zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Mengepret Lupa


Setiap pagi di hari kerja, ketika membuka mata, yang saya ingat adalah saat itu saya mesti lekas bangun dan berbegas pergi ke kantor. Setiap hari, ketika memasuki jam makan, yang saya ingat adalah saat itu saya harus segera makan. Sering sekali saya lupa untuk apa saya pergi ke kantor. Lebih seringnya saya lupa untuk apa saya makan. Saya pun lupa untuk menjaga kesehatan dan memerhatikan asupan nutrisi dalam setiap suap yang masuk ke dalam mulut. Saya manusia yang sering lupa.

Ternyata, sedari lahir manusia memang pelupa. Itu kata Plato. Plato pernah blang kalau pas lahir ke dunia manusia melupakan segala pengatahuan yang ia punya. Manusia kemudian mempelajari lagi semuanya dari awal. Buat Plato, pendidikan adalah proses mengingat kembali (anamnesis) apa-apa yang—sejatinya—sudah pernah diketahuinya. Jade Small menyebut kelupaan sebagai ciri utama dari manusia modern. Lupa terjadi di semua tindakan manusia, baik secara pribadi, kolektif, kultural, dan politis.

Alkisah, di sebuah republik hiduplah seorang pendekar. Pendekar Rajawali Kepret. Ia tersohor sebagai pendekar yang pemberani dan tak suka pilih-pilih lawan tanding. Ia tak pernah gentar buat ngepret lawan-lawannya. Dari mantan Menteri ESDM Sudirman Said hingga mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pernah jadi sasaran jurus kepretnya. Baru-baru ini, ia kembali mengeluarkan jurus kepretnya. Kali ini sasarannya adalah RUU PNBP yang kini sedang di bahas di parlemen.

“Dulu sebagian besar dari Penerimaan Negara Bukan Pajak berasal dari Migas. Ini mau diubah jadi pungutan2 di bidang pendidikan, kesehatan, public goods dll. Uang pangkal, semesteran, akreditasi, kawin, cerai dan rujuk, kesehatan dll mau kena pungutan PNBP. Kok payah amat sih, kayak ndak punya ide kreatif lain, rakyat mau dipalak ? Kenapa bukan PNBP diintensifkan & ektensifkan dari SDA (batu bara, minerals, nikels, migas) bukan palak-in rakyat di pendidikan, kesehatan dll?” kepretnya.

Iya benar, zaman baheula oil boom pernah menyelamatkan perekonomian negeri. Sektor migas pun, kala itu, jadi primadona penerimaan negara. Malangnya, sejak industri migas Indonesia mulai melorot, sebagian besar penerimaan negara dalam postur APBN mulai ditopang oleh penerimaan perpajakan. Namun, nyatanya, untuk memberikan kualitas pelayanan yang lebih baik dan untuk mendukung program pembangunan, penerimaan perpajakan saja belumlah cukup.

Di awal tahun 90-an pemerintah menemukan fakta banyaknya potensi penerimaan negara yang belum tergali. Saat itu ada banyak pungutan yang dibebankan pada rakyat, selain pungutan perpajakan. Ini keliru dan tidak meberikan rasa keadilan bagi rakyat, karena di konstitusi diatur bahwa pajak dan segala pungutan lainnya mesti diatu dalam undang-undang. Itulah yang kemudian melatarbelakangi ditetapkannya UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP.

UU PNBP ini berhasil menertibkan penerimaan negara yang sebelumnya tidak pernah disetor ke kas negara. Sama seperti penerimaan perpajakan, penerimaan PNBP yang digunakan untuk menjalankan program-program pembangunan yang dianggarkan dalam APBN. Di UU Keuangan Negara pun disebutkan kalau penerimaan negara ada tiga: penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah.

Sebagai manusia modern yang dibilang Jade Small, Pendekar Rajawali Kepret juga punya hak untuk lupa. Ia mungkin sedang lupa kalau PNBP, yang katanya malakin rakyat itu, sudah ada ketika ia bertahta Menteri Keuangan. Ya, walau cuma sekitar dua purnama, sih.

Pada kesempatan yang berbahagia ini saya tidak akan berpanjang lebar menulis tentang apa pentingnya penerimaan negara bagi pembangunan. Saya tidak ingin mengajari Dori berenang. Dori bukan tidak pandai berenang. Ia hanya pelupa. Seorang mantan Menteri Keuangan pun saya yakin bukan tidak pandai. Ia hanya pelupa, mungkin. Karena itu, saya cuma ingin mengajak pembaca yang budiman untuk mengepret lupa, untuk melawan lupa.

Biasanya orang lupa karena tidak tahu. Cikal dari lupa adalah ketidaktahuan. Ini dengan mudah bisa kita tangkal jika kita mau sedikit berpikir jeli. Berpikir sejatinya adalah tindakan yang amat sederhana dan menggembirakan. Descartes pun bilang, berpikir adalah cara manusia untuk menunjukkan keberadaannya, eksistensinya. Namun, seringnya kita lupa tentang hal itu. Bisa jadi karena tertutupi ambisi pribadi. Bisa jadi karena diselimuti ketakutan yang kita buat sendiri.

Mari kita mengepret lupa. Mari kita melawan lupa.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

1 komentar

  1. I wonder how you came up with the idea of such a photo, it fits the best for this article

    BalasHapus