zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Mengayuh Takdir


Banyak kebudayaan yang, pada mulanya, secara tradisional hidup nomaden. Seiring dengan perkembangan jaman, kebiasaan nomaden tersebut sudah mulai ditinggalkan. Bangsa nomanden hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain di padang pasir atau daerah bermusim dingin. Sejak jaman prasejarah terdapat tiga macam kehidupan nomaden, yaitu sebagai pemburu-peramu (hunter-gatherers), penggembala (pastoral nomads), dan pengelana (peripatetic nomads).

Pada dasarnya yang memotivasi bangsa nomaden untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya adalah ketika di tempat awal mereka tinggal, mereka menemukan suatu ketidakpuasan. Baik itu motivasi berupa cadangan makanan yang telah berkurang, maupun berupa perubahan cuaca yang sangat ekstrim.

Hidup ini ibarat roda yang berputar, kadang di atas dan kadang di bawah. Juga kadang kembali ke titik asalnya. Karena ternyata, industrialisasi tidak benar-benar bisa menghilangkan tradisi hidup nomaden. Ketikan menemukan suatu ketidakpuasan, sebagian orang masih melakukan tradisi nomaden, meski dengan motivasi dan metode yang mungkin bisa dibilang lebih modern.

Selama ini, saya merasa hidup saya masih nomaden, berpindah dari satu kota ke kota lain. Namun, perpindahan tersebut lebih mirip aliran sungai dan saya terbawa hanyut olehnya. Perpindahan tersebut tidak terjadi karena saya mengayuh perahu di atas sungai ke suatu tempat yang ingin saya tuju.

Waktu kecil, sama sekali tidak sempat terbersit dalam benak saya untuk merantau sampai ke ibukota. Pemberitaan-pemberitaan negatif tentang Jakarta membuat saya beranggapan bahwa Jakarta adalah kota yang sangat mengerikan. Ditambah lagi ketika itu ada anak tetangga saya yang merantau ke Jakarta dan dibunuh sehingga pulang tinggal namanya saja. Nyatanya, saat terbawa hanyut dan saat ini terdampar di kota yang pernah saya anggap sangat mengerikan.

Sebelum ke Jakarta, terlebih dahulu saya mengembara ke Kota Kembang. Kota Kembang adalah kota pertama yang saya singgahi. Jujur saja, sebagai anak manja, saat itu saya merasa masih belum cukup umur untuk berada jauh dari orang tua. Nyatanya, saya masih bisa bertahan hidup. Pengembaraan saya di Kota Kembang telah membuat banyak perubahan signifikan, terutama dalam hal pola pikir.

Pengembaraan pun terus berlanjut ketika saya singgah di sebuah kota di pinggiran Jakarta, Depok. Pengembaraan saya di Depok tidak berlangsung lama. Kala itu, dengan sangat-sangat terpaksa saya hijrah ke Tangerang Selatan, masih di pinggiran Jakarta. Sejak itu, saya punya keinginan untuk hijrah dan tinggal di Jakarta, kota yang pernah saya anggap sangat mengerikan, sangat ironis memang.

Saya bersyukur keinginan saya untuk tinggal di Jakarta bisa terkabul. Namun, setelah dua puluh bulan tinggal di Jakarta, kembali terbersit dalam pikiran saya untuk hijrah ke kota lain. Bahkan mungkin bukan kota. Sayangnya, keinginan itu masih harus saya pendam ketika teringat hutang saya kepada negara ini.

Saya ingin ketika kelak saya harus kembali berhijrah adalah karena saya yang mengayuh perahu untuk menuju ke tempat baru tersebut, bukan lagi karena terbawa hanyut dalam arus sungai lalu terdampar di sana. Semuanya tinggal menunggu jawaban dari-Nya, apakah Dia merestui kehendak saya atau tidak. Semoga jawaban yang akan saya peroleh adalah jawaban yang terbaik untuk saya, dan kamu.

Kalau mau pindah ke tempat baru, kita harus siap meninggalkan yang lama. -Raditya Dika, Manusia Setengah Salmon
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar