mengenakan pakaian yang begitu-begitu saja. Steve nyaris selalu tampil dengan kaus hitam berkerah tinggi (turtleneck) lengan panjang dipadu celana jeans biru, dan sepatu kets. Sementara Mark tetap tidak mau berpaling dari kaos abu-abunya.

Mereka berdua, Steve dan Mark, meski sejatinya mampu membeli pakaian beraneka model, corak, dan warna, malah memilih mengenakan pakaian yang begitu-begitu saja. Mereka melakukannya untuk menghemat energi otak agar tidak habis karena sibuk memikirkan hal-hal kecil, seperti memilih pakaian. Mereka menyimpan energi tersebut untuk membuat keputusan-keputusan besar.

Pilihan yang diambil Steve dan Mark itu termasuk sebagai diet informasi. Mereka memilih untuk membeli pakaian dengan model, corak, dan warna yang sama agar tidak perlu melihat, menyerap informasi, bahwa ada banyak model pakaian di lemarinya. Alih-alih membuat keputusan besar, energi otak mereka keburu habis untuk memikirkan pakaian mana untuk acara ini dan pakaian mana untuk acara itu.

Memang saya belum perlu membuat keputusan-keputusan sebesar yang dilakukan Steve dan Mark. Namun, minimal saya tidak mesti dipusingkan dengan berita-berita buruk yang masuk ke dalam otak saya. Apalagi jurnalisme kita masih menganut paham jurnalisme negatif, yaitu ketika berita buruk justru dianggap sebagai berita baik. Makanya, saya tidak sepakat dengan Cak Lontong, karena kita tidak harus mikir tentang semua hal.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar