zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Susi Pudjiastuti Tidak Hebat


Malam menjelang, saya pun bergegas pulang. Di stasiun tidak ada lagi pemandangan manusia yang berlomba masuk ke dalam gerbong KRL yang penuh sesak. Ujung jarum pendek jam di tangan saya sudah hampir menunjuk angka sembilan, sembari menyeka penat saya unggah tulisan tentang menteri kita yang sedang naik daun, Susi Pudjiastuti. Esok harinya saya cukup terkesiap ketika mengetahui sudah belasan ribu klik yang masuk gara-gara tulisan itu. Meski sayang sungguh sayang, beberapa pembaca melontarkan komentar bernada minor, yang sebenarnya konteks komentarnya itu tidak sesuai dengan yang saya tulis.

Ada satu ucapan Susi Pudjiastuti yang menggelitik ingatan saya. Sebagaimana dilansir Bisnis.com, Susi Pudjiastuti menjelaskan selama ini target PNBP perikanan yang ditetapkan dalam APBN 2005-2013 tidak pernah melebihi Rp300 miliar. Adapun realisasi PNPB yang berasal dari perikanan tangkap cenderung stagnan sejak 2009, yakni sebesar Rp150 miliar. “Semaksimal mungkin operasional penangkapan diarahkan dengan memberikan keuntungan maksimum untuk negara dengan mempertahankan keberlanjutan sumber daya alam,” tuturnya.

PNPB perikanan tangkap yang sering juga disebut PNBP Sumber Daya Alam (SDA) perikanan memang unik. Berbeda dengan PNBP SDA mineral dan batubara maupun PNBP SDA kehutanan yang dasar perhitungan PNBP-nya adalah komoditas, PNBP SDA perikanan dihitung berdasarkan produktivitas kapal. Produktivitas kapal penangkap ikan merupakan tingkat kemampuan kapal penangkap ikan untuk memperoleh hasil  tangkapan ikan per tahun. Produktivitas ditetapkan dengan mempertimbangkan ukuran tonase kapal, jenis bahan, kekuatan mesin kapal, jenis alat penangkap ikan yang digunakan, jumlah trip operasi penangkapan ikan per tahun,  kemampuan tangkap rata-rata per trip, dan wilayah penangkapan ikan.

Jenis kapal sendiri dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan kewenangannya, yaitu kewenangan pemerintah pusat: PNBP yang berasal dari PPP dan PHP untuk kapal lebih dari 30 GT, kewenangan propinsi: merupakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari perijinan kapal lebih dari 10 GT sampai dengan 30 GT, dan kewenangan kabupaten/kota: merupakan PAD dari perijinan kapal tidak bermotor/bermotor 5-10 GT.

Kapal dengan ukuran lebih dari 30 GT merupakan penyumbang terbesar terhadap volume dan nilai produksi perikanan tangkap di Indonesia. Hal ini disebabkan kemampuan kapal lebih dari 30 GT mampu beroperasi di luar 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas ke arah perairan kepulauan. Kemampuan tangkap dari jenis kapal ini jauh lebih besar dibandingkan kapal yang perijinannya di propinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, kapal lebih dari 30 GT mampu beroperasi lebih lama dan bahkan bisa berbulan-bulan dibandingkan kapal yang lebih kecil.

Pada dasarnya, pungutan perikanan terbagi ke dalam tiga kelompok: Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP), Pungutan hasil Perikanan (PHP), dan Pungutan Perikanan Asing. Yang dimaksud Susi Pudjiastuti tadi sebagian besar berasal dari PHP. PHP adalah pungutan negara yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha penangkapan ikan sesuai dengan Surat Penangkapan Ikan (SPI) yang diperoleh. Berdasarkan PP Nomor 19 tahun 2006, formula untung menghitung PHP adalah tarif × produktivitas kapal × HPI. Tarif untuk skala kecil sebesar 1% sedangkan untuk skala besar sebesar 2,5%. Sementara HPI adalah Harga Patokan Ikan yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan.

Hal yang menarik dari formula perhitungan PHP adalah berapapun hasil tangkapan nelayan dalam satu tahun tetap dihitung berdasarakan skala kapal, produktivitas kapal, dan HPI. Sebelumnya nelayan atau pemilik kapal telah membayar dimuka PNBP berupa PHP sehingga apabila hasil tangkapan kurang dari kapasitas kapal, nelayan mengalami kerugian. Sebaliknya, apabila hasil tangkapan melebihi kapasitas, kewajiban PNBP-nya tidak mengalami berubah.

Usulan untuk memperbaiki formula perhitungan PHP sudah bergulir sejak lama. Terakhir, hasil studi yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan tahun 2013 menunjukkan bahwa potensi PNBP SDA Perikanan tahun 2014 adalah sebesar Rp1,52 triliun. Usulan formula baru tersebut menggunakan net profit margin nelayan dari usaha penangkapan ikan, yaitu sebesar 20,42%.

Kementerian Keuangan juga sempat merekomendasikan untuk meningkatkan monitoring dan pengawasan kapal penangkap ikan melalui pemberian kewenangan yang lebih besar bagi kantor Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) yang berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Selain itu, penggunaan logbook (buku pencatatan hasil penangkapan ikan per trip) dapat dijadikan sebagai syarat utama bagi nelayan saat mendaratkan ikan di pelabuhan. Logbook diperlukan untuk mengatasi kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh nelayan. Harapan perbaikan itu kembali muncul seiring dengan ditunjuknya Susi Pudjiastuti sebagai Menteri KKP.

Susi Pudjiastuti tidak hebat. Dia hanya menjalankan tugas sesuai sumpahnya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Dia mengerjakan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Dia melayani rakyat dengan memastikan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran. Memang begitu seharusnya seorang menteri bekerja.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

6 komentar

  1. Berati mentri sebelumnya yg kurang hebat haha

    BalasHapus
  2. Kita lihat dulu kinerjanya, jangan hanya menyalahkan saja. Kalau kurang baik baru kita kritik. Kan baru beberapa hari jadi menteri.

    BalasHapus
  3. Setuju, standar pas diberikan kalau memang pas, standar : luar biasa, ajaib, hebat, istimewa baru diberikan kalau melebihi standar pas, tarafnya sepertinya memang baru pas, bahkan beberapa pencitraan yang selalu didengung-dengungkan dan diberikan malah membuat beberapa pihak ragu, kita tunggu saja.....

    BalasHapus