zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Signifikansi Kenaikan Royalti Batubara


Setiap tahun APBN selalu naik. Faktor penyebabnya cukup beragam, mulai dari inflasi sampai dengan pembangunan yang setiap tahun selalu ditingkatkan. Di lain sisi, hal tersebut menuntut sisi penerimaan untuk ikut mengalami kenaikan. Pemerintah dituntut untuk lebih optimal lagi dalam menambah pundi-pundi penerimaan negara. Salah satu sumber penerimaan negara adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sumber PNBP yang mendapat sorotan pemerintah untuk dinaikkan dalam RAPBN 2014 adalah sektor pertambangan non migas, khususnya pertambangan batubara.

Pada dasarnya, PNBP dari pertambangan batubara adalah berupa royalti. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (PP 9/2012). Akan tetapi, saat ini terdapat dua jenis izin pengusahaan pertambangan batubara, yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Sejatinya, selain dikenakan Iuran Tetap (IT), baik IUP maupun PKP2B dikenakan tarif berdasarkan PP9/2012 tersebut. Namun, terdapat perlakuan yang berbeda antara perusahaan pemegang PKP2B dengan perusahaan pemegang IUP. Di antaranya adalah perusahaan pemegang PKP2B harus membayar PNBP dengan tarif yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan pemegang IUP. Perbedaan tersebut terjadi karena dalam PKP2B tidak disebutkan langsung mengenai kewajiban pembayaran royalti, melainkan bagian pemerintah atau Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB). DHPB tersebut terdiri dari royalti dan Penjualan Hasil Tambang (PHT).

Dalam PP 9/2012 tarif royalti batubara terbagi ke dalam tiga lapis tarif yang dikalikan dengan harga jualnya, yaitu 3% untuk batubara berkalori ≤5100, 5% untuk batubara berkalori >5100 - 6100, dan 7% untuk batubara berkalori >6100. Sementara itu, untuk batubara yang ditambang dari bawah tanah (underground) tarifnya lebih kecil 1% untuk setiap lapis tarifnya. Ketika perusahaan pemegang IUP hanya membayar royalti sesuai dengan tarif dalam PP 9/2012, perusahaan pemegang PKP2B harus pula membayar PHT yang besarnya berturut-turut adalah 10,5%, 8,5%, dan 6,5% sesuai dengan lapis tarif royaltinya sehingga untuk setiap lapisnya perusahaan pemegang PKP2B harus membayar PNBP berupa DHPB dengan akumulasi besar tarif yang sama yaitu sebesar 13,5%.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menganggap hal tersebut tidak adil karena perlakuan yang sama terhadap perusahaan tambang batubara sudah diamanatkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, APBI sangat menyambut baik rencana pemerintah untuk menaikan tarif royalti tersebut. Ketidakadilan tersebut misalnya berdampak ketika perusahaan pemegang IUP lebih mudah memenangkan lelang batubara ke perusahaan luar negeri karena mereka dapat menawarkan harga jual yang lebih rendah dibandingkan perusahaan pemegang PKP2B.

Kenaikan tarif royalti batubara tersebut merupakan rekomendasi dari Kementerian Keuangan dalam rangka mengoptimalkan PNBP dalam RAPBN 2014. Kementerian Keuangan hanya bisa mengusulkan kepada Kementerian ESDM karena yang dapat mengusulkan perubahan PP 9/2012 adalah Kementerian ESDM, meski perubahan tersebut kemudian harus dikoordinasikan pula kepada Kementerian Keuangan. Tarif yang diusulkan oleh Kementerian Keuangan adalah sebesar 13,5% agar terdapat keadilan antara perusahaan pemegang IUP dengan perusahaan pemegang PKP2B. Jika usulan ini kemudian terealisasi maka tarif PHT harus menjadi 0% agar keadilan tersebut dapat terwujud.

Sebagaimana dikemukakan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Barubara Kementerian ESDM, Thamrin Sihite, saat ini Kementerian ESDM masih merevisi rekomendasi soal kenaikan royalti yang akan dikirimkan ke Kementerian Keuangan. Rekomendasi tersebut nantinya akan merinci batubara kalori berapa saja yang dikenakan tarif royalti sebesar 10%, 12%, dan 13,5%. Dari kenaikan tarif tersebut, Thamrin Sihite mengatakan bahwa potensi PNBP dari pertambangan batubara bisa meningkat sekitar tiga triliun rupiah.

____________________
Sumber gambar: Living on Earth
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar