zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Kemah Pramuka


Pramuka bisa dikata ekskul wajib yang ada di tiap-tiap sekolah di Ciamis. Apalagi di SD saya. Pramuka adalah satu-satunya ekskul resmi yang ada di sekolah. Meski begitu, latihan Pramuka baru digelar pas mau ada lomba gerak jalan 17-an atau Lomba Tingkat (LT). LT adalah pertemuan Pramuka Penggalang berbentuk perlombaan, baik beregu ataupun perorangan atas nama regu, yang mempertandingkan sejumlah keterampilan. Lomba tingkat digelar dalam bentuk perkemahan. Lomba tingkat terdiri dari LT-I di tingkat Gugus Depan hingga LT-V di tingkat Kwartir Nasional.

Saya pertama kali ikut kemah waktu masih duduk di kelas IV. Waktu itu, saya dan seorang kawan kelas VI, yang kebetulan keponakan jauh saya, diutus sekolah untuk ikut Geladian Pimpinan Regu (Dianpinru) di tingkat Kwartir Ranting. Mestinya waktu itu yang diutus adalah anak kelas V. Namun, pimpinan regunya ternyata malah menangis dan tidak mau berpisah dari orangtuanya.

Di Dianpinru kami dilatih materi-materi kepemimpinan. Kami waktu itu tidur satu tenda dengan anak-anak dari sekolah lain di desa kami. Kami termasuk satu regu dari segelintir regu yang bertahan di tenda yang kebanjiran, karena mayoritas regu yang ikut Dianpinru mengungsi ke gedung sekolah.

Saya paling senang pas acara api unggun. Apalagi kalau kepilih jadi pasukan pembawa api, yang menyalakan api unggu sambil satu-satu menyebutkan Dasa Dharma Pramuka. Kegiatan api unggun diisi dengan unjuk kebolehan dari masing-masing regu. Ada yang bikin grup vokal dengan suara yang mengenaskan. Ada pulang yang niat banget sampai bikin drama yang lebih dramatis dari drama Korea yang waktu itu belum populer.

Sampai berseragam putih biru saya masih tercatat sebagai anggota Pramuka. Barulah ketika SMA saya memutuskan untuk tidak melanjutkan karir baret cokelat saya. Beda dengan di Ciamis, di Bandung Pramuka bukan ekskul wajib. Namun, asrama tempat saya tinggal mengharuskan kami untuk memilih satu di antara dua ekskul wajib: Pramuka dan Paskibra.

Saya yang sudah jenuh dengan kegiatan kepanduan pun banting stang. Sayangnya, karir saya di Paskibra cuma mentok jadi Paskibra Kecamatan Cisarua. Itu pun karena enggak ada seleksi. Meski begitu, pengalaman itu membawa saya menjadi salah satu anggota Paskibra Universitas Indonesia.

Di Paskibra bukan berarti saya tidak pernah berkemah. Acara pelantikan paskibra kadang-kadang diadakan di luar sekolah, sehingga kami tetap harus berkemah. Di situlah saya merasakan faedah sebagai mantan anak Pramuka. Dibanding kawan lainnya, yang memang belum pernah jadi anak Pramuka, saya termasuk yang cukup terampil untk mendirikan tenda bentuk limas segitiga.

Selain api unggun, ritual yang tidak terlewatkan adalah gebrak malam. Junior dibangunkan malam-malam dan selebihnya tebak sendiri apa yang terjadi. Buat saya itu setali tiga uang dengan tradisi senioritas yang ada di asrama. Di asrama, gebrak malam bisa dikata hal yang biaya. Makanya, yang saya lakukan adalah memindahkan jiwa saya supaya tidak hadir di tempat itu. Hahaha.

Pengalaman kemah terakhir saya sewaktu ikut mendaki Gunung Gede. Itu adalah pendakian paling bersejarah karena mewujudkan penjadikian pertama sekaligus pendakian terakhir saya. Hingga kemudian, tanpa di rencanakan malam ini saya ikut berkemah menemani anak-anak. Pada akhirnya, untuk kali pertama, saya merasakan pengalaman sebagai kakak pembina pramuka. Meski memang cuma sebagai anak bawang.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

1 komentar

  1. every month in the camp for the scouts came the new guys and left the old in the evening before departure, we lit a fire

    BalasHapus