Ketika berkunjung ke Yayasan Kerti Praja, Denpasar, saya mendapatkan suatu pengalaman yang begitu mengharukan. Banyak orang dengan HIV/AIDS (ODHIV) didakwa dengan berbagai stigma yang membuat mereka enggan untuk terbuka, tapi berbeda dengan dua orang perempuan yang saya temui kala itu, dengan tanpa paksaan mereka memperkenalkan dirinya, “Saya HIV Positif.” Kejujuran mereka membuat hati saya terenyuh. Dibalik kalimat yang mereka ucapkan seolah ada bisikan yang mengatakan bahwa, “Saya HIV positif, lalu kenapa? Kami sama seperti kalian.”
Sebagai penyakit yang dianggap sangat mematikan dan belum ditemukan obatnya, HIV/AIDS bak monster yang sangat mengerikan. Banyak pihak telah ikut peduli untuk menangani epidemi ini. Seperti PBB yang juga telah membentuk United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS), badan khusus PBB yang menangani permasalahan HIV/AIDS. Ada putih, ada juga hitam. Selain pihak-pihak yang peduli, ada juga beberapa pihak yang cenderung melakukan dikriminasi terhadap ODHIV. Bukan tanpa alasan memang, karena stigma yang berkembang di masyarakat kiranya cukup kuat untuk mengebiri hak asasi manusia (HAM) seorang ODHIV.
Stigma atau hukuman sosial yang didakwakan kepada ODHIV di antaranya karena HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit kutukan. Memang saat ini HIV/AIDS lebih banyak menular melalui pengguna narkotika suntik (injection drug users) dan perilaku seks beresiko. Meskipun belum tentu seorang ODHIV terinveksi akibat perilaku tersebut, stigma dari masyarakat sudah terlanjur menggeneralisasikannya. Tentu saja stigma tersebut turut menambah beban psikologis yang harus dipikul seorang ODHIV. Bak jatuh tertimpa tangga. Ketika seseorang menderita suatu penyakit, yang seharusnya mendapatkan dukungan moral, ini malah mendapatkan diskriminasi yang kemudian mengebiri hak yang melekat pada seseorang karena kelahirannya sebagai manusia.
***
Agar lebih jelas, berikut saya paparkan beberapa pelanggaran HAM terhadap ODHIV yang baik secara langsung maupun tidak langsung dikebiri oleh dakwaan stigma yang berkembang di tengah masyarakat. Tentunya tidak semua bentuk pelanggaran HAM terhadap ODHIV akan saya paparkan di sini. Namun, kiranya apa yang akan saya paparkan cukup untuk menunjukan bahwa betapa banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi terhadap ODHIV.
Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
Mestinya setiap orang mempunyai hak yang sama untuk memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun, bagaimana dengan seorang ODHIV? Mereka bahkan sangat kesulitan untuk mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak. Apalagi untuk masuk ke sektor formal termasuk sebagai pegawai negeri. Banyak perusahaan yang langsung menolak seorang pelamar ketika dia mengungkapkan jati dirinya sebagai ODHIV. Bahkan yang sudah berstatus pegawai pun cukup banyak yang mendapatkan surat pemecatan ketika hasil tes menunjukkan dia positif HIV/AIDS. Tidakkah hal ini merampas hak mereka? Tidakkah ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat (2), “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”?
Hak menentukan, memilih, dan mendapatkan pendidikan
Tahun lalu, seorang anak dari pasangan Fajar dan Leonnie ditolak masuk ke SD Don Bosco lantaran diangggap tertular HIV/AIDS. Padahal jelas bahwa konstitusi kita sudah menjamin bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran, tanpa terkecuali! Apalagi dasar yang dipakai untuk menolak anak tersebut hanyalah sebuah anggapan. Lagipula, HIV/AIDS tidak akan menular melalui pergaulan di sekolah maupun di lingkungan masyarakat dengan melalui kontak fisik seperti berjabat tangan atau menggunakan peralatan makan yang sama.
Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
Ketika berkunjung ke Kita Sayang Remaja (KISARA), organisasi yang terdiri dari relawan-relawan remaja dan yang peduli remaja yang berada di bawah naungan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Bali (PKBI Bali), saya menemukan fakta yang cukup mencengangkan. Ada stigma terhadap ODHIV yang beragama Hindu ketika meninggal. Di mana ketika ada seorang warga yang meninggal maka haruslah satu Banjar, pembagian wilayah administratif di Bali, yang memandikannya. Namun, ketika yang meninggal adalah seorang ODHIV, ritual memandikan mayat ini dilanggar hanya karena anggapan yang keliru bahwa HIV/AIDS akan menular memalui saling bersentuhan kulit. Faktanya HIV hanya akan menular melalui pertukaran cairan tubuh seperti darah, Air Susu Ibu (ASI), air mani, dan cairan vagina. Itu pun probabilitasnya tidak sampai 100%. Lagipula HIV akan mati empat jam setelah tubuh inangnya meninggal. Bukankah ini merupakan salah satu contoh pelanggaran HAM terhadap ODHIV untuk diproses sesuai kepercayaannya ketika meninggal?
Hak atas kesehatan
Di ruang tunggu Yayasan Kerti Praja terlihat beberapa orang ODHIV yang mau berkonsultatsi ke klinik. Menurut seorang relawan di sana, ODHIV lebih nyaman untuk berobat atau berkonsultasi ke klinik khusus seperti yang ada di Yayasan Kerti Praja. Selain tidak mendapatkan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan, di klinik seperti ini privasinya juga lebih terjaga. Apa yang diungkapkan relawan tadi diperkuat hasil penelusuran tim dari salah satu stasiun televisi yang menemukan fakta mengecewakan. Hanya dua dari delapan rumah sakit yang didatangi yang bersedia menerima pasien HIV positif. Bagaimana mungkin seorang dokter mengatakan bahwa dia menolak pasien tersebut karena dianggap beresiko terhadap dirinya. Tidakkah ini melanggar HAM? Tidakkah ini bertentangan dengan hati nuraninya sebagai seorang dokter?
***
HIV/AIDS merupakan sebuah fenomena yang unik. Fenomena ini meliputi aspek medis dan aspek sosial. Dilihat dari aspek medis HIV merupakan virus yang sangat sulit dicegah. Virus ini bisa menyebabkan AIDS, akumulasi penyakit yang timbul karena berkurangnya sistem imun dalam tubuh. Di lain pihak, dilihat dari aspek sosial HIV/AIDS seringkali dianggap sebagai kutukan yang baik secara sengaja maupun tidak sengaja telah “membunuh hidup-hidup” seorang ODHIV dengan mengebiri hak-hak asasinya. Lebih miris lagi, semua itu terjadi hanya karena sebuah anggapan keliru yang muncul dari ketidakpahaman kita terhadap HIV/AIDS. Jadi, maukah kita disebut sebagai seorang “pembunuh”?
____________________
CATATAN: Secara umum penggunaan istilah ODHIV lebih tepat dibandingkan dengan ODHA. Karena tidak semua orang yang positif HIV juga positif AIDS, tapi semua orang yang positif AIDS sudah pasti positif HIV.
wah,,,beruntung bgt bisa ngunjungin dan ktmu lgsg sama ODHIV...
BalasHapusudh byk pelanggaran HAM yg trjadi di Indo,,it jg trmasuk diskrimnasi donk ya...
Sebenarnya pemikiran sempit dan kurangnya pengetahuan tentang penularan HIV/AIDS yang terkadang ngebuat orang2 secara terang2an memarginalkan ODHIV ini..
BalasHapuskasian mereka, bukannya diberi semangat malah dijauhi. cuma bisa menyayangkan pemikiran dan sikap2 yang seperti itu.
btw itu pengalaman yang luar biasa lho bisa mengunjungi tempat-tempat seperti itu. :)