zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Menjadi Pancasila


Mudah saja buat saya bilang “Saya Indonesia. Saya Pancasila!”. Anak saya yang biacaranya masih terbata-bata pun bisa. Namun, apakah semudah itu supaya saya bisa dibilang ber-Pancasila?

...

Pada sidang 29 Mei 1945, Ketua BPUPKI dr. Radjiman Wedyodiningrat bertanya, “Apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?” Tiga hari berikutnya, di hari yang kita kenang sebagai Hari Lahir Pancasila, seorang anggota BPUPKI, Sukarno, menyampaikan sebuah pidato tanpa judul. Dalam pidato itu, untuk kali pertama, Sukarno menawarkan gagasan Pancasila sebagai dasar negara.

Sukarno berupaya menyatukan perdebatan yang menyeruak di antara anggota BPUPKI. Sukarno menawarkan lima sila: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi; Kesejahteraan Sosial; dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebetulnya, Ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat, M. Yamin, dan Soepomo pun ikut memaparkan gagasan mereka. Namun, pidato Sukarno-lah yang dianggap paling pas untuk dirumuskan sebagai dasar negara.

Tahun ini, Presiden Jokowi menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila sekaligus hari libur nasional. “Tidak ada pilihan lain kecuali kita harus kembali ke jati diri kita sebagai bangsa yang santun yang berjiwa gotong royong dan toleran. Tidak ada pilihan lain kecuali kita harus menjadikan lndonesia bangsa yang adil, bangsa yang makmur, dan bermartabat di mata internasional,” tegasnya saat Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila, di halaman Gedung Pancasila, Pejambon.

Sejatinya, Presiden Jokowi bukan yang pertama menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Presiden Sukarno pernah melakukannya. Namun, pada 1971, sejarawan militer Nugroho Notosusanto mengusulkan penghapusan Hari Kelahiran Pancasila dan menggantinya dengan Hari Kesaktian Pancasila pada  1 Oktober. Dalihnya, sebelum Sukarno, Pancasila sudah dikonsepsikan oleh beberapa pemikir seperti M. Yamin dan Soepomo.

Selama 72 tahun perjalanannya, berulangkali Pancasila telah ditafsirkan. Bahkan, ada pula rezim yang dianggap menggunakan Pancasila sebagai “alat untuk memberangus lawan-lawan politiknya”. Akibatnya, pada Mei 1980 sejumlah kalangan sipil dan militer, termasuk A.H. Nasution, Hoegeng, Ali Sadikin, dan Mohammad Natsir, menandatangani Petisi 50. Dalam Petisi 50, mereka menyatakan rezim saat itu telah menyalahgunakan Pancasila sebagai “alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya.”

Masa lalu yang kelam itu baiknya menjadi pelajaran berharga bagi kita agar tidak lagi ada yang mendaku paling pantas menafsirkan Pancasila, padahal kelakuannnya justru jauh dari nilai-nilai Pancasila. Saya, secara pribadi, juga merasa belum mengamalkan Pancasila secara kaffah. Itulah yang membuat saya merenung beberapa waktu sebelum saya bilang “Saya Indonesia. Saya Pancasila!”.

Kaffah, secara bahasa berarti keseluruhan. Penelusuran etimologis tersebut memberikan sedikit gambaran mengenai makna pengamalan Pancasila secara kaffah, tidak setengah-setengah. Mengamalkan Pancasila secara kaffah adalah menghayati secara utuh nilai-nilai Pancasila. Mengamalkan Pancasila secara kaffah tidak sekadar hapal di luar kepala teks Pancasila, tapi juga mengamalkan nilai-nilainya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Saya jadi ingat pesan Presiden Sukarno di Istana Bogor pada 25 Juni 1966, “Saya berpesan lo. Kalau sudah memakai Pancasila, saya harap Pancasila yang betul-betul Pancasila, lo! Sebab, perkataan Pancasila sekarang ini banyak dikecapkan. Tiap-tiap orang sekarang ini menebah dadanya: aku Pancasilais, aku pengikut Pancasila, aku membela Pancasila, aku Pancasilais! Tapi dia sendiri sebetulnya bukan Pancasilais yang sejati."

"Sebab apa? Pancasila sebagai kukatakan berulang-ulang adalah satu pemersatu daripada bangsa Indonesia itu. Atas persatuan itulah maka negara Republik Indonesia harus didasarkan. Tapi belakangan ini Saudara-saudara, banyak orang mempergunakan Pancasila sebagai satu anti-something. Aku ini Pancasila lo! Maksudnya aku ini anti. Aku Pancasila, aku anti itu lho. Padahal Pancasila adalah ideologi pemersatu." demikian Presiden Sukarno pernah berpesan.

...

Kita tidak usah merasa paling Pancasilais jika masih belum bisa menjadi bangsa yang santun, berjiwa gotong royong, dan toleran. Buat apa lantang bersorak “Saya Indonesia. Saya Pancasila!” sembari menebah dada jika pada kenyataannya kita terus menebar kebencian dan memaksa Indonesia yang beragam menjadi seragam?
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar