zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Energy Shifting


Akhir-akhir ini jagat daring dan luring ramai dengan desas-desus utang Indonesia. Seolah, saat membuka mata esok hari, negara kita akan pailit terlilit utang. Sedari kecil, kita dicekoki dengan ujaran bahwa setiap bayi yang lahir di Indonesia langsung dibebani utang sekian juta rupiah. Namun, jangan lupa bahwa setiap bayi yang lahir di Indonesia juga langsung dianugerahi aset, termasuk sumber energi, yang jumlahnya lebih besar dari angka utang yang mereka gembor-gemborkan.

Indonesia adalah negeri yang kaya raya. Indonesia adalah negeri yang gemah ripah loh jinawi. Indonesia kaya akan sumber energi. Segala rupa sumber energi Indonesia punya. Dari minyak bumi hingga sumber energi alternatif panas bumi, nuklir, tenaga matahari yang bersinar sepanjang tahun, angin, dan bio energi. Bahkan kita termasuk salah satu negara pemasok minyak bumi dunia. Sayangnya, dengan segala kekayaan yang kita punya, kita belum bisa disebut negara maju.

Kita ambil satu contoh daerah penghasil minyak bumi dan batubara di Indonesia. Bagaimana Kalimantan Timur sebagai salah satu provinsi yang kaya akan sumber barang tambang dan pasokan minyak bumi malah tergolong sebagai provinsi yang masih tertinggal. Ironis memang, kaya akan sumber alam tapi rakyatnya banyak yang berada di bawah garis imajiner kemiskinan. Di Kalimantan Timur, provinsi yang dikenal sebagai penghasil minyak bumi dan batubara, masih ada daerah yang belum juga mendapat pasokan listrik PLN.

Minyak bumi dan batubara bukan sumber energi terbarukan. Karena itu sumber energi ini akan terus berkurang dan suatu saat pasti akan habis. Buktinya, Indonesia yang kaya minyak bumi itu kini justru menjadi negara pengimpor minyak bumi. Sudah lama neraca perdagangan kita negatif. Impor kita lebih banyak daripada ekspornya, dan penyumbang terbesarnya adalah ekspor minyak.

Alasan kita menjadi importir minyak bumi berbeda dengan alasan Amerika Serikat dan Tiongkok. Amerika Serikat dan Tiongkok memilih untuk menjadi importir untuk dapat menyimpan cadangan minyak buminya agar dapat  digunakan di masa yang akan datang. Di saat tidak ada lagi negara yang mampu mengekspor, baru mereka menggunakan cadangan minyak buminya. Sementara kita terpaksa mengimpor karena produksi kita sudah tidak mampu menutupi kebutuhan dalam negeri.

Mau tidak mau pemerintah pun harus ikut menaikan harga BBM, karena kita sudah membeli BBM dari luar negeri yang harganya terus naik. Itulah kenapa pada akhirnya angka subsidi BBM merosot tajam. Uang yang selama ini digunakan untuk membayar subsidi BBM bisa digunakan untuk belanja modal, suntikan pinjaman lunak bagi UKM, menyediakan lapangan pekerjaan, atau untuk membangun infrastruktur energi alternatif selain BBM dalam rangka menyongsong energy shifting.

Sebenarnya, industri tidak perlu khawatir dengan dampak dari kenaikan BBM. Kenaikan BBM justru dapat mempercepat energy shiftingEnergy shifting dari BBM ke gas sudah dicanangkan sejak tahun 2005. Dalam energy shifting  ini, gas di diharapkan dapat menekan porsi BBM. Sebenarnya tidak hanya gas yang diharapkan dapat menekan porsi BBM, melainkan juga energi terbarukan.

Gas menjadi subjek utama dalam energy shifting karena memiliki beberapa kelebihan dibanding sumber energi lainnya, termasuk BBM. Cadangan gas kita lebih banyak dari pada minyak bumi. Produksi gas kita berada dalam kisaran 60-80 Million Tonnes of Oil Equivalent (MTOE) dengan tingkat konsumsi yang baru mencapai kisaran 20-40 MTOE. Masih lebih besar dibandingkat batubara yang produksinya hanya mencapai kisaran 150-200 MTOE dengan tingkat konsumsi sekitar 50 MTOE.

Sementara produksi minyak bumi berada dalam kisaran 40- 60 MTOE dengan komsumsi yang berada di atas 60 MTOE. Kita mempunyai peluang besar untuk berinvestasi terutama di bagian hulu. Ketika produksi minyak turun, produksi gas bisa meningkat pesat. Selain itu, kita juga masih mempunya panas bumi yang merupakan 45% dari cadangan panas bumi dunia.

Ini mimpi besar kita semua, bukan hanya Kementerian ESDM, untuk energy shifting dari BBM ke gas dan sumber energi alternatif lainnya. Mekipun persentase konsumsi gas cenderung datar, namun volumenya meningkat karena MTOE terus meningkat, kuenya terus membersar. Itulah kenapa saat gas dan batubara menjadi lebih seksi untuk diekspor daripada dijual di dalam negeri karena di dalam negeri penggunaannya masih belum maksimal.

Namun, untuk jangka panjang ini bisa menjadi bumerang. Selain itu, gas juga lebih ramah lingkungan dengan harga yang lebih murah. Di beberapa negara maju dan berkembang, harga gas adalah sekitar 50% dari harga BBM. Harga gas di Indonesia masih terbilang mahal karena infrastruktur gas kita masih terbatas.

Alternatif distribusi gas bisa melalui pipa atau LNG. Ladang gas masih jauh dari pusat beban. Jika distribusi menggunakan pipa maka diperlukan jalur distribusi yang tidak pendek. LNG juga masih mahal karena infrastrukturnya masih terbatas. Banyak daerah demand-nya tidak terpenuhi karena infrastruktur masih terbatas. Padahal kondisi tersebut sudah ideal untuk menciptakan pasar karena kita sudah meng-create demand. Karena itulah subsidi BBM harus dihapuskan sehingga anggaran yang ada dapat dipergunakan untuk membangun infrastruktur dalam rangka menyukseskan energy shifting.

Dengan menaikan harga BBM kita dapat sedikit mengurangi demand kita terhadap minyak bumi, mengurangi impor minyak bumi, dan mendukung energy shifting untuk portofolio energi yang lebih terdiversifikasi, yang tidak mengalami ketergantungan kepada minyak bumi. Konsumsi minyak bumi sudah terlalu gemuk dan syarat akan impor dengan harga yang semakin mahal. Di tahun 2050 diperkirakan cadangan minyak bumi kita akan habis jadi mau tidak mau suatu saat kita harus benar-benar mampu melakukan energy shifting.

Kalau tidak dimulai sekarang, mau kapan? Menunggu cadangan minyak bumi kita benar-benar habis?
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar