zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Biar Pelaju Kian Ramah Lingkungan


#15HariCeritaEnergi

Bandung belum kehilangan pesonanya sebagai kota berjuluk Paris Van Java. Itulah alasan kuat yang membuat di setiap akhir pekan banyak orang Jakarta yang mengungsi ke Bandung. Saya termasuk di antaranya. Pagi tadi kami berangkat dari Dago menuju Lapangan Gasibu. Ternyata, kami mesti berputar arah karena rute yang ditunjukkan Waze sedang ditutup dalam rangka Car Free Day.

Car Free Day adalah satu inisiatif untuk mengurangi tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di seluruh dunia yang disebabkan kendaraan bermotor. Di Bandung dan kota-kota besar di Indonesia, terlebih Jakarta, kendaraan bermotor adalah sumber emisi terbesar. Emisi yang dihasilkan menjadi semakin masiv dan berlipat ketika Jakarta masih belum bisa lepas dari kemacetan.

Sudah pasti bahwa kemacetan sangat tidak ramah pada lingkungan. Mesin kendaraan yang terjebak di tengah kemacetan akan mengeluarkan polutan lebih banyak dibanding saat jalanan lancar. Selain tidak ramah lingkungan, kemacetan juga terhitung merugikan secara finansial. Menurut Masyarakat Transportasi Indonesia, ongkos kemacetan di Jakarta mencapai kisaran Rp150 triliun per tahun. Ongkos kemacetan tersebut belum memperhitungkan biaya kerugian kesempatan usaha karena waktu habis di jalan, termasuk potongan gaji bulanan akibat telat masuk kantor, seperti yang kerap saya alami.

Setahun kemarin, Kepala Kantor Bank Indonesia Perwakilan DKI Jakarta, Doni Primanto Joewono, pernah bilang bahwa gaji orang Jakarta itu habis untuk biaya transportasi. Menurutnya, hal itu turun berperan dalam “memiskinkan” orang Jakarta. Argumennya itu mengamini statistik yang dilansir Badan Pusat Statistik. Dalam statistik tersebut, penduduk miskin Jakarta pada Maret 2016 adalah 384,30 ribu orang (3,75 %). Angka tersebut meningkat 15,63 ribu orang (0,14 %) dibanding September 2015, yakni 368,67 ribu orang (3,61 %).

Saya termasuk yang sepakat dengan pendapat tersebut. Saya pun minimal harus menyisihkan 20% gaji untuk ongkos transportasi. Ongkos yang sangat mahal jika disejajarkan dengan kota-kota lain di Indonesia, bahkan di dunia. Sayangnya, ongkos semahal itu belum mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi kami, pelaju di ibu kota. Itu pun, sebagian ongkos pergi dan pulang kerja saya sudah disubsidi pemerintah. Setiap berangkat dan pulang kerja saya menggunakan moda Kereta Rel Listrik (KRL) atau Commuterline.

Perjalanan Commuterline mendapat kucuran subsidi pemerintah melalui dana Public Service Obligation (PSO) kereta api. Dana tersebut digunakan untuk menyubsidi penumpang Commuterline melalui kebijakan tarif. Per 1 Oktober 2016 tarif Commuterline Jabodetabek berubah. Tarif per 25 km pertama adalah Rp5.000,00. Tarif itu disubsidi pemerintah sebesar Rp3.000,00. Tiap 10 km berikutnya pelaju juga hanya dikenakan sepatuh tarif atau Rp1.000,00 saja setelah dikenakan subsidi.

Lima tahun lalu, ketika baru masuk kerja, saya heran banyak rekan kerja saya yang yang mau-maunya berangkat kerja naik Commuterline, bergencat-gencatan seperti ikan asin. Barulah dua tahun kemudian, setelah menikah dan berkeluarga, saya pun mengalami dan merasakan sendiri setiap pagi dan sore hari harus bergencat-gencatan di dalam gerbong Commuterline. Semenjak itu pula saya paham alasan mereka memilih Commuterline untuk berangkat dan pulang kerja.

Dengan menggunakan Commuterline, perjalanan saya menjadi lebih efisien dan efektif. Efisien karena ongkos yang sangat keluarkan menjadi lebih murah, apalagi ada subsidi dari pemerintah. Efektif karena saya bisa lebih cepat tiba di rumah. Selain itu, sebagai moda transportasi yang motor penggeraknya menggunakan energi listrik, Commuterline lebih ramah lingkungan. Moda transportasi bermotor listrik jamak dipercaya sebagai alternatif solusi untuk menekan emisi gas rumah kaca.

Sebetulnya, selain KRL, mobil listrik juga bisa menjadi moda transportasi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Mobil listrik sempat populer pada akhir abad ke-19. Seiring dengan teknologi mesin pembakaran dalam yang semakin maju dan harga kendaraan berbahan bakar minyak yang semakin murah, popularitas mobil listrik pun mati suri. Popularitasnya kembali menanjak pada awal periode 1980-an, masa berakhirnya oil boom yang menyebabkan lonjakan harga minyak dunia.

Di Indonesia, sewaktu menjabat Menteri BUMN, Dahlan Iskan sempat menaruh banyak perhatian pada pengembangan mobil listrik. Dahlan Iskan pernah menguji coba langsung mobil listri bernama Ahmadi 5.0.  Ahmadi 5.0 dikembangkan Dasep Ahmadi, seorang insinyur asal Depok. Untuk tahap awal, Ahmadi 5.0 ditargetkan untuk menjadi mobil nasional dengan produksi lima ribu hingga sepuluh ribu unit. Belum sempat terealisasi, Jaksa Agung menjerat Ahmadi 5.0 ke dalam dugaan kasus korupsi yang juga melibatkan Dahlan Iskan.

Mobil listrik sempat populer pada akhir abad ke-19. Seiring dengan teknologi mesin pembakaran dalam yang semakin maju dan harga kendaraan berbahan bakar minyak yang semakin murah, popularitas mobil listrik pun mati suri. Popularitasnya kembali menanjak pada awal periode 1980-an, masa berakhirnya oil boom yang menyebabkan lonjakan harga minyak dunia.

Namun, bagi pelaju di Jakarta seperti saya, mobil listrik belum bisa menjadi solusi yang dapat mengurai kemacetan. Selain itu, di Indonesia, karena penyediaan infrastruktur stasiun pengisian baterai masih terkendala, baterai mobil listrik masih diisi ulang di rumah, dengan listrik yang bersumber dari PLN.

Sayangnya, keramahan Commuterline terhadap lingkungan pun masik laik dipertanyakan. Pasalnya, di penghujung tahun 2014 lalu, Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, memprediksi bahwa hingga sepuluh tahun ke depan batubara akan tetap menjadi pemasok utama bahan bakar pembangkit listrik di Asia Tenggara.

Sekarang ini, kisaran 40% dari listrik yang dihasilkan di seluruh dunia masih berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Di Indonesia sendiri, penggunaan batubara menyumbang sekitar 50% dari bauran energi nasional untuk subsektor kelistrikan. Pada 2020 angkanya diperkirakan akan meningkat hingga 63%.

Bagi sebagian besar pelaju di Jakarta, Commuterline adalah moda transportasi yang efektif dan efisien. Sayangnya, penggunaan Commuterline yang bertujuan untuk untuk mengurangi konsumsi energi fosil masih patut dipertanyakan. Tujuan tersebut tidak akan tercapai jika kita masih mengandalkan energi fosil sebagai pembangkit listrik kita. Moga kelak para pelaju di Jakarta yang menggunakan Commuterline tidak hanya membantu upaya untuk mengurangi kemacetan dengan menggunakan moda transportasi massal, tetapi juga lebih ramah lingkungan karena listrik yang digunakan berasar dari sumber energi terbarukan.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar