zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Melawan Stigma yang Mendiskriminasi


“Info yang cukup mengagetkan dari para dokter di LSM yang menangani masalah narkoba. Para penderita HIV/AIDS yang merasa putus asa, berniat menyebarkan penyakitnya. Modusnya dengan melalui tusuk gigi yang banyak terdapat di restoran, tukang bakso, dan tempat makan lainnya. Mereka memakai tusuk gigi tersebut untuk menusuk gusinya sampai berdarah, lalu diusap hingga tidak terlihat darahnya di tusuk gigi tersebut, setelah itu dikembalikan lagi ke tempat tusuk gigi semula.”

Kutipan di atas saya ambil dari postingan teman di beberapa grup facebook. Sebenarnya isu ini sudah lama beredar di dunia maya khususnya melalui jejaring sosial. Sebagai salah satu penyakit yang telah menyebabkan jutaan jiwa melayang, HIV/AIDS memang dianggap sebagai momok yang sangat menakutkan. Obat yang mampu menyembuhkannya pun tak kunjung ditemukan. Berbagai pihak ikut peduli untuk menangani pandemi atau wabah ini. Seperti PBB yang juga telah membentuk UNAIDS, badan PBB yang khusus mengurusi permasalahan terkait HIV/AIDS. Tetapi kali ini saya bukan mau menulis tentang bagaimana supaya kita tidak terinveksi virus HIV. Kali ini saya hanya ingin mengungkapkan opini tentang bagaimana seharusnya kita bersikap dan berperilaku terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).

Melihat isu yang sempat heboh di jejaring sosial tadi. Memang tidak ada jaminan atas kebenaran isu tersebut. Kalaupun misalnya isu tersebut benar adanya, menurut saya merupakan salah satu bentuk keputusasaan seorang ODHA. Melihat hal tersebut harusnya kita tidak hanya menyalahkan mereka. Harusnya kita bekaca, lihat bagaimana sikap kita terhadap mereka. Karena bukan tidak mungkin mereka sampai nekad seperti itu karena merasa terdiskriminasi oleh stigma atau hukuman sosial dari masyarakat di sekitarnya. Stigma yang muncul di antaranya karena AIDS dianggap sebagai penyakit kutukan. Apalagi saat ini AIDS lebih banyak menginveksi melalui penggunaan narkotika suntik dan seks bebas: homoseksualitas, biseksualitas, dan pelacuran. Walaupun belum tentu juga seorang ODHA terinvensi akibat perilaku tersebut. Tapi stigma dari masyarakat sudah terlanjur menggeneralisasikannya. Tentunya stigma tersebut akan semakin menambah beban psikologis mereka.

Pada umumnya masyarakat memang sudah tidak memandang mereka dengan sebelah mata. Tapi lebih dari itu, masyarakat seakan sudah menutup mata terhadap mereka. Bak jatuh tertimpa tangga. Ketika seseorang menderita suatu penyakit yang sangat mematikan, yang seharusnya mendapatkan dukungan moral, kemudian malah mendapatkan diskriminasi dari masyarakat di sekitarnya. Hal seperti ini yang membuat mereka enggan untuk terbuka. Sikap tertutup hanya akan menyulitkan untuk memberikan penanganan kesehatan bagi mereka dan pencegahan penyebaran penyakitnya.

Diskriminasi dan isolasi dari masyarakat dapat dibuktikan ketika seorang ODHA berani terbuka tentang jati dirinya. Seorang remaja yang divonis HIV-positif biasanya mendapatkan perlakuan khusus yang membuatnya merasa dikucilkan. Termasuk di dalam rumahnya sendiri. Bahkan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan pun mereka mendapatkan diskriminasi. Sebuah penelusuran tim dari salah satu media televisi menemukan fakta yang sangat mengecewakan. Hanya dua dari delapan rumah sakit yang didatangi yang bersedia menerima pasien positif HIV/AIDS. Bagaimana mungkin seorang dokter mengatakan bahwa dia menolak pasien tersebut karena dianggap beresiko terhadap dirinya sendiri. Tidakkah itu melanggar hati nuraninya sebagai seorang dokter?

Seorang ODHA juga sangat kesulitan untuk mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak. Apalagi untuk masuk ke sektor formal termasuk sebagai pegawai negeri. Banyak juga perusaan yang langsung menolak seorang pelamar ketika dia terbuka sebagai ODHA. Bahkan yang sudah berstatus pegawai pun cukup banyak yang di-PHK ketika hasil tes menunjukkan dia positif HIV/AIDS. Bukankah hal ini merampas hak mereka dan bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat (2), “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”? Ketika berbicara tentang HAM, ada yang lebih mengerikan lagi. Beberapa waktu yang lalu sempat akan ada kebijakan untuk mengangkat rahim seorang perempuan positif HIV/AIDS untung memotong mata rantai penularannya.

Ada sebuah mitos yang keliru yang telah melekat dalam benak masyarakat. Tentunya mitos ini sangat berpengaruh terhadap diskriminasi yang dilakukan masyarakat terhadap seorang ODHA. Mitos bahwa HIV/AIDS begitu gampangnya dapat menular melalui kontak fisik. Hal ini terjadi akibat kurangnya sosialisasi tentang HIV/AIDS kepada masyarakat. Akibatnya masyarakat menjadi begitu ketakutan dengan penyakit ini. Kebanyakan orang lebih memilih untuk menjauhi ODHA daripada mendapatkan resiko tertular HIV. Seakan ODHA adalah sosok monster yang bisa menerkam mereka kapan pun.

Memang sebuah pemahaman yang sangat keliru ketika menganggap virus HIV dapat menular melalui kontak fisik. Padahal dengan berjabat tangan, menggunakan peralatan makan yang sama, atau menggunakan handuk secara bergantian tidak akan menularkan virus HIV. Karena faktanya virus tersebut hanya kan menular melaui cairan tubuh. Dalam mengatasi masalah tersebut terdapat cukup banyak lembaga yang secara intensif mengedukasi masyarakat untuk tidak takut bergaul dengan ODHA. Salah satunya adalah Rumah Cemara: organisasi berbasis komunitas bagi ODHA dan pengguna NAPZA (Narkotika dan Zat Adiktif). Rumah Cemara dipelopori oleh para remaja terutama ODHA dan mantan pengguna NAPZA.

 

Sejak 2009 Rumah Cemara mengampanyekan HIV/AIDS, salah satunya melalui sepakbola. Kegiatan yang mereka sebut “Football for Change” ini dipilih karena sepakbola merupakan olahraga yang sangat populer di Indonesia. Selain itu, dalam suatu permainan sepakbola membutuhkan lebih banyak pemain dibandingkan olahraga lainnya. Hal ini lebih efisien dalam mengampanyekan HIV/AIDS karena dapat mengumpulkan lebih banyak orang. Biasanya Rumah Cemara mengundang kelompok masyarakat bahkan instansi pemerintah untuk bermain sepakbola. Saat mengundang lawannya mereka tidak menunjukkan jati dirinya. Baru setelah permainan selesai mereka memberitahu lawannya tentang jati dirinya. Kemudian mereka memberikan pemahaman tentang HIV/AIDS.

Pada bulan Agustus kemarin tim sepakbola Rumah Cemara mengikuti International Homeless World Cup 2011. Dalam kejuaraan yang berlangsung di Paris, Prancis, ini mereka berhasil menduduki peringkat 6 dari 48 tim yang berlaga. Selain itu mereka juga terpilih sebagai The best New Comer, dan The Best Player yang diraih kapten tim Deradjat Ginandjar Koesmayadi atau akrab disapa Ginan. Prestasi yang diraih tim sepakbola Rumah Cemara juga membantah opini masyarakat yang menganggap seorang ODHA memiliki umur pendek dan kalaupun bertahan hidup mereka akan terlihat sangat lemah dan hanya berupa tulang berbalutkan kulit. Mereka membuktikan bahwa orang-orang yang terdiskriminasi pun masih bisa mengharumkan nama bangsanya.

Sang kapten, Ginan, yang juga seorang ODHA ini juga menunjukkan bahwa apabila ada motivasi seorang ODHA juga mempunyai daya tahan yang prima. Hal ini dibuktikannya ketika menempuh perjalanan Bandung – Jakarta dengan berjalan kaki. Perjalanan ini ditempuhnya sebagai nazar ketika ada yang bersedia membiayai tim sepakbola Rumah Cemara untuk berangkat ke Paris. Dua tahun sebelumnya mereka tidak bisa berangkat ke Rio de Janiero, Brazil, karena tidak tersedianya dana. Sebuah tindakan yang patut ditiru yang dilakukan oleh para remaja di Rumah Cemara dalam menyosialisasikan HIV/AIDS.

Semakin kita banyak tahu seputar HIV/AIDS tentu akan membuat kita semakin bijak dalam memandang persoalan yang muncul. Termasuk jika di sekitar kita terdapat ODHA. Akan lebih baik jika kita memberinya motivasi agar tetap optimis dan terus memiliki harapan hidup yang lebih lama lagi daripada mengisolasinya. Karena mengisolasi hanya akan membuat mereka merasa didiskriminasi dan semakin menambah beban mereka. Kepedulian kita akan membuat mereka bersikap terbuka. Akibatnya akan memudahkan dalam memberikan penanganan kesehatan sehingga penyebaran HIV/AIDS dapat dikendalikan. Tidak perlu mendiskriminasi karena sebagai sesama manusia, mereka mempunyai hak yang sama dengan kita.

Buat apa setiap tahun kita memperingati Hari AIDS Sedunia? Buat apa setiap tanggal 1 Desember kita mengenakan pita merah? Jika kita tidak bisa memaknainya dan tetap mendiskriminasi ODHA.


┒(⌣˛⌣)┎ SEKIAN ┒(⌣˛⌣)┎
Ciamis - Jawa Barat
15 November 2011


Referensi:
http://www.kickandy.com/theshow/1/1/135/read/Jangan-Bedakan-Kami.html
http://www.today.co.id/read/2011/04/13/24568/anda_perlu_tahu_10_mitos_dan_fakta_seputar_hivaids
http://www.rumahcemara.org/
http://www.inilahjabar.com/read/detail/1779781/tim-sepak-bola-rumah-cemara-raih-prestasi-di-paris

 


++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++




Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

16 komentar

  1. Jauhi penyakitnya, bukan orangnya.

    BalasHapus
  2. @L]ain: karena ngejauhin orangnya cuma nimbulin masalah baru.

    BalasHapus
  3. setujuuuu sama [L]ain , jauhin orangnya bukan penyakitnya !

    BalasHapus
  4. ngeri ui, baru baca paragraf yang pertama udah bisa ngbayangin dah jadi takut pake tusuk gigi :(

    BalasHapus
  5. bukan di musuhi atau dilawan tapi di support untuk bangun & bangkit

    BalasHapus
  6. hiv aids itu bukan penyakit kulit yg mungkib bisa ditularkan hanya lewat sentuhan saja. tapi itu penyakit dimana moral kita diperlihatkan sebagai sesama manusia.

    BalasHapus
  7. Kami dari Admin GoVlog, perlu meminta data diri Anda yang mengikuti GoVlog AIDS. Data diri ini kami pergunakan untuk pemberitahuan jika Anda terpilih menjadi 10 besar.

    Nama Lengkap:
    Jenis Kelamin:
    No tlp/HP (yang bisa dihubungi):
    Email:
    Yahoo Messenger:
    Alamat lengkap:
    Pekerjaan:
    Link posting Blog GoVlog AIDS:

    Mohon data diri Anda dikirim ke email tommy.adi@vivanews.com

    Terimakasih

    BalasHapus
  8. setuju sama komentar2 sebelom2nya, jangan gejahin orangnya, tapi kita sebagai yang sehat harus menyupport mereka :)

    BalasHapus
  9. @konde: tapi baca dulu sampe selse biar ga salah nangkep maksud tulisan ini. :D

    BalasHapus
  10. @Andy: yap, kata "melawan" dalam judul itu maksudnya bukan melawan ODHA tapi melawan stigma dari masyarakat. :D

    BalasHapus
  11. @Nonni Shetya: tapi belum tentu juga seorang ODHA terinfeksi karena perbuatan kek gitu.

    BalasHapus