zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Hemat Listrik Hemat APBN

Hemat Listrik Hemat APBN

Siang tadi, usai mengikuti upacara HUT Kemerdekaan RI ke-72, saya menemani isteri mencari sapi kurban ke Bogor. Setiap tahun, di sekolah isteri saya selalu dilakukan penyembelihan dan pembagian hewan kurban. Tujuannya, biar ketika kelak murid-murid terjun ke masyarakat dan ikut mengurusi penyembelihan dan pembagian hewan kurban, mereka bisa mengambil peran dan tahu yang harus merela lakukan. Sebetulnya, di Jakarta pun banyak yang menjual sapi kurban. Hanya saja, keterbatasan Anggaran Pendapan dan Belanja Sekolah (APBS) memaksa kami untuk mengaplikasikan ilmu ekonomi.

Ilmu ekonomi hadir untuk memberi solusi pada masalah kelangkaan (scarcity), sebagai akibat dari kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Kelangkaan tersebut kemudian dihadapkan dengan alat pemenuhan kebutuhan yang terbatas. Kita ditantang untuk membuat keputusan yang tepat agar dapat mengoptimalkan keterbatasan sumber daya tersebut. Kami, karena itu, jauh-jauh datang ke Bogor untuk mendapatkan sapi kualitas premium, langsung dari tangan peternak yang datang langsung dari Bima dan Kupang, meski sumber daya yang ada terbatas.

Di pemerintahan pun demikian, dalam postur APBN, angka belanja negara dari tahun ke tahun menunjukkan trend yang terus meningkat. Realitas tersebut senada dengan Law of Ever Increasing State Activity atau yang jamak diketahui sebagai Hukum Wagner. Hukum Wagner adalah sebuah teori yang dikemukakan Adolf Heinrich Gotthelf Wagner. Menurutnya, dalam suatu perekonomian, bila pendapatan per kapita meningkat, maka secara relatif pengeluaran pemerintah juga akan meningkat. Salah satu sebabnya adalah ketidakefisienan birokrasi.

Untuk meminimalisasi, bahkan mengeleminasi, ketidak efisienan birokrasi tersebut, salah satu langkah yang sudah dilakukan pemerintah, khususnya di Kementerian Keuangan, adalah dengan mencanangkan Gerakan Efisiensi. Pada 17 April lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menandatangani Instruksi Menteri Keuangan Nomor 346/IMK.01/2017 tentang Gerakan Efisiensi sebagai Bagian Implementasi Penguatan Budaya Kementerian Keuangan. Gerakan Efisiensi mencakup upaya-upaya efisiensi pelaksanaan tugas dan efisiensi anggaran birokrasi.

Salah upaya yang dilakukan dalam rangka efisiensi anggaran birokrasi adalah penggunaan air, listrik, alat tulis kantor (ATK), dan internet yang efisien. Sekilas memang tampak sepele. Namun, selain mengedepankan etika dalam penggunaan APBN, sejatinya, belanja yang relatif kecil, apabila dikumpulkan secara nasional, akan memiliki dampak yang signifikan.

Secara nasional, efisiensi atau penghematan penggunaan listrik sudah menjadi fokus Kementerian ESDM sedari tahun 2012. Padah tahun 2015, Kementerian ESDM bahkan mencanangkan Gerakan Konservasi Energi “Potong 10 Persen”. Gerakan ini bertujuan untuk mendorong kesadaran mengenai efisiensi dan tanggung jawab dalam hal pemanfaatan energi. Pertumbuhan konsumsi energi yang terus meningkat disertai dengan penurunan jumlah cadangan energi fosil, menuntut kesadaran segenap pihak pengguna energi untuk melakukan penghematan.

Penghematan yang dilakukan sebanyak 10 persen hingga tiga tahun kedepan sama dengan menghemat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru. “Konservasi energi harus kita tempatkan sebagai sumber energi kelima setelah minyak, gas, batubara, dan energi terbarukan. Menghemat 10 persen lebih mudah dilakukan daripada membangun sumber energi baru sebesar 10 persen atau setara 3,5 Gigawatt (GW) yang membutuhkan dana sekitar Rp43 triliun,” tutur Menteri ESDM kala itu, Sudirman Said, sebagaimana lansiran di laman Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM.

Dalam catatan World Wide Fund (WWF), konsumsi listrik di Indonesia beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan kisaran 10-15% per tahun. Konsumsi listrik, khususnya listrik rumah tangga, akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi daya beli dan konsumsi masyarakat, tingkat penggunaan listrik juga akan semakin tinggi. Bisa jadi, inilah yang menjadi pemantik Gerakan Konservasi Energi “Potong 10 Persen”, yaitu untuk menekan peningkatan angka konsumsi listrik nasional.

Sejak tahun 2005, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Distribusi Jakarta dan Tangerang pun telah meminta masyarakat untuk menghemat listrik. Sebabnya, telah terjadi pengurangan pasokan listrik hingga 267 megawatt (MW). Dalam skala nasional, belum semua rumah tangga di Indonesia memiliki akses listrik. Alasan pemerintah belum bisa memenuhi kebutuhan listrik nasional terutama karena keterbatasan dana untuk membangun infrastruktur ketenagalistrikan. Salah satu penyebabnya adalah besarnya beban keuangan PLN untuk membeli bahan bakar minyak sebagai sumber energi pembangkit.

Kompas.com pernah memberitakan bahwa pemerintah terus berusaha meningkatkan ketersediaan akses listrik bagi tujuh juta rumah tangga yang belum pernah menikmati manfaat listrik, salah satunya dengan menjalankan kebijakan subsidi listrik tepat sasaran sejak awal 2017. Dengan kebijakan tersebut, pemerintah berharap dapat menghemat anggaran yang dapat digunakan untuk mendukung usaha peningkatan ketersediaan akses listrik.

Langkah nyata yang sudah dilakukan Kementerian ESDM adalah dengan menerapkan kebijakan subsidi listrik tepat sasaran yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh PT PLN (Persero). Dalam Permen ESDM tersebut, tarif pelanggan untuk rumah tangga daya 900 VA terbagi menjadi dua jenis, yaitu tarif pelanggan rumah tangga tidak mampu (bersubsidi) dan tarif pelanggan rumah tangga mampu (nonsubsidi).

Akan tetapi, persoalan ini masih terlampau berat bila hanya diatasi oleh pemerintah bersama PLN. Permasalahan listrik tersebut harus ditangani dari kedua sisi: penawaran dan permintaan. Di sinilah diperlukan peran serta msayarakat. Ketika pemerintah bersama PLN sudah berusaha mengatasi permasalahan listrik dari sisi penawaran, sebagai masyarakat pengguna listrik kita juga dapat berperan serta mengatasi permasalahan listrik dari sisi permintaan. Peran serta tersebut di antaranya dengan melakukan penghematan pemakaian listrik.

Saat ini isu penghematan pemakaian listrik lebih terfokus ke permasalahan lingkungan. Fakta bahwa kebanyakan pembangkit listrik di Indonesia memakai bahan bakar fosil menunjukkan bahwa sektor ketenagalistrikan berpotensi menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi karbondioksida di Indonesia, bahkan di kawasan Asia Pasifik. Namun, ternyata selain ikut menjaga kelestarian lingkungan, penghematan listrik juga memiliki dampak terhadap penghematan subsidi listrik yang telah dianggarkan dalam APBN setiap tahunnya.

Menurut data dari gerakan Earth Hour, jika 10% penduduk Jakarta, yang diekuivalenkan dengan 700 ribu orang mematikan dua lampu di setiap rumah, Jakarta dapat menghemat konsumsi listriknya sebesar 300MWh, yakni setara dengan menghemat biaya listrik hingga Rp216.600.000,00 (asumsi 300 MWh = 1.080.000 MJ × Rp200,00/MJ). Ini baru di Jakarta, bayankan jika di seluruh Indonesia. Dengan penghematan tersebut, anggaran subsidi listrik bisa dialihkan untuk menyalakan desa-desa yang selama ini masih belum terjangkau oleh aliran listrik.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar