zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Vox Populi Vox Dei


Sejenak mata Ucen tertuju pada sebuah dokumen usang yang teronggok di atas meja kerjanya. Saking usangnya, penampakan dokumen tersebut lebih mirip Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular dibandingkan sebagai sebuah kontrak antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing. Wajar saja, nama menteri yang mewakili pemerintah Indonesia untuk menandatangani kontrak tersebut kini sudah menjadi nama salah satu gedung di kantor tempat Ucen bekerja.

Dalam hitungan hari, proyek yang dituangkan dalam kontrak tersebut akan segera berakhir. Cerita di balik kontrak kerjasama tersebut tak kalah usah jika dibandingkan dengan penampakannya. Selama puluhan tahun proyek tersebut berjalan disinyalir pemerintah Indonesia merugi sekian juta Dollar Amerika Serikat.

Ada sebuah dogma yang menyebutkan bahwa kita belum sepenuhnya merdeka. Kita disebut-sebut masih terjajah secara ekonomi. Jika dogma ini disangkutpautkan dengan investor asing yang kerap kali dianggap menggerogoti sumber daya alam kita, jangan-jangan sebenarnya mereka "tidak sengaja" menjajah karena kita yang menawarkan diri untuk dijajah. Menawarkan diri untuk dijajah seperti ketika kita tidak melakukan adjustment agreement terhadap kontrak yang telah ditandatangani. Dalam kurun waktu puluhan tahun tentu saja banyak hal yang diatur dalam kontrak tersebut yang berubah. Maka wajar jika dalam kontrak yang berjangka waktu puluhan tahun dilakukan adjustment agreement. Malah bukan wajar, tapi wajib. Sayangnya nasi telah menjadi bubur.

Contoh lainnya adalah apa yang baru saja terjadi beberapa tahun lalu ketika sebuah blok ladang minyak yang semestinya bisa dipertahankan lagi-lagi jatuh ke tangan perusahaan asing. Kala itu yang diangkat sebagai anggota tim negosiator pemerintah dalam menentukan kontrak blok ladang minyak tersebut dengan perusahaan minyak yang berasal dari sebuah negara adidaya adalah seorang adik dari menteri yang baru saja ditahan KPK.

Anehnya, adik sang mantan menteri tersebut tidak pernah bersentuhan dengan industri migas. Memang dia telah menyandang gelar doktor, tapi di bidang ilmu sosial yang tidak ada hubungannya dengan industri migas. Hingga akhirnya blok ladang minyak yang sangat besar potensi keuntungannya itu kini hak pengelolaannya menjadi milik perusahaan minyak asing dan rakyat Indonesia hanya bisa gigit jari.

Namun, jangan-jangan tidak ada rakyat Indonesia yang gigit jari karena tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi pada tanah dan airnya. Padahal dengan bangganya kita mengaku-aku sebagai negara demokrasi, di mana demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bahkan ada yang bilang vox populi vox Dei (kehendak rakyat adalah kehendak Tuhan). Tapi ada orang Amerika yang bilang, "Vox populi vox Dei is right, but unfortunately for you, God is in the west, and particularly in the USA."

Beberapa puluh tahun silam, presiden pertama kita pernah membatasi eksploitasi sumber daya alam oleh asing. "Kita simpan di tanah sampai para insinyur kita mampu menggarap sendiri." ucapnya. Sayangnya, di kemudian hari justru sebagian kecil dari para insinyur tersebut justru menggarapnya di bawah tangan-tangan "penjajah". Bung Hatta juga pernah bilang, "Saya lebih suka melihat Nusantara tenggelam di laut daripada di jajah Tuan-tuan." Tapi mau bagaimana lagi jika presiden kita justru menuruti kemauan investor asing di bawah tekanan pemerintah negara adikuasa di mana investor tersebut berasal.

Temdiu discendum est, quamdiu vivas. Tong daek dibobodo ku urang Londo.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar