“Apalah arti sebuah nama? Andai kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia akan tetap mewangi.” Itu kata Shakespeare. Beda dengan MUI Jawa Timur, yang meminta seorang bernama Tuhan mengganti namanya. Kala itu, Tuhan memang menjadi perhatian khalayak. Di jejaring sosial pun orang ramai menyebarkan foto KTP Tuhan. Hal yang justru menunjukkan betapa rendahnya selera humor kita.
Selain sebagai identitas, nama juga dipercaya sebagai doa. Banyak orangtua karena itu menamai anak mereka dengan nama-nama yang baik. Nama melambangkan harapan. Bahkan lebih dari itu, nama juga bisa dijadikan sebagai strategi pertahanan. Misalnya, pasca-PRRI, orang Minang mengubah namanya sebagai upaya untuk menanggalkan identitas dan label ke-Minang-annya untuk bertahan dari serangan pemerintah pusat.
Ganti nama juga pernah dilakukan orang Tionghoa, yang mendapatkan perlakuan diskriminatif rasial dari pemerintahan Orde Baru. Diskriminasi terhadap orang Tionghoa sejatinya merupakan kelanjutan dari politik adu domba yang dilancarkan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, yang ingin memecah belah etnis Tionghoa dengan etnis-etnis lainnya di Indonesia.
Jagoan, anak kami, memiliki nama lima kata. Dari namanya yang panjang itu, bisa ditebak jika Jagoan adalah hasil persilangan dua etnis, Sunda dan Jawa. Jatnika adalah kata ke lima dalam namanya. Jatnika diambil dari kata ke tiga dalam nama saya, Zatnika. Penulisannya menggunakan huruf z karena di kampung saya lebih umum menulis Bahasa Sunda dengan huruf hijaiyah.
Naskah islami, termasuk puji-pujian, dalam Bahasa Sunda memang banyak yang ditulis dengan huruf hijaiyah. Saya menemukan kata jatnika dalam puji-pujian tentang sejarah Nabi Muhammad dalam Bahasa Sunda yang ditulis dengan huruf hijaiyah. Jika ditulis dengan huruf hijaiyah, jatnika diawali dengan huruf zāy, yang dalam huruf latin disepadankan dengan huruf z.
Namun, entah kenapa, dalam akta lahir, nama saya hanya ada dua kata, tanpa Zatnika. Karena itu, sewaktu mencari nama untuk Jagoan, isteri saya menyarankan agar menggunakan nama itu, tentu dengan perbaikan redaksional menjadi Jatnika. Selain sebagai doa dan harapan, agar Jagoan menjadi anak yang jatnika, Jatnika juga menjadi simbol bahwa dalam darah Jagoan juga mengalir darah Sunda murni, yang belum pernah dipersilangkan.
Teman kami bilang, nama Jagoan “Indonesia banget”. Mungkin karena sekarang ini banyak orangtua yang memberi nama anaknya dengan nama yang ketimur-tengahan atau kebarat-baratan. Apalagi, Jagoan juga memanggil kami abah dan ambu, panggilan yang di tengah orang Sunda sendiri sudah sangat langka, bahkan bisa dibilang hampir punah.
Jatnika. bagus mas ^^
BalasHapusMakasih. :D
HapusNamanya sungguh berbeda tapi bagus. Sayapun salute, tetap memanggil nama abah dan ambu, itu keren banget di anatara bandai kekinian anak sekarang, Mami dan Papi. Tetaplh menjadi orang yang bangga negeri sendiri.
BalasHapusSalam
Makasih, Teh Een. :D
Hapus