zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Kapitalisme Kekeluargaan


Majalah The Economist pernah merilis crony-capitalism index, yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke tujuh. Indeks ini menggambarkan sejauh mana sebuah negara memberikan kesempatan ekonomi yang lebih terbuka dan merata kepada warga negaranya. Istilah crony-capitalism atau kapitalisme kroni mulai dikenal publik setelah dinyatakan sebagai salah satu biang kerok krisis keuangan Asia pada 1997 silam. Kapitalisme kroni digunakan untuk menyebut ekonomi yang kesuksesan bisnisnya bergantung pada hubungan “kekeluargaan” antara pebisnis dengan pejabat pemerintah. Kapitalisme kroni, itukah rupa perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, sebagaimana Pasal 33 UUD 1945?

Ekonomi dibentuk dari dua kata: oikos dan nomos, yang secara sederhana bisa dijabarkan sebagai aturan rumah tangga. Ketika kita berbicara soal rumah tangga, kita berbicara soal manusia, entah itu rumah tangga keluarga maupun rumah tangga negara. Sebagai sebuah aturan rumah tangga, seharusnya ilmu ekonomi adalah ilmu tentang manusia. Akan tetapi, ilmu ekonomi yang kita pelajari saat ini tidak lagi berbicara soal manusia. Ilmu ekonomi lebih banyak mengkaji soal kapital, sangat bertolak belakang dengan gagasan awalnya.

Bung Hatta, yang merupakan artsitek Pasal 33 UUD 1945, pernah mengkritik hal itu dengan mengutarakan gagasan mengenai ekonomi kerakyatan. Pokok gagasan ekonomi kerakyatan adalah mengembalikan hakikat ilmu ekonomi dengan menjadikan manusia sebagai pusat kajiannya. Pada tahun 1934, Bung Hatta menulis Ekonomi Rakyat dalam Bahaya. Tulisan ini menjadi dasar konsep ekonomi kerakyatan sebagai tandingan untuk menyingkirkan sistem ekonomi kolonial Belanda yang mendapat sokongan dari kaum aristokrat dalam sistem feodalisme di dalam negeri dan pihak-pihak swasta asing tertentu sebagai komprador pihak kolonial Belanda. 

Usaha untuk mengenyahkan sistem kolonial ini adalah landasan utama perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Orang yang memahami sejarah ekonomi Indonesia harus mengetahui bahwa penjajahan Belanda di Indonesia di bidang ekonomi berintikan modal kolonial (koloniaal-kapitaal) yang bermula dari kolonialisme VOC dan cultuurstelsel, pelaksanaan Undang-Undang Agraria 1870 sampai beroperasinya investasi swasta asing lainnya dari benua barat.

Ketika Bung Hatta dan Bung Kecil merancang Pasal 33 UUD 1945, acuannya adalah ekonomi keynesian. Ekonomi keynesian adalah suatu teori ekonomi yang didasarkan pada ide ekonom Inggris abad ke-20, John Maynard Keynes. Ekonomi keynesian disebut juga ekonomi jalan tengah, yang menghargai kinerja swasta tapi negara tetap mengintervensi secara positif dengan jalan mengawasi dan mengatasi kegagalan pasar yang mungkin terjadi. Karena itu pula, sistem ekonomi Indonesia sering disebut sebagai sintesis dari kapitalisme dan sosialisme.

Sebagai sintesis dari kapitalisme dan sosialisme, tentu saja darah kapitalisme mengalir dalam denyut perekonomian Indonesia. Meski memang, kita suka malu-malu mengakuinya. Apalagi setelah orde baru berhasil merebut kekuasaan Bung Karno. Pergantian kekuasaan tersebut turut menggeser sistem ekonomi Indonesia dari agak kiri menjadi sangat kanan, dari yang cenderung sosialis menjadi kapitalis. Bung Karno mengembangkan marhaenisme dari pemikiran marxisme. Marxisme merupakan paham atau teori dasar sosialisme. Bung Karno menjadikan marhaenisme sebagai padanan dari marxisme yang disesuaikan dengan natur dan kultur bangsa Indonesia.

Setelah pergantian kekuasaan dari orde baru ke orde lama, mazhab ekonomi kita menjadi cenderung kapitalis. Sayangnya, kapitalisme orde baru adalah kapitalisme kroni. Yoshihara Kunio dalam buku Kapitalisme Semu Asia Tenggara, buku yang dilarang beredar di zaman orde baru, menyatakan jika pondasi perekonomian Indonesia sebenarnya sangat rapuh karena dibangun semata berdasarkan praktik KKN.  Sejatinya tidak masalah jika orde baru menganut kapitalisme yang layak. Toh Keynes pun pernah bilang, “Bagi saya, saya setuju bahwa kapitalisme apabila diatur dengan bijaksana, mungkin dapat lebih efisien dalam mencapai hasil ekonomi daripada sistem alternatif lainnya, tetapi dalam sistem ini banyak cara yang tidak dapat disetujui."

Obrolan tentang kapitalisme lekat dengan sosok John Adam Smith, filsuf Skotlandia yang jadi pelopor ilmu ekonomi modern. Sayangnya, kebanyakan dari kita, seperti yang pernah diungkapkan Faisal Basri, obrolan tentang Adam Smith cuma seputar libertarian dan invisible hand. Padahal pondasinya moralitas yang kuat. Kapitalisme tidak bebas nilai. Di ruang-ruang kelas, seringnya cuma berdiskusi soal The Wealth of Nations. Padahal, sebelumnya, Adam Smith sudah lebih dulu mengarang The Theory of Moral Sentiments.

Seperti mazhab ekonomi lainnya, kapitalisme Adam Smith pun bertujuan mewujudkan kesejahteraan. Sayangnya, para penganut kapitalisme cenderung melupakan aspek moralitas, yang menjadi pilar utama pemikiran Adam Smith. Dalam The Theory of Moral Sentiments, Adam Smith berbicara soal standar etika yang harus dimiliki pelaku ekonomi sebagai batasan dari perilaku-perilaku menyimpang. 

Secara sederhana, The Theory of Moral Sentiments menjadi dasar pemikiran utama Adam Smith dalam ilmu ekonomi sebagai bagian dari ilmu sosial dan kemanusiaan yang jauh dari nilai-nilai keserakahan, kecurangan, hingga penjajahan dalam bentuk invasi ekonomi kepada pihak lain. Buku ini berkaitan erat dan tidak bisa dipisahkan dengan The Wealth of Nations. Inti dari konsepsi mengenai invisible hands dalam kerangka kapitalisme terletak pada The Theory of Moral Sentiments. Jika kita menjadi penganut kapitalisme yang hanya berpedoman pada The Wealth of Nations, kita bisa terjebak ke dalam kapitalisme kekeluargaan.

Mazhab ekonomi kita adalah ekonomi jalan tengah. Namun, sejak orde baru bekuasa, mazhab ekonomi kita cenderung berat ke kanan dengan pondasi yang sangat rapuh. Praktik inilah yang melahirkan kapitalisme kroni, yang berhasil menempatkan Indonesia di papan atas crony-capitalism index. Gara-gara orde baru pula kita gagal dan keliru memahami sosialisme. Sosialisme seolah terlarang, bahkan haram, untuk disentuh. Pada akhirnya, yang tersisa dari ekonomi jalan tengah kita hanya kapitalisme, kapitalsime kekeluargaan.

Referensi:
“Ekonomi Kerakyatan”, Murbyanto, dkk. (2014)
“Kapitalisme yang Layak”, Sebastian Dullien, Hansjörg Herr, dan Christian Kellermann (2011)
“Sukarno, Marxisme, dan Bahaya Pemfosilan”, Airlangga Pribadi Kusman, dkk. (2016)
“Wawancara Imajiner dengan Bung Karno”, Christianto Wibisono (2012)
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar